Obat Dexamethasone Berpotensi Tekan Risiko Kematian Covid-19
Sebuah studi pendahulu (preliminary study) menemukan bahwa obat steroid dapat membantu menekan risiko kematian pada pasien Covid-19 dengan gejala parah yang dirawat dengan bantuan ventilator dan oksigen.
"Itu adalah hasil yang sangat signifikan secara statistik," ujar salah seorang peneliti dari Oxford University, Martin Landray, mengutip CNN.
Ilustrasi. Pemberian obat steroid dexamethasone hanya ditemukan bermanfaat pada pasien Covid-19 dengan gejala parah. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Regimen obat steroid dosis rendah yang diberikan selama 10 hari terbukti mengurangi risiko 1/3 atau sekitar 35 persen risiko kematian pada pasien dengan bantuan ventilator. Sementara pada pasien dengan bantuan oksigen, risiko kematian menurun hingga 1/5 atau sekitar 20 persen.
Di luar kedua kategori pasien di atas, peneliti tak melihat manfaat pemberian obat steroid pada pasien dengan gejala ringan atau sedang yang tak memerlukan oksigen ataupun ventilator.
"Pada pasien yang membutuhkan oksigen atau ventilator, obat ini bekerja. Sementara pada pasien yang tidak membutuhkan oksigen atau kondisi paru-parunya masih baik, obat tidak ada manfaatnya," ujar Landray menjelaskan.
Penelitian dilakukan terhadap 2.100 pasien Covid-19 yang dirawat di sejumlah rumah sakit di Inggris secara acak. Peneliti fokus pada risiko kematian yang disebabkan oleh Covid-19.
Dalam uji coba, dexamethasone diberikan dengan dosis 6 miligram per hari. Obat diberikan selama 10 hari dalam bentuk injeksi atau oral. Peneliti tak melaporkan adanya efek samping serius yang dialami pasien.
Dexamethasone umumnya digunakan untuk mengobati beberapa jenis radang sendi, alergi parah, asma, dan beberapa jenis kanker. Umumnya, obat ini menimbulkan efek samping berupa sakit perut, sakit kepala, pusing, susah tidur, dan depresi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengapresiasi hasil terobosan ilmiah terkait penggunaan obat steroid tersebut.
"Ini adalah kabar baik dan saya mengucapkan selamat kepada Pemerintah Inggris, Oxford University, dan banyak rumah sakit serta pasien di Inggris yang telah berkontribusi pada terobosan ilmiah yang telah menyelamatkan jiwa ini," ujar Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengutip AFP.
Kendati demikian, perlu diingat bahwa terobosan tersebut baru merupakan hasil studi pendahuluan (preliminary study). Belum ada proses peer review atau penelaahan sejawat yang biasanya dilakukan sejumlah ilmuwan dalam menunjang validitas hasil studi.
Sejak SARS-CoV-2 muncul di China pada Desember 2019 lalu, sejumlah peneliti tengah berupaya melakukan berbagai penelitian untuk menemukan cara terbaik mengatasi pandemi. Namun, hingga kini, belum ada obat atau vaksin yang efektif untuk melawan virus corona baru tersebut.
Post a Comment