Kejanggalan-Kejanggalan dari Penangkapan Wahyu Setiawan
Jabung Online - Anggota Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan yang ditangkap oleh KPK meninggalkan sejumlah pertanyaan. Belum ada penjelasan rinci menyangkut pergerakan personel KPK ke sejumlah tempat hingga menyeret nama pimpinan partai politik.
Setelah lama tak melakukan operasi tangkap tangan, Komisi Pemberantasan Korupsi kembali melakukan langkah serupa pada 7-9 Januari 2020. Tak tanggung-tanggung, dua operasi berhasil menangkap dua pejabat penting. Satu Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan. Satu lagi, Bupati Sidoarjo Saiful Ilah.
Dengan hasil operasi tersebut, KPK seakan menjawab keraguan publik pasca-berlakunya Undang-Undang (UU) KPK yang baru, UU Nomor 19 Tahun 2019. UU yang dinilai banyak pihak akan melemahkan kerja penindakan KPK, termasuk dalam melakukan operasi tangkap tangan (OTT).
Meski demikian, ada yang janggal dalam OTT KPK di era kepemimpinan Ketua KPK yang baru, Firli Bahuri. Ini terutama saat OTT terhadap Wahyu Setiawan. Jawaban dari KPK atas kejanggalan itu pun tidak meyakinkan sehingga membuat kejanggalan yang ada justru semakin janggal.
Kejanggalan pertama terkait kehadiran personel KPK di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Perjuangan (DPP PDI-P), kawasan Menteng, Jakarta Pusat, sejak Kamis (9/1/2020) pagi.
Pimpinan PDI-P mengakui ada upaya penggeledahan dari KPK. Namun, PDI-P menolaknya karena penggeledahan tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. ”Informasinya, penggeledahan di ruangan tersebut tidak dilengkapi dengan bukti-bukti yang kuat. Selain itu, tidak memenuhi prosedur karena tidak ada surat izin penggeledahan,” kata Ketua DPP PDI-P Djarot Saiful Hidayat.
Sementara Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menepis penggeledahan itu. Kehadiran petugas KPK di DPP PDI-P bukan untuk penggeledahan. ”Mau buat KPK line (garis) untuk mengamankan ruangan,” katanya.
Persoalannya, menurut dia, sekuriti harus pamit ke atasan. ”Ketika mau pamit ke atasannya, telepon itu enggak terangkat-angkat oleh atasannya. Karena lama, mereka (petugas KPK) mau beberapa obyek lagi, jadi ditinggalkan,” ujarnya.
Dia pun membantah kehadiran petugas tanpa dibekali surat-surat yang dibutuhkan. ”Surat tugasnya lengkap,” ucapnya. Padahal, dalam pengalaman OTT KPK selama ini, KPK selalu tegas. Tak ada yang bisa menghalangi kerja penindakan KPK.
PTIK yang berada di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, berjarak cukup jauh, sekitar 7 kilometer, dari gedung KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
”Kemudian di sana sedang ada pengamanan dan sterilisasi tempat. Petugas sempat dicegah dan ditanya identitasnya kemudian sampai tes urine. Tentunya ada kesalahpahaman di sana. Setelah diberi tahu petugas KPK, kemudian dikeluarkan,” tutur pelaksana tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri.
Sebelum jawaban ini disampaikan, sempat beredar kabar KPK hendak menjemput Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto di PTIK. Selain KPK yang membantah kabar itu, Hasto juga membantahnya. ”Tidak benar,” kata Hasto.
Dia tak terlihat sejak Kamis pagi dengan alasan sibuk menyiapkan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDI-P yang akan dimulai pada Jumat (10/1/2020), di Kemayoran, Jakarta Pusat.
Semula dia dijadwalkan menemui wartawan dalam acara jumpa pers terkait persiapan Rakernas PDI-P tersebut, Kamis siang, tetapi Hasto tak terlihat. Dia baru terlihat pada Kamis sore di arena rakernas.
Hasto ikut masuk dalam pusaran OTT Wahyu Setiawan tak pelak karena stafnya, Saeful, ditangkap KPK dan ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap kepada Wahyu. Dugaan suap itu sendiri terkait permohonan penggantian antarwaktu anggota DPR dari PDI-P.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Adnan Topan Husodo, menilai, ketika KPK menyasar target yang memiliki pengaruh cukup besar, memang terkadang tidak mulus. Setidaknya ada dua faktor yang menjadi penyebab.
”Misalnya informasi mengenai OTT secara parsial bocor sehingga antisipasi sudah dilakukan. Selain itu, jejaring target cukup kuat sehingga bisa memanfaatkan berbagai akses untuk menghalang-halangi upaya penegakan hukum KPK,” tutur Adnan.
Artinya, KPK perlu kembali diperkuat melalui pembatalan UU No 19/2019. Sebab, konsep Dewan Pengawas yang ada dalam UU menambah panjang rute birokrasi penegakan hukum KPK. ”Inilah celah yang membuat kerja KPK terhambat,” ujarnya menegaskan.
Kejanggalan-kejanggalan ini mudah-mudahan bukan sinyal KPK kini tebang pilih saat melakukan penindakan.
Harian Kompas, 10 Januari 2020
Setelah lama tak melakukan operasi tangkap tangan, Komisi Pemberantasan Korupsi kembali melakukan langkah serupa pada 7-9 Januari 2020. Tak tanggung-tanggung, dua operasi berhasil menangkap dua pejabat penting. Satu Komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan. Satu lagi, Bupati Sidoarjo Saiful Ilah.
Dengan hasil operasi tersebut, KPK seakan menjawab keraguan publik pasca-berlakunya Undang-Undang (UU) KPK yang baru, UU Nomor 19 Tahun 2019. UU yang dinilai banyak pihak akan melemahkan kerja penindakan KPK, termasuk dalam melakukan operasi tangkap tangan (OTT).
Meski demikian, ada yang janggal dalam OTT KPK di era kepemimpinan Ketua KPK yang baru, Firli Bahuri. Ini terutama saat OTT terhadap Wahyu Setiawan. Jawaban dari KPK atas kejanggalan itu pun tidak meyakinkan sehingga membuat kejanggalan yang ada justru semakin janggal.
Kejanggalan pertama terkait kehadiran personel KPK di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Perjuangan (DPP PDI-P), kawasan Menteng, Jakarta Pusat, sejak Kamis (9/1/2020) pagi.
Pimpinan PDI-P mengakui ada upaya penggeledahan dari KPK. Namun, PDI-P menolaknya karena penggeledahan tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku. ”Informasinya, penggeledahan di ruangan tersebut tidak dilengkapi dengan bukti-bukti yang kuat. Selain itu, tidak memenuhi prosedur karena tidak ada surat izin penggeledahan,” kata Ketua DPP PDI-P Djarot Saiful Hidayat.
Sementara Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menepis penggeledahan itu. Kehadiran petugas KPK di DPP PDI-P bukan untuk penggeledahan. ”Mau buat KPK line (garis) untuk mengamankan ruangan,” katanya.
Persoalannya, menurut dia, sekuriti harus pamit ke atasan. ”Ketika mau pamit ke atasannya, telepon itu enggak terangkat-angkat oleh atasannya. Karena lama, mereka (petugas KPK) mau beberapa obyek lagi, jadi ditinggalkan,” ujarnya.
Dia pun membantah kehadiran petugas tanpa dibekali surat-surat yang dibutuhkan. ”Surat tugasnya lengkap,” ucapnya. Padahal, dalam pengalaman OTT KPK selama ini, KPK selalu tegas. Tak ada yang bisa menghalangi kerja penindakan KPK.
PTIK yang berada di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, berjarak cukup jauh, sekitar 7 kilometer, dari gedung KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
”Kemudian di sana sedang ada pengamanan dan sterilisasi tempat. Petugas sempat dicegah dan ditanya identitasnya kemudian sampai tes urine. Tentunya ada kesalahpahaman di sana. Setelah diberi tahu petugas KPK, kemudian dikeluarkan,” tutur pelaksana tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri.
Sebelum jawaban ini disampaikan, sempat beredar kabar KPK hendak menjemput Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto di PTIK. Selain KPK yang membantah kabar itu, Hasto juga membantahnya. ”Tidak benar,” kata Hasto.
Dia tak terlihat sejak Kamis pagi dengan alasan sibuk menyiapkan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PDI-P yang akan dimulai pada Jumat (10/1/2020), di Kemayoran, Jakarta Pusat.
Semula dia dijadwalkan menemui wartawan dalam acara jumpa pers terkait persiapan Rakernas PDI-P tersebut, Kamis siang, tetapi Hasto tak terlihat. Dia baru terlihat pada Kamis sore di arena rakernas.
Hasto ikut masuk dalam pusaran OTT Wahyu Setiawan tak pelak karena stafnya, Saeful, ditangkap KPK dan ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap kepada Wahyu. Dugaan suap itu sendiri terkait permohonan penggantian antarwaktu anggota DPR dari PDI-P.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Adnan Topan Husodo, menilai, ketika KPK menyasar target yang memiliki pengaruh cukup besar, memang terkadang tidak mulus. Setidaknya ada dua faktor yang menjadi penyebab.
”Misalnya informasi mengenai OTT secara parsial bocor sehingga antisipasi sudah dilakukan. Selain itu, jejaring target cukup kuat sehingga bisa memanfaatkan berbagai akses untuk menghalang-halangi upaya penegakan hukum KPK,” tutur Adnan.
Artinya, KPK perlu kembali diperkuat melalui pembatalan UU No 19/2019. Sebab, konsep Dewan Pengawas yang ada dalam UU menambah panjang rute birokrasi penegakan hukum KPK. ”Inilah celah yang membuat kerja KPK terhambat,” ujarnya menegaskan.
Kejanggalan-kejanggalan ini mudah-mudahan bukan sinyal KPK kini tebang pilih saat melakukan penindakan.
Harian Kompas, 10 Januari 2020
Post a Comment