Aliansi Masyarakat Adat Tolak Wacana Kursus Pranikah
“Kalau itu jadi syarat administrasi maka negara berkewajiban beri akta kelahiran ke anak adat yang lahir dari hasil pernikahan adat karena pernikahan adat yang belum legal secara hukum negara,” kata Staf Divisi Pembelaan Kasus, Direktorat Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM AMAN, Tommy Indyan, di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (17/11/2019).
Tommy menilai, negara dalam hal ini telah mengintervensi terlalu jauh hak warga negaranya. Apalagi pernikahan adat di beberapa wilayah masih belum legal secara hukum negara. Bahkan KTP elektronik pun tidak dimiliki oleh masyarakat adat.
“Negara intervensi terlalu jauh. Kan ada empat hal, pengakuan masyarakat adat, wilayah adat. Di wilayah ada hutan, hak wilayah. Lalu hukum adat dan hal-hal lain yang masih berlangsung di situ seperti ritual agama identitas perkawinan,” ujarnya.
Karena itu, dia mengatakan, jika sertifikasi nikah itu menjadi syarat administrasi pernikahan, ada banyak pekerjaan rumah bagi pemerintah. Tommy meminta negara memenuhi hak-hak politik masyarakat adat terlebih dahulu.
“Keberagaman, hak politik, itu penuhi dulu. Boleh mengatur hal lain tapi syarat utama penuhi dulu,” ujarnya.
Menurut Tommy, jika maksud pemerintah adalah untuk memberi pendidikan tentang pernikahan ke calon suami istri, tidak perlu sampai menjadikan kursus pranikah sebagai syarat untuk menikah. Dia mengatakan seharusnya negara mengurangi pengaturan hal-hal yang justru berpotensi menimbulkan perbenturan di masyarakat.
Sebelumnya, Menko PMK Muhadjir Effendy mengusulkan wacana kursus pranikah bagi pasangan yang hendak menikah. Kursus tersebut diwacanakan menjadi syarat administrasi sebelum menikah.
“Apa perlu sertifikat atau ndak itu kan soal teknis. Yang penting bahwa mereka harus ada semacam program pembelajaran pranikah,” kata Muhadjir di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (14/11).
“Pokoknya dia harus ikut pelatihan atau pendidikan atau kursus apa lah namanya pranikah,” jelas dia. [ts]
Post a Comment