Opini: Petani Milenial dan Kopi Lampung
Festival Kopi Lampung Barat. | Sugiono
Ahmad Suryanto
(Widyaiswara BPP Lampung)
Ada rasa bangga sekaligus sedih bercampur baur saat di depan mata tersodor fakta diametral saat berkunjung ke salah satu sentra penghasil kopi terbaik dunia, Pagar Alam, beberapa hari lalu.
Dalam sebuah “Pelatihan Tematik Kopi” penugasan dari kantor, saya diarahkan oleh panitia dari Dinas Pertanian Kota Pagar Alam untuk berkunjung sekaligus melakukan praktik penanganan panen dan pasca panen bersama peserta sebanyak 30 orang petani di lokasi perkebunan milik Om Frans di sebuah dusun di wilayah yang terkenal dengan nama Rimba Candi.
Om Frans ini seorang “processor” (pemroses) kopi dengan cara petik merah dan dengan beberapa perlakuan sederhana (natural), beliau lalu menyortir dan melakukan grading terhadap kopinya sehingga dalam setiap 1 kg kopi beliau mendapatkan 4 grade: besar, sedang, lanang, dan kecil.
Tiap-tiap grade dijual dengan harga berbeda.Dalam 1 kg kopi greenbean yang telah diproses, Om Frans mendapatkan harga kopi rata-rata sekitar sebesar 80 ribu rupiah/kg.
Nah, kondisi ini berbanding terbalik (diametral) dengan cerita para petani kopi yang sedang saya latih.
Selama ini mereka hanya mengolah biji kopi asalan dengan cara petik racutan dan dijemur di sembarang tempat: di jalan, di tanah, atau di mana saja tempat terbuka. Setelah kering dan dihulling, para petani menjual kopi asalan itu per kg sebesar 16 ribu rupiah per kg. Harga yang amat jauh dibandingkan yang diperoleh Om Frans.
Dalam sesi berikutnya kami mengundang pegiat kopi Pagar Alam. Ibu Untea namanya, seorang sosialita dan pegiat bisnis kopi. Beliau asli keturunan Pagar Alam, tapi tinggal di Jakarta.
Beberapa tahun terakhir ini beliau bergiat mempromosikan Kopi Pagar Alam di berbagai belahan dunia melalui pameran dan temu bisnis. Menurut beluai, sambutan pasar terhadap kopi Pagar Alam luar biasa karena taste-nya yang unik dan tidak tak tersedia dari tempat lain.
Belakangan beliau mendapatkan order lumayan besar dari buyer dari mancanegara, tapi masalahnya biji kopi dengan standar mutu sesuai permintaan, melalui panen dan pasca hasil petik merah, tidak tersedia. Akibatnya permintaan itu pun tak bisa beliau penuhi.
Pulang dari Pagar Alam, dalam kondisi penat karena dari perjalanan darat semalam suntuk, saya mendapat WA undangan ngopi dari kawan peneliti di Balitbangda Provinsi Lampung. “Mau nggak saya ajak ngobrol dengan mitra eskportir kopi petik merah nanti sore?”.
Tanpa fikir panjang, sontak saya saya iyakan ajakan itu. Jadilah sore itu saya ketemu dengan Mas Kukuh. Seorang pegiat kopi asal Ulu Belu Tanggamus yang kopinya sudah melegenda itu. Mas Kukuh ini seorang petani kopi, processor, roastery juga sekaligus penjual. Lengkap sudah pengalaman beliau malang melintang di dunia kopi.
Gurat wajah dan kulitnya menunjukkan betapa beliau sudah berkeringat untuk bergiat di kopi. Ya, saya lebih senang menyebut orang-orang seperti mereka ini pegiat, bukan pebisnis, sebab mereka bergiat memang bukan sekedar mengejar keuntungan semata, tapi ada idealisme dan nilai sosial yang mereka jadikan semangat.
Informasi baik sekaligus sedih dari Mas Kukuh senada dengan apa yang baru saja saya temukan di Pagar Alam. Beliau punya market tapi kopi besar di luar negeri tapi barang dengan standar mutu yang beliau inginkan tidak tersedia mencukupi. Maslahnya karena processor kopi dengan standar panen dan pasca panen petik merah jumlahnya tidak memadai.
Saya seperti tertampar. Tanggung jawab dan peran memperbanyak processor kopi yang semestinya disambut oleh saya dan Balai Pelatihan Pertanian Lampung dimana saya bekerja.
Dari diskusi sore itu saya kemudian coba membuka file ingatan bahwa di Kementerian Pertanian belakangan ini sedang gandrung dengan apa yang disebut dengan petani mileneal.
Ada santri mileneal yang disupport beragribisnis ayam kampung, ada mahasiswa milenial yang didorong membuat exercise bisnis pertanian, dan lain sebagainya.
Maka kemudian saya pun berfikir, kenapa tidak di setiap kampung kopi khususnya di wilayah Lampung dan Sumatera Selatan, dimana saya lahir besar dan bekerja, ini.. ada processor kopi yang didorong dari kalang muda yang “di-petani-mileneal-kan. Dan itu saya fikir sangat sederhana.
Apalagi belakangan di Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian juga sedang giat-giatnya menggalakkan pelatihan vokasi.
Untuk “mem-petani-mileneal-kan” petani kopi ini, menurut saya support keahlian vokasi yang dibutuhkan untuk menjadi seorang “processor” juga sederhana. Jadi ini tinggal running saja.
Maka jika kelak terwujud, ada keyakinan di dalam hati ini bahwa tidak akan ada lagi pegiat yang kopi bilang: “ada buyer besar dan mau bayar mahal tapi nggak ada barang”. Tidak ada lagi kopi kita dijual asalan sehingga kita bisa berucap: “selamat tinggal kopi murahan”.
Telah terbukti, dan kita perlu bangga dan percaya diri, bahwa dari segi taste, kopi Indonesia itu unik dari setiap asalnya. Kopi-kopi terbaik dunia bisa kita hasilkan dari tanah kita, asal teknologi budidaya dan processing bisa memenuhi kaedah yang benar. Banyak sudah kopi kita yang melegenda, baik robusta maupun arabika.. mulai Kopi Semende, Pagar Alam, Ulu Belu, Gayo, Kintamani, Kerinci, Toraja, Bajawa, dan masih buanyak lagi….
Selama ini “eksportir tradisional” hanya mengekspor kopi asalan. Mereka hidup dari derita kopi asalan petani ini. Kopi asalan yang mereka beli murah itu kemudian mereka sortasi dan grading sehingga diperoleh beberapa grade mutu kopi dengan segementasi pasar yang berbeda.
Jadi kalau proses sortasi dan grading sudah dilakukuan sendiri oleh petani mileniel, harga yang lebih baik tentu akan mereka nikmati … kalau eskportir tradisional menolak, masih ada harapan para pegiat kopi seperti Ibu Untea dan Mas Kukuh yang bisa menjembatani dengan pasar dunia.
Pintu gerbang untuk petani mileneal untuk menjadi processor kopi dan lalu membuat jembatan kemitraan mereka dengan para “pegiat kopi” inilah yang mestinya dikerjakan.
Melalui Balai Pelatihan Pertanian dimana saya bernaung, moga ini bisa terwujud. Malu rasanya terus menyaksikan derita dan hina dina-nya kopi asalan rasa tanah dan ban mobil. []
Post a Comment