NU, Ayam dan Islam Nusantara
Usamah El-Madny -
Oleh Usamah El-Madny*)
Sejumlah group WhatsApp yang saya menjadi anggotanya, akhir-akhir ini sedikit heboh, bahkan panas dan tegang.
Pangkal utama kehebohan itu adalah soal Islam Nusantara, sebuah wacana dan narasi yang digulirkan secara resmi oleh Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PB NU).
Saya sendiri awalnya tidak terlalu responsif dengan wacana Islam Nusantara yang terus menerus didakwahkan PB NU itu.
Semula saya berprasangka bahwa yang dimaksudkan dengan Islam Nusantara sebatas cara berislam orang Indonesia dengan menghormati kearifan lokal yang positif konstruktif.
Bukankan ketika futuh Mekkah Rasulullah SAW juga menghargai kearifan lokal jahiliyah Mekkah yang senafas dengan Islam, misalnya memuliakan tamu?
Perkembangan kemudian sedikit mengejutkan saya ketika berulang kali mendengar video ceramah seseorang yang disebut KH. Yahya Tsaquf.
Yahya adalah salah satu elit PB NU di samping Said Aqil Siraj dan Ma’ruf Amin.
Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, Yahya Tsaquf ini sempat menjadi Jubir Presiden, sedangkan Aqil Siraj adalah Ketua Umum Tanfidziah PB NU.
Sedangkan nama yang terakhir adalah cawapres Jokowi dengan jabatan yang masih melekat sebagai Ketua Umum MUI dan Ketua Umum Syuriah PB NU.
Dalam ceramahnya di video yang viral tersebut, Yahya Tsaquf seperti sedang berupaya keras menjelaskan apa itu Islam Nusantara.
“Islam Nusantara adalah Islam sejati. Bukan Islam abal-abal. Kenapa Islam Nusantara menjadi Islam sejati, karena Islam di Nusantara bukan sebagai penakluk. Bukan seperti di Arab sana, Islam sebagai penakluk. Ya, kurang lebih sebagai penjajah,” begitu isi pidato Yahya berapi-api dalam video tersebut dengan logat Jawa yang meukeulido.
Saya lama tercenung setelah berkali-kali mendengarkan video itu.
Saya melihat betapa kebencian terhadap dan sikap anti Arab begitu mengalir dari mulut Yahya.
Saya pun tiba-tiba jadi ingat video ceramah Aqil Siraj yang tidak suka jenggot dan baju gamis.
Maka ketika Yahya Tsaquf berpendapat bahwa Islam di Arab adalah Islam penjajah, maka pikiran Yahya ini simetris dengan pikiran orientalis yang menyebutkan bahwa Islam disebarkan Nabi Muhammad SAW dengan pedang.
Saya pun berkesimpulan, wajar saja sebagian besar umat marah setelah mendengar celoteh Yahya ini.
Umat tidak hanya marah dengan Yahya, tapi juga merasa tidak nyaman dengan NU sebagai instusi yang memasarkan produk Islam Nusantara.
Lalu ketika kemudian Ketua Umum Syuriah PB NU, Ma’ruf Amin, menjadi cawapres isu Islam Nusantara pun kembali menjadi gorengan renyah dalam berbagai varian.
Seperti Paus
Apa yang dikatakan Yahya bahwa Islam di Arab sebagai penjajah, kemudian memantik kemarah sejumlah pihak, sebenarnya bukan hal baru.
Paus Benectius XVI, misalnya, pernah mengatakan bahwa Islam disebarkan dengan pedang (Kompas, 16 September 2006).
Ketika itu kontan sejumlah pemipim Islam mengecam keras dan menganggapnya sebagai anti-Islam.
Meski sudah ada klarifikasi dari Vatikan, kemarahan umat Islam tetap berlangsung.
Padahal, pemimpin tertinggi umat Katolik itu hanya mengutip seorang Kaisar Kristen Ortodoks abad ke-14, Manuel II Palaeologus.
Islam disebarkan dengan pedang adalah stereotip usang yang telah dibantah orientalis sekelas Bernard Lewis.
Lewis mengatakan tidak mungkin umat Islam berperang dengan tangan kanan memegang pedang, tangan kiri memegang Alquran, karena Alquran adalah kitab suci yang hanya bisa dipegang dengan tangan kanan.
Kita pun jadi heran, mengapa persepsi seseorang yang disebut kiay lebih jelek dan jahat terhadap Islam ketimbang seorang orientalis semisal Bernard Lewis dan Sir Thomas Arnold.
Sir Thomas Arnold, seorang orientalis Inggris, Guru Bahasa Arab di University of London, Profesor Filsafat di Aligargh University dan Profesor di Government College di Lahore, bertahun-tahun lamanya mempelajari secara ilmiah mengenai tersebarnya Islam yang sangat mengagumkan itu.
Lalu beliau mendapat kesimpulan yang bersifat ilmiah, yang dapat dipertanggungjawabkan:
bahwa kepesatan kemajuan Islam bukanlah karena dipaksakan dengan kekerasan tetapi disambut dengan gembira dan sukarela oleh bangsa-bangsa yang menerima Islam itu sendiri.
Buah penyelidikannya ini disusunnya menjadi sebuah buku bernama “Preaching of Islam” yang kemudian oleh Dr. Hasan Ibrahim Hasan dkk diterjemah ke dalam bahasa Arab menjadi buku Ad-Da’watu ilal Islam (Dakwah Menuju Islam).
Kontroversi NU
Kontroversi keagamaan yang dimunculkan oleh tokoh-tokoh NU seperti yang mainkan Yahya dan Aqil Siraj sebenarnya bukan hal baru.
Dalam sejumlah catatan sejarah, tokoh NU yang pertama kali membuat kontroversi adalah Abdurrahman Wahid.
Sebelum NU dipimpin Gus Dur belum saya dapati catatan sejarah NU yang menjelaskan ada tokoh NU yang suka buat “masalah”.
Karena kontreversi Gus Dur dalam soal agamalah maka pada Rabu siang, 29 November 1989, bersamaan dengan terpilihnya kembali secara aklamasi Gus Dur sebagai Ketua Umum Tanfidziah NU pada Muktamar NU ke-28 di Krapyak, pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo, KHR. As’ad Syamsul Arifin, menyatakan diri mufaraqah (memisahkan diri) dari NU.
Kiay As’ad mengibaratkan Gus Dur sebagai “imam shalat yang sudah kentut jadi tidak sah lagi menjadi imam shalat.”
Oleh Kiay As’ad, Gus Dur dianggap kebablasan.
Pemikiran dan tindak-tanduk liberalnya diniliai sudah keluar dari rel Aswaja.
Kiay As’ad bahkan menyebut Gus Dur sebagai Kiay ketoprak karena keterlibatan Gus Dur ketika itu sebagai juri Festival Film Indonesia.
Kontroversi Gus Dur sebagai elit NU nyaris semakin lengkap kala itu ketia dia mengusulkan salam “assalamu’alaikum” diubah menjadi “selamat pagi”.
Beberapa kontroversi Gus Dur lainnya sepanjang 1984-1989 semisal; keterlibatan Gus Dur menjadi ketua DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), kesediaan membuka Malam Puisi Yesus Kristus, dan kecenderungan membela Syi'ah, juga turut menjadi pemicu kerenggangan komunikasi antara KHR As’ad beserta kiai-kiai sepuh lain dengan Gus Dur.
Hal ini berujung peristiwa ‘gugatan’ pada Gus Dur di Pesantren Darut-Tauhid, Arjawinangun, Cirebon, pada Maret 1989.
Jadi sejak kepemimpinan Gus Dur sampai hari ini ada saja kontroversi yang diproduk NU, termasuk yang sedang hot saat ini yaitu Islam Nusantara.
Pesan Gus Dur
Lalu kita di Aceh apa yang harus kita lakukan dengan tingkah kontroversial NU, termasuk soal Islam Nusantara?
Saran saya: rileks aja!.
Alasan saya sederhana,
Pertama, di jajaran NU secara nasional yang memasarkan Islam Nusantara hanya segelintir pihak.
Istimewanya mereka-mereka yang berkantor di Kramat Raya No. 164 untuk kepentingan popularitas agar dianggap tokoh pluralisme.
Kita yakin, banyak kiay-kiay NU yang salih dan ikhlas di berbagai pelosok Jawa dan wilayah lain di Indonesia tidak sepakat dengan “agama baru” bernama Islam Nusantara itu.
Cuma kiay-kiay NU semacam ini tidak pernah terekspos karena mereka tidak memiliki akun medsos serta tidak diwawancarai media cetak dan elektronik.
Kedua, saya terkait sikap rileks terhadap promoi Islam Nusantara adalah pesan Gus Dur melalui humornya.
Pada tahun 1998 di lingkungan NU muncul dua partai politik, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Kebangkitan Nahdhatul Ulama (PKNU).
PKB didirikan oleh Gus Dur dan sejumlah kiay NU lainnya.
Sedangkan PKNU didirikan oleh kelompok NU yang tidak terakomodir dan tidak puas terhadap police Gus Dur di PKB.
Kedua partai itu menjadi peserta pemilu pada awal reformasi Indonesia.
Pada sebuah kesempatan wawancara Gus Dur ditanya wartawan soal partai mana yang betul-betul representasi NU, PKB atau PKNU?.
Dengan cerdas Gus Dur menjawab, “NU itu seperti seekor ayam, dari dubur ayam keluar dua macam: telur dan taik. Nah, PKB adalah telurnya NU, sedangkan PKNU adalah tahi nya NU”.
Jawaban Gus Dur tersebut disamping menyelesaikan masalah hubungan biologis PKB dengan NU, juga menjadi salah satu lelucon warisan Gus Dur yang dikenang sampai hari ini.
Jadi soal Islam Nusantara di Aceh jangan sampai memutuskan silaturrahmi kita. Kita tinggal bermusyawarah saja.
Itu barang, telur atau taik?.(*)
*) PENULIS adalah Penikmat Kopi, tinggal di Ulee Kareng, Banda Aceh
Post a Comment