Perjalanan Cinta dan Kesetiaan Prabowo-PKS
Jabungonline.com – Berikut adalah tulisan yang mencoba mengurai rekam jejak hubungan antara Prabowo Subianto dengan Partai Keadilan Sejahterah (PKS). Prabowo-PKS dalam politik seperti tak bisa dipisahkan. Selama ini Prabowo-PKS selalu bergandengan tangan.
Namun, saat ini, komitmen kesetiaan dan komitmen dari kata-kata Prabowo-PKS sedang diuji. Berharap ujian untuk Prabowo-PKS bisa berhasil dilalui dengan baik.
UJIAN PRABOWO-PKS
“PKS bagi Gerindra bukan sekedar sahabat. Tapi sekutu!” Seru Prabowo Subianto dengan mata berbinar-binar dan penuh gelora ketika berpidato membakar semangat ribuan kader-kader Gerindra pada Rakornas Gerindra tahun lalu di Sentul, Bogor.
Di hadapan Presiden PKS M. Sohibul Iman yang saat itu hadir sebagai tamu kehormatan Gerindra, Mantan Danjen Kopasus ini menekankan arti penting Sekutu yang lebih istimewa dibanding sebagai Sahabat. “Kalau sahabat itu bisa datang dan pergi kapan saja. Tapi kalau sekutu? Kita akan terus bersama hingga cita-cita perjuangan bersama terwujud!”
“Maaf Pak Prabowo. Saya kurang setuju dengan istilah Sekutu.” Ujar Doktor Sohibul Iman merespon pidato Sang Jenderal ketika ia diberi kesempatan berbicara di atas panggung.
“Sekutu itu kecil Pak Prabowo. Kita ini lebih pas disebut Segajah. Jadi kekuatan koalisi kita besar!” Kelakar Sang Presiden Partai Dakwah tersebut disambut riuh tawa dan gemuruh tepuk tangan ribuan kader-kader Gerindra.
Itulah secuil fragmen kemesraan persekutuan Prabowo dengan PKS.
Saat ini, detik-detik menjelang penentuan pasangan Capres-Cawapres, persekutuan Prabowo-PKS sedang diuji.
Apakah Prabowo akan meninggalkan PKS sebagai Sekutunya atau tetap bersama berjuang melawan petahana?
Bersama Sejak Pilpres 2014
Kedekatan hubungan antara Prabowo-PKS telah terjalin sejak Pilpres 2014 yang lalu.
Meskipun Prabowo lebih memilih Ketua Umum PAN Hatta Rajasa sebagai Cawapresnya, PKS tetap berjiwa besar menerima keputusan tersebut dan berjuang dengan totalitas mensukseskan pasangan Prabowo-Hatta.
Hal ini terbukti dari hasil pilpres 2014. Prabowo-Hatta menang telak atas Jokowi-JK di Jawa Barat dan Sumatera Barat, dua provinsi besar yang dipimpin oleh dua kader terbaik PKS, yakni Gubernur Ahmad Heryawan dan Gubernur Irwan Prayitno.
Kolaborasi Prabowo-PKS ini terus berlanjut dan semakin solid sebagai kekuatan oposisi di luar pemerintahan meskipun Koalisi Merah Putih (KMP) bubar akibat PAN hengkang ke Istana, yang kemudian diikuti oleh merapatnya Golkar dan PPP.
Riak-Riak Kecil
Hubungan PKS-Gerindra tidak selamanya baik-baik saja. Ada beberapa kejadian yang membuat riak-riak kecil muncul dan menjadikan hubungan PKS-Gerindra kurang enak.
Kisah pahit pertama terjad saat Gerindra beserta partai lainnya bermanuver dalam pelengseran Doktor Surahman Hidayat dari posisinya sebagai Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang akhirnya digantikan oleh Sufmi Dasco Ahmad Wakil Ketua Umum Gerindra.
Sebagai Sekutu, yang seharusnya saling menguatkan satu sama lain, Gerindra justru ikut menikam PKS dari belakang. Tentu ini menciderai persekutuan PKS-Gerindra sudah berjalan dengan baik.
Kisah pahit kedua adalah ketika Fadli Zon pasang badan membela mati-matian Fahri Hamzah dalam mempertahankan posisinya sebagai pimpinan DPR RI.
Ini tentu inkonsisten dengan sikap politik Prabowo yang seringkali menyatakan bahwa PKS sebagai sekutunya.
Sikap Fadli Zon tentu melukai hati para kader dan Pimpinan PKS karena Fahri Hamzah statusnya sudah bukan lagi kader PKS dan hak Wakil Ketua DPR RI oleh PKS sudah diberikan kepada Ledia Hanifa Amaliah.
Dua peristiwa pahit di atas membekas di hati kader dan pimpinan PKS.
Meskipun demikian, PKS tetap melihatnya sebagai hubungan jangka panjang bahwa PKS harus tetap bersama Gerindra sebagai sekutu perjuangan di luar pemerintahan.
Kemenangan DKI
“Jakarta adalah barometer politik nasional,” begitu pameo politik sering kita dengar. Tahun 2017, duet maut PKS-Gerindra berhasil membuat sejarah dan mengguncang politik nasional.
Duo sekutu politik PKS-Gerindra ini mampu menumbangkan petahana Ahok-Djarot dalam drama politik paling membetot perhatian rakyat se antero negeri.
Ketum Gerindra Prabowo Subianto pernah bilang kalau pasangan Anies-Sandi ini adalah pasangan PAHE (Paket Hemat). Kenapa? Ya jelas karena logistiknya benar-benar terbatas dibandingkan pesaing-pesaingnya.
Kang Iman, panggilan akrab Presiden PKS, dengan sedikit bergurau mengibaratkan pilkada DKI seperti klub bola.
Ahok-Djarot itu ibarat Madrid. Agus Silvy ibarat Barcelona. Kalau Anies-Sandi ibarat Persija.
Kok bisa?
Karena kalau dilihat pendukung di belakangnya, paslon Ahok-Djarot didukung oleh 2 orang Presiden (Presiden Joko Widodo dan Presiden Megawati), AHY-Silvy didukung oleh Presiden SBY yang pernah berkuasa dua periode.
Sedangkan paslon Anies Sandi hanya didukung oleh Calon Presiden yang kalah dan Presiden PKS.
Satu hal yang perlu dicatat publik bahwa duet Anies-Sandi terwujud karena PKS dengan penuh kesadaran lebih mengedepankan politik keumatan dan politik kebangsaan.
PKS memilih menarik mundur kader terbaiknya yakni Doktor Mardani Ali Sera yang awalnya diusung sebagai Calon Wakil Gubernur mendampingi Sandiaga Uno.
Demi memperjuangkan aspirasi umat dan harapan para ulama, PKS bersedia mengalah dan mengusung pasangan Anies-Sandi.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, Doktor Mardani didaulat sebagai Panglima pemenangan Anies-Sandi. Qadarullah, dengan dukungan para habaib, ulama, santri dan seluruh masyarakat yang menginginkan perubahan di Jakarta, alhamdulilah PKS-Gerindra memenangkan tampuk kepemimpinan di DKI.
Pilkada 2018
Ujian soliditas persekutuan PKS-Gerindra terjadi saat perhelatan Pilkada serentak 2018. Kali ini seluruh mata tertuju pada pilkada Jawa Barat, provinsi terbesar, dimana PKS merupakan petahana dua periode di Jawa Barat.
Formasi koalisi awal PKS-Gerindra adalah mengusung Demiz-Syaikhu.
Ini formasi yang ideal. Mengingat Demiz adalah Wakil Gubernur yang diusung PKS bersama Ahmad Heryawan. Dari sisi keberlanjutan dan prospek kemenangan juga paling tinggi probabilitasnya.
Namun di tengah jalan, karena sesuatu hal, Prabowo Subianto menolak mencalonkan Demiz. Ini membuat goncangan koalisi PKS-Gerindra di Jawa Barat.
Prabowo tiba-tiba mengusulkan nama yang tidak dikenal; yakni Mayjend (purn) Sudrajat. Dia adalah Mantan Kapuspen TNI dan Dubes.
Jika PKS rasional dan hanya mempertimbangkan popularitas dan elektabilitas, maka seharusnya PKS menolak calon Gerindra dan tetap mengusung Demiz.
Karena popularitas dan elektabilitas Demiz jauh lebih unggul dibandingkan Sudrajat.
Jadi, kenapa Sudrajat?
Perjanjian Pilpres 2019
Apa yang menyebabkan PKS putar haluan mendukung Sudrajat dan meninggalkan Demiz?
Ada dua alasan.
Pertama, PKS mengedepankan aspirasi umat-ulama agar menjaga kebersamaan dengan Gerindra. Umat dan ulama melihat PKS-Gerindra sebagai sekutu yang sudah berjuang bersama sejak 2014 dan harus berlanjut hingga 2019 nanti.
Bagi PKS, pilkada 2018 adalah batu loncatan untuk menuju Pilpres 2019.
Sehingga, PKS meyakini bahwa desain koalisi Pilkada 2018 diikhtiarkan untuk tetap sejalan dan sebangun dengan desain koalisi Pilpres 2019.
Alasan kedua, adanya Perjanjian PKS-Gerindra yang menyatakan bahwa di pilpres 2019 nanti, koalisi PKS Gerindra sepakat untuk mengusung paket Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil presiden bersama-sama.
Berdasarkan Perjanjian tersebut, Gerindra diharuskan mengambil Cawapres yang diusung oleh PKS.
Dan sebaliknya, PKS juga diharuskan mengusung Capres yang dicalonkan oleh Gerindra.
Ujian Komitmen Seorang Prajurit
Hasil pilkada Jawa Barat dan Jawa Tengah memang tidak sesuai yang diharapkan.
Namun bagi banyak kalangan, hasilnya cukup mengagetkan dan menjungkirbalikan semua lembaga survey dan opini pengamat.
Meskipun koalisi PKS-Gerindra gagal meraih kemenangan di Jawa Barat, namun hasil yang diperoleh tetap luar biasa.
Di Jawa Barat, pasangan Asyik yang di lembaga Survey selalu mendapat angka 6-7 persen, di saat hari-H ternyata bisa naik 4 kali lipat!!
Apa sebabnya?
Para lembaga survey dan pengamat rame-rame menjelaskan bahwa lompatan suara itu karena efektifnya kerja mesin PKS di akar rumput di detik-detik terakhir.
Hal yang sama diakui oleh Cawagub Dedy Mulyadi yang melihat langsung pergerakan kader PKS yang door to door mempromosikan Pasangan Asyik.
2 minggu menjelang pencoblosan, memang benar kader-kader PKS bergerilya secara masif baik di darat maupun di dunia maya.
Presiden PKS dalam sebuah pertemuan di hadapan kader-kader PKS pernah membocorkan rahasia kenapa suara Asyik melonjak drastis.
Ada dua penjelasan.
Pertama, strategi kampanye #2019GantiPresiden ternyata sangat manjur digunakan di Jawa Barat.
Strategi ini berhasil membuat faktor pembeda Asyik jika dibandingkan dengan 3 pasangan calon lainnya.
Kedua, militansi dan mesin PKS yg berkerja sangat efektif plus dukungan luar biasa dari para ulama.
Menjelang 10 hari pencoblosan, Presiden PKS memerintahkan kader-kader PKS Jawa Barat mencetak 5 juta poster dan 10 ribu spanduk untuk dibagikan didaerah basis PKS dan pemilih Prabowo di 2014.
Dalam waktu kurang dari 10 hari, semua alat peraga kampanye itu ludes habis tersebar ke rumah-rumah di daerah basis. Strategi ini ternyata terbukti sangat efektif mendongkrak suara Asyik.
Kisah Jawa Barat bukan hanya kisah keajaiban kerja-kerja politik kader PKS dan dukungan umat.
Tapi ini juga kisah kepahitan PKS dalam memperjuangkan soliditas PKS-Gerindra sebagai sekutu dengan membayar mahal kehilangan tampuk kepemimpinan Jawa Barat yang sudah dipegang selama 10 tahun.
Sayangnya, totalitas PKS dalam menjaga kebersamaan dalam berjuang dengan Gerindra masih belum dipahami dengan baik oleh Prabowo Subianto.
Hingga detik ini, Sang Ketua Umum Gerindra tersebut tetap menggantung harapan kader PKS dan enggan mengambil 1 dari 9 Calon Wakil Presiden dari PKS.
Prabowo lebih memilih Demokrat sebagai pendatang baru dengan AHY sebagai cawapres potensial mendapingi Prabowo.
Situasi ini mengingatkan saya pada pernyataan Prabowo di hadapan pimpinan dan kader PKS saat Milad Ke-20 PKS. Dia mengatakan;
“Saya tidak akan pernah meninggalkan PKS. Karena PKS paling setia bersama saya. Ketika Prabowo susah, PKS-lah yang tetap setia berjuang bersama.” ujar Sang Jenderal.
Ya. Mungkin 08 benar. Dia tidak akan meninggalkan PKS.
Masalahnya adalah apakah dia masih komitmen dengan janjinya akan mengambil Cawapres dari PKS?
Banyak pihak, termasuk Pimpinan PKS masih menaruh kepercayaan kepada Prabowo.
PKS masih percaya bahwa Mantan Danjen Kopasus itu adalah seorang patriot dan prajurit sejati. Dia berbeda dengan Ketum PDIP Megawati yang telah menghianati Perjanjian Batu Tulis.
Sebagai seorang Prajurit sejati, PKS yakin bahwa Prabowo Subianto akan selalu pegang janji dan kata-katanya.
Karena saya tidak bisa membayangkan, jika dengan Sekutunya saja seorang prajurit bisa berkhianat, bagaimana nanti jika dia dipercaya menjadi pemimpin bangsa?
Jakarta, 27 Juli 2018
Salam,
Ibnu Bakar
Post a Comment