Ibuku, Bukan Guruku: Sebuah Refleksi Untuk Orang Tua
Bunga Erlita Rosalia*
Jabungonline.com - Fenomena wanita karier pada era millenial ini kerap menjadi buah simalakama. Satu sisi dapat membantu ekonomi keluarga, satu sisi artinya menyerahkan tugas mendidik anak kepada orang lain. Mungkin pada awalnya kegalauan ini melanda seluruh wanita karier, namun hal ini tampaknya sudah tidak menjadi masalah. Karena pada fakta dilapangannya sang anak biasanya dititipkan kepada baby day care atau menyewa seorang baby sitter, bahkan tak jarang dititipkan kepada eyang kakung atau sanak saudara.
Mendidik Anak Tidak Bisa di Sub Kontrakkan
Salah satu kewajiban orangtua kepada anak adalah mendidik dan mengasuh hingga akhir hayatnya. Pepatah arab yang paling sering kita dengar adalah Al-ummu madrasatul ula yang artinya ibu adalah sekolah utama. Definisi sekolah utama adalah anak mendapatkan pengajaran pertama kali dari sang ibu. Entah itu belajar berbicara, berjalan, berhitung, atau mengeja huruf. Namun dengan seiring dengan berjalannya waktu, biasanya pola pengajaran utama ini akan terhenti dan di sub kontrakkan kepada orang lain. Terutama pengajaran aqidah dan syariat islam kepada anak.
Sekolah secara otomatis akan menjadi tempat ‘pelarian’ terindah. Karena anak akan di bina dengan sepenuh hati oleh para pendidik sesuai dengan kurikulum yang ada. Tentunya dengan harga SPP yang melangit, bahkan tahun 2017 ini biaya masuk SD setara dengan membeli sepeda motor baru. Tapi tak apa, bukan kah untuk anak apa yang tidak?
Orangtua pun biasanya akan terlena, karena menganggap bahwa sekolah sudah mengambil alih peran pendidikan. Maka tak perlu lagi lah melakukan tarbiyah kepada anak. Padahal pemikiran sempit ini yang akan menjadikan attachment anak dan orangtua semakin renggang. Kita berfikir fakta saja. Anak menghabiskan waktu di sekolah sekitar 5 – 7 jam (belum termasuk ekskul dan kursus), setelah itu pulang ke rumah jelas sudah dalam keadaan letih. Anak lebih berharap ketemu kasur dari pada ketemu orangtuanya. Itupun kalau orangtuanya sudah dirumah. Kalau orangtua datang larut malam, maka tak akan ada waktu untuk menyapa anak hanya untuk sekedar bertanya
“Hai nak, bagaimana sekolah mu hari ini? Apa yang kamu pelajari di sekolah? Apa ada kesulitan? Apa yang bunda bisa bantu?”
“Anak shalih, belajar apa saja hari ini? Ilmu baru apa saja yang kamu dapatkan?
Jarang sekali orangtua yang masih memperhatikan apa yang anak nya pelajari di sekolahan atau tempat kursus. Apalagi orangtua yang mau me-review kembali pelajaran anaknya. Mungkin ketika anak masih toodler masih bisa di perhatikan dengan baik. Tapi ketika anak sudah masuk akhir Sekolah Dasar, memasuki Sekolah Menengah Pertama atau ketika menduduki Menengah Atas, biasanya sudah tidak ada lagi tarbiyah lanjutan di rumah yang dilakukan oleh orangtuanya.
Kekosongan pendidikan ini akan menjadi celah untuk informasi yang masuk kedalam otak anak dikesehariannya. Lingkungan yang terkadang kita sebagai orangtua sulit untuk kendalikan, akan menjadi dua mata pisau yang siap menyerang anak kita kapanpun. Tentunya kita tak asing lagi dengan fenomena pacaran, LGBT, pemerkosaan, pencabulan, dll. Apakah lingkungan ini yang kita inginkan? Akankah kita izinkan anak kita masuk kedalam lingkungan tanpa ada bekal sama sekali?
Sudah seharusnya sang ibu tetap penjadi sekolah utama untuk anak, dan menjadi sumber informasi pertama yang dicari oleh anak. Entah itu saat masih dalam buaian, ketika sudah masuk sekolah bahkan saat beranjak dewasa. Sang ibu akan tetap memiliki kewajiban untuk mereview kembali apa saja ilmu atau maklumat yang didapatkan oleh sang anak. Hal ini juga tak lain sebagai salah satu proteksi untuk mencegah anak mendapatkan ide dari ideologi selain islam.
Kembali Menjadi Guru Bagi Anak
Menjadi orangtua otomatis menjadi guru bagi sang anak. Orangtua jelas dituntut untuk terus upgrade ilmu tentang pengasuhan anak. Karena mendidik anak tidak mendadak dan tidak dapat di undo. Sekali salah dalam pengasuhan, akan ber efek jangka panjang dan tidak dapat di ulang.
Di dunia serba digital ini, mencari ilmu parenting ini bukanlah hal yang sulit. Banyak artikel opini yang berkeliaran di social media kita. Seminar offline dan online bertemakan pengasuhan kerap kita temui. Akses berselancar di dunia maya pun sangat mudah. Hanya tingga subscribe atau follow maka kita akan mendapatkan banyak ilmu pengasuhan, tak perlu susah susah ke toko buku lalu membaca buku parenting yang tebal nya lebih mirip tesis daripada buku bacaan. Dan atas akses yang mudah didapat ini pun orangtua tetap harus memiliki filter, manakah ilmu dan maklumat yang sesuai dengan ajaran islam? Dan mana yang tidak sesuai dengan ajaran islam.
Sehingga akan menjadi pertanyaan besar jika kita sebagai orangtua tetap tidak mau mencari ilmu tentang pengasuhan anak di tengah mudahnya akses informasi ini. Akankah kita tetap menggunakan ilmu pengasuhan turun termurun? Sementara zaman sudah bergulir dari generai X ke Y. Pelarian kepada sekolah dan kursus pun tidak akan menjadi jawaban. Karena anak akan tetap butuh tarbiyah secara langsung dari orangtuanya.
Baik orangtua yang bekerja maupun tidak akan tetap dikenakan kewajiban menjadi guru bagi buah hatinya. Sayangnya kewajiban ini tidak dapat dipindah tangankan, kepada sanak saudara yang mengasuh, baby day care , atau baby sitter. Orangtua tetap harus menjadi sekolah utama dan benteng pertama sang anak dari ide ide selain ideologi islam. Orangtua menjadi
Maka izinkan penulis untuk memberikan kampanye ibu generasi dalam rangka menyambut Hari Ibu, 22 Desember 2017. Penulis menyeru kepada seluruh ibu dimanapun berada, untuk selalu mendekap hangat sang anak, didiklah anak anak kita dengan kesadaran bahwa anak adalah amanah yang akan kita tuai hasilnya di masa depan dan akan kita pertanggung jawabkan pengasuhan kita di depan Sang Pencipta, Allah SWT.
Jadikanlah anak kita sebagai investasi di peradaban islam yang cemerlang, jadikan lah mereka para pembela agama islam di tengah pertempuran ideologi saat ini. Karena jika bukan anak anak kita, maka siapa lagi yang akan memegang estafet kepemimpinan islam? [MO]
*Pemerhati Parenting, Pendidikan, Kesehatan, dan Anak Anak.
Post a Comment