Ketika Jokowi Kewalahan Menjadi Presiden
Jabungonline.com - Mengapa dalam waktu kurang dari tiga tahun ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) begitu banyak melakukan blunder? Mengapa “public relation” beliau sangat buruk? Mengapa Jokowi akhirnya berada di posisi berhadap-hadapan dengan umat Islam, yang berpuncak pada Perppu 2/2017? (Dan sekarang ribut Dana Haji yang akhirnya "itu hanya contoh")
Mungkin banyak lagi pertanyaan, tetapi jawabannya singkat saja. Bahwa semua itu terjadi karena, mohon maaf, Jokowi “inexperienced”. Minus pengalaman. Belum memiliki bekal personalitas yang diperlukan oleh seorang presiden.
Dia mudah dekat secara fisik dengan rakyat, tetapi menjadi presiden tidak cukup bermodalkan itu saja. Suka blusukan ke dalam got, parit, pasar becek, dll, pastilah akan terlihat merakyat. Mudah diajak berfoto, mudah diajak bersalaman, tidak terlalu protokeler, adalah keinginan semua orang.
Mau duduk di Warteg adalah pesona yang sangat dikagumi. Berpenampilan sederhana adalah daya tarik yang magnetis. Itulah citra pribadi.
Sayangnya, semua itu hanya berguna untuk mengumpulkan suara. Tidak berguna untuk menjalankan mandat pemilik suara. Jokowi mampu merebut kursi presiden tetapi kewalahan menjadi presiden.
Para pengusung Jokowi memanfaatkan kekaguman rakyat terhadap blusukan, mudah foto bersama, mudah bersalaman dengan khalayak, dll, untuk mengantarkan Jokowi ke Istana. Setelah berada di singgasana, realitas yang dihadapi Jokowi menjadi sangat membingungkan dirinya. Beliau “overwhelmed” (kewalahan).
Diagnosa ini sangat menyakitkan sekaligus menyedihkan bagi semua orang. Tetapi, rakyat perlu disadarkan agar di masa depan tidak lagi terjebak perangkap CITRA pribadi.
Di posisi presiden, Anda menghadapi masalah yang sifatnya nasional. Anda menyusun UU, bukan perda. Anda memutuskan kebijakan yang berdampak ke seluruh rakyat dan ke semua bidang kehidupan. Anda memutuskan kenaikan TDL, tarif pajak, izin operasi usaha multinasional, pinjaman luar negeri, arah kebijakan ekonomi. Anda mengangkat dutabesar yang diincar banyak parpol, dlsb.
Singkat kata, wewenang Anda sangat besar. Sangat banyak pula yang memerlukan persetujuan dan tanda tangan Anda.
Kekuasaan Anda bisa juga menentukan posisi ketua umum partai. Di bawah Anda, ada sekian menteri, dirjen, ratusan direksi BUMN, ketua asosiasi, ketua yayasan, dll, yang siap memuliakan Anda. Dan juga membuat Anda tergelincir.
Semua kamera media tertuju kepada Anda. Semua jadwal Anda akan menjadi berita nasional. Anda menjadi bintang media. Menjadi fokus berita. Karena menjadi bintang dan fokus, maka Anda harus tampak prima dan sempurna.
Untuk itu, mutlak diperlukan KAPABILITAS. Kemampuan. Dan itu HARUS DI ATAS RATA-RATA. Harus di atas para politisi yang ada di parlemen. Anda dituntut memiliki penguasaan masalah, terkadang sampai ke tingkat teknis. Anda dituntut memiliki kemapuan berbicara yang sifatnya argumentatif, harus artikulat. Anda harus menguasai penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, lisan dan tulisan.
Apakah Jokowi memiliki syarat-syarat ini? Silakan Anda cocokkan sendiri.
Yang jelas, beliau sangat bergantung pada “spin doctors” (tukang poles, tukang bisik, buzzer). Dari sinilah bermula semua masalah yang terjadi sekarang. Semua disiapkan oleh pemoles dan pembisik. Tidak salah meminta masukan dari tim penasihat, tetapi presiden harus bisa mempertanyakan masukan-masukan itu. Apalagi menyangkut isu yang sensitif.
Presiden seharusnya mengambil posisi sutradara (pengarah), bukan yang disutradarai. Dalam pengolahan presentasi berbagai isu, memang presiden sering harus disutradarai. Ini praktik yang lumrah di mana-mana. Tidak masalah.
Tetapi, presiden seharusnya menjadi sumber inspirasi bagi tim penasihat (spin doctors), bukan sebaliknya. Berdasarkan inspirasi presiden, tim penasihat akan membuat PERUMUSAN bukan PENJERUMUSAN.
Yang terjadi sekarang adalah tim penasihat terkesan menjerumuskan Jokowi. Sayangnya, Jokowi tidak merasa dijerumuskan.
Inilah konsekuensi yang harus dirasakan oleh rakyat akibat presiden yang tidak lahir dari “natural selection” (seleksi alam). Jokowi bukan politisi yang teruji di internal orpol. Dia seorang pengusaha meubel yang kemudian disukai warga Solo untuk dijadikan walikota.
Jokowi belum memiliki kapasitas presidensial ketika beliau dipaksakan ke posisi presiden.
Dia bukan Soeharto apalagi Soekarno. Belum juga setara SBY. Dua yang pertama adalah tokoh yang muncul melalui seleksi alam. Mereka kuat dan disegani. Dalam batas tertentu, SBY juga melewati “natural selection”. Ketiga presiden ini tahu apa yang harus mereka lakukan. Mengerti harus menuju ke mana.
Melalui seleksi alam, seorang presiden akan memiliki instink yang tajam. Dia bisa berlayar di laut lepas tanpa bergantung 100% pada alat navigasi.
Oleh : Asyari Usman
(Wartawan senior) [pid]
Post a Comment