LEKRA (PKI) Dan Pementasan Budaya Penghinaan Kepada Islam
Asslamualaikum sahabat JO, pada kesempatan kali ini JO akan membagikan informasi mengenai :
LEKRA (PKI) Dan Pementasan Budaya Penghinaan Kepada Islam
Jabungonline.com - Untuk memperkuat perjuangannya, PKI semakin mengaktifkan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sebagai ujung tombak perjuangan. Lekra berhasil menguasai berbagai kesenian rakyat seperti ludruk, ketoprak, reog, dan sebagainya.
Pada 15 Januari 1965, ludruk Lekra membuat pementasan di Prambon dengan lakon Gusti Allah Dadi Manten (Allah Menjadi Pengantin). Pementasan yang menghina agama Islam tersebut langsung digerebek oleh pasukan Banser (Barisan Serbaguna bentukan Pemuda Ansor), sehingga pertunjukan itu bubar dan pemainnya dihajar oleh Banser.
Rupanya Lekra di tempat lain juga melakukan hal yang sama, seperti Kecamatan Kampak, Kab. Trenggalek, Jawa Timur. Mereka menyelenggarakan pertunjukan tayuban di halaman masjid pada hari Jum’at. Mereka ini sudah tidak bisa diperingatkan. Bahkan, saat mau dilaksanakan sembahyang Jum’at pertunjukan terus dijalankan dengan dihadiri penuh oleh penonton yang memenuhi halaman masjid. Maka akhirnya terpaksa kelompok Islam mengalah dan terpaksa menyelenggarakan sembahyang Jum’at di masjid lain. Hal itu membuat kalangan umat Islam, khususnya NU, sangat prihatin karena tidak lagi bebas menjalankan ibadah.
Setelah itu mereka mementaskan ketoprak dengan lakon Rabine Gusti Allah (Perkawinan Gusti Allah) di Kecamatan Kampak. Kalangan Nahdlatul Ulama, terutama Pemuda Ansor-nya, tidak tinggal diam. Mereka lalu mengadakan penyelidikan ke tempat pertunjukan. Ketika pementasan sedang berjalan, sekelompok Pemuda Ansor yang sudah lama mengintai lakon yang melecehkan kesucian agama tersebut segera melakukan penyergapan.
Kelompok Pemuda Rakyat (PKI) melindungi mereka (penyelenggara pementasan) sehingga terjadi perkelahian. Tapi akhirnya semua pemain ketoprak dan pimpinannya berhasil diringkus dan kemudian diadili dan dihukum pernjara karena pertunjukan itu dianggap menodai agama dan mengundang kerusuhan.
Penghinaan terhadap agama Islam ini juga terjadi di Kecamatan Mojo, Kab. Kediri, sekitar tahun 1965. Selain menggelar pertunjukan ketoprak dengan lakon Gusti Allah Mantu, mereka juga menggelar lakon Kyai Barhum yang mengisahkan seorang kyai pesantren yang suka mabuk dan bermain judi sekaligus berwatak culas hingga sering membuat keributan dengan tetangga.
Pertunjukan itu tidak diserang langsung tetapi hanya dilempar serpihan genting yang sudah diberi mantera oleh Kyai Zazuki. Keajaiban terjadi, tiba-tiba muncul badai besar yang memporak-porandakan panggung dengan segala peralatannya sehingga pertunjukan tidak jadi dilangsungkan.
Sementara itu, ketika lakon Gusti Allah Mantu dipentaskan di Kecamatan Papar (Kediri), tidak disergap Banser, tetapi minta bantuan seorang kyai, lalu disirep, hingga semua pemainnya tertidur lelap. Saat itulah Banser melakukan penyerbuan tanpa perlawanan dan pemain yang terlibat dieksekusi.
Di Kecamatan Pogalan (Trenggalek), Lekra kembali menyelenggarakan pentas kesenian Langen Tayub persis di sebelah masjid kecamatan selama dua hari dua malam tanpa henti. Karuan saja pertunjukan itu mengganggu aktivitas masjid terutama saat sembahyang. Lalu diadakan kompromi, pertunjukan berhenti sejenak saat sembahyang lima waktu. Tetapi kesepakatan itu tidak dipatuhi PKI. Namun, untuk menjaga perdamaian, pihak Ansor tidak mengusir mereka dari halaman masjid. Akhirnya pihak GP Ansor hanya berjaga di serambi masjid agar simpatisan PKI tidak masuk dan merusak masjid.
Lain lagi dengan provokasi yang dilakukan oleh Lekra PKI di Kediri. Mereka menyelenggarakan pertunjukan wayang di berbagai tempat. Sang dalang, Ki Djamadi, seringkali mengangkat lakon yang menghina agama. Melihat terjadinya penghinaan agama itu, dalam sebuah penyergapan yang dilakukan Ansor ke Desa Kencong, rumah Ki Djamadi dibakar. Selain itu, kantor Kecamatan Kepung, yang dikuasai PKI, berhasil direbut kembali oleh Ansor untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah. Dalam melakukan penyerbuan ini Ansor bekerjasama dengan pemuda PNI.
Menyerang agama rupanya telah menjadi naluri, bahkan tugas utama para aktivis PKI. Sehingga pada suatu hari, Ketua PKI Kecamatan Turen (Malang) bernama Kusnan, dan Ketua Pemuda Rakyat-nya yang bernama Niam yang terkenal sakti itu menginjak-injak Qur’an. Ia juga mengatakan kepada semua yang hadir bahwa Qur’an itu bukan kitab suci melainkan hanya buku yang berisi kebohongan. Ia katakan itu sambil menantang-nantang kelompok Muslim. Akhirnya, ketua Banser Turen bernama Samad menantang Niam berkelahi. Dan dalam perkelahian itu, Niam mati terbunuh. Peristiwa ini membuat kelompok PKI Turen ketakutan dan menahan diri tidak melakukan penghinaan terhadap Islam dan Kyai NU, yang bisa mengundang kemarahan Ansor.
Walaupun berbagai lakon ludruk dan ketoprak yang menghina agama telah dibubarkan karena protes dan penggerebekan oleh Ansor NU, ternyata PKI tetap mementaskannya di daerah-daerah lain. Pada bulan Juli 1965 di Dampit, Malang selatan, ada kabar ludruk Lekra hendak mementaskan lakon Rabine Malaikat (Malaikat Menikah).
Setelah dibicarakan oleh pimpinan Ansor, diadakan penyelidikan ke tempat pertunjukan, karena khawatir semuanya ini hanya isu yang sengaja dilontarkan PKI untuk menjebak Ansor. Setelah diintai, ternyata lakon tersebut benar-benar dipentaskan. Saat itu juga Ansor yang sudah menyamar sebagai penonton dan sebagian bersembunyi di belakang panggung melompat ke atas panggung dan menagkap semua pemainnya sehingga terjadi keributan. Bahkan pimpinannya dipukuli oleh Ansor. Karena Ansor bisa menguasai keadaan, pertunjukan pun lalu dibubarkan.
Pertunjukan yang menghina agama semacam itu juga terjadi di Pati, Kudus dan sebagainya. Di kota-kota tersebut dipentaskan ketoprak dengan lakon Gusti Allah Bingung. Tentu hal itu memancing kemarahan kelompok santri. Perkelahian antar kedua kelompok, PKI dan santri, selalu terjadi di arena pertunjukan seperti itu yang berujung pada pembubaran acara, karena penonton panik dan pemain juga ketakutan.
Demikian sahabat JO informasi yang berhasil kami kutip dari Buku “Benturan NU-PKI 1948-1965” (H. Abdul Mun’im DZ); Penerbit: PBNU (2014), hal. 96-104, mudah-mudahan bermanfaat.
Post a Comment