Kisah Taktik Perang Candu, MENAKLUKAN Suatu Bangsa Dengan Tanpa Berperang (Asimetris Warfare)

Jakarta- Paparan Panglima TNI dalam sebuah acara diskusi di sebuah televisi nasional menyinggung soal Perang Candu yang bertujuan penaklukan suatu bangsa dengan ketergantungan narkotika dan segala bisnis haram dibaliknya, penaklukan tanpa perlu melakukan invasi atau mengirimkan bala tentara (kekuatan militer) seperti yang pernah terjadi di China oleh Inggris dan Perancis

di era perang asimetris dimana sering digunakan analisis perang gerilya, pemberontakan, terorisme, kontrapemberontakan, dan kontraterorisme. Semua itu pada dasarnya adalah konflik kekerasan antara militer formal melawan musuh yang informal, kurang memiliki perlengkapan, dukungan, ataupun personel, tetapi ulet.

Popularitas istilah ini berawal dari artikel Andrew J.R. Mack (1975) di World Politics, berjudul “Why Big Nations Lose Small Wars.” Di sini “asimetris” secara sederhana diartikan sebagai kesenjangan kekuatan yang signifikan antara pihak-pihak yang bertentangan dalam konflik. “Kekuatan” di sini secara luas disamakan dengan kekuatan material, seperti jumlah tentara yang besar, persenjataan canggih, ekonomi yang maju, dan seterusnya.

Meski konsep ini sempat diabaikan pada masa itu, analisis Mack ternyata memancing minat baru sejak berakhirnya Perang Dingin tahun 1990-an. Pada 2004, militer Amerika secara serius mulai mempertimbangkan kembali problem-problem yang terkait dengan perang asimetris.

Dalam menelaah konsep ini, para akademisi cenderung lebih berfokus pada upaya untuk menjelaskan teka-teki: Mengapa pihak yang lemah bisa menang dalam perang? Jika “kekuatan” secara konvensional dianggap mendukung tercapainya kemenangan dalam perang, bagaimana kita bisa menjelaskan kemenangan pihak yang “lemah” terhadap yang “kuat?”

Penjelasan kunci itu mencakup: (1) interaksi strategis; (2) kesediaan pihak yang lemah untuk lebih banyak menderita atau menanggung biaya lebih besar; (3) dukungan eksternal pada pihak yang lemah; (4) keengganan untuk mengeskalasi kekerasan dari pihak yang kuat; (5) dinamika kelompok internal; dan (6) tujuan-tujuan perang dari pihak kuat yang terlalu berlebihan.

Kemenangan Pihak yang Lemah

Konflik-konflik asimetris, termasuk perang antar-negara dan perang saudara, selama sekitar 200 tahun terakhir, biasanya dimenangkan oleh pihak-pihak yang kuat. Namun sejak 1950, pihak-pihak yang lemah telah memenangkan mayoritas dari seluruh konflik-konflik asimetris.

Keberhasilan taktis perang asimetris tergantung pada setidak-tidaknya beberapa asumsi. Ketidak-unggulan teknologi biasanya bisa diatasi dengan menyerang infrastruktur yang lebih rapuh, yang bisa menjadi sasaran dengan dampak yang sangat merusak. Penghancuran jaringan tenaga listrik, jalan raya, dan sarana air minum di wilayah yang berpenduduk padat, misalnya, bisa berdampak dahsyat secara ekonomi dan melemahkan moral. Pada saat yang sama, pihak yang lemah justru sulit diserang karena mereka lebih lincah bermanuver dan memang tidak memiliki struktur seperti itu sama sekali untuk diserang.

Salah satu taktik yang bisa dilakukan dalam perang asimetris adalah penggunaan unsur-unsur non-pemerintah, yang biasanya secara diam-diam memiliki koneksi atau bersimpati pada kepentingan negara tertentu. Ini bisa disebut juga war by proxy (perang oleh seseorang yang diberi wewenang untuk bertindak demi kepentingan pihak lain).

War by proxy biasanya dilakukan agar dapat memberikan bantahan keterlibatan (deniability) di pihak aktor negara yang terlibat. Kemampuan membantah itu diperlukan agar aktor negara tidak tercemar oleh dampak negatif tindakan tersebut, sehingga memungkinkan ia bernegosiasi dengan seolah-olah ada niat baik. Aktor negara akan mengklaim bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang dilakukan pihak-pihak yang sekadar simpatisan. Hal itu juga menghindarkan aktor negara dari tuduhan suka berperang atau melakukan kejahatan perang, seperti dikutip dari tulisan Satrio Arismunandar

Indonesia yang dikenal sebagai negara yang kaya sumber daya alamnya, tentunya menjadi incaran banyak pihak, lantas bagaimana kah cara ‘menaklukan’ indonesia? apakah melalui kekuatan militer? ataukah melalui war by proxy, dimana bayak diciptakan antek antek? atau perang dengan menghancurkan moral dan kekuatan generasi mudanya?

Bangsa sebesar Amerika dan China kini telah mencoba menghindari peperangan yang menggunakan kekuatan militer, selain terkait anggaran, hal utama yang menghambat lainnya adalah kritikan pedas di tingkat parlemen atau senat nya sehingga mempengaruhi kebijakan pemerintah yang sedang memerintah

Lantas apakah yang akan mereka perbuat kepada Indonesia, pertama adalah menciptakan antek dan kedua adalah menciptakan ketergantungan pasar

Kedua hal tersebut saat ini sudah sangat sejal terlihat, di Negara ini kini banyak yang bersedia menjadi antek antek, dimana tugas antek tersebut adalah ‘memecah belah’ kekuataan inti dari Indonesia itu sendiri

Sementara menciptakan ketergantungan pasar adalah melalui sektor ekonomi berupa utang dan atasnama harapan investasi, berapa banyak utang yang diciptakan serta berapa banyak perusahaan asing kini diberikan keleluasan untuk menghisap dan mengambil sumber daya yang ada di Indonesia

Upaya pengambil alihan sumber daya itu pun dilakukan dan dilancarakan berkat bantuan para Proxy yang diciptakan, alias oleh para antek yang selalu dengan setia berjuang demi kepentingan asing

Taktik perang candu, kini bukan hanya berupa ketergantungan dari bisnis narkotika dan gurita bisnis hitam dibaliknya yang melibatkan kekuatan para bintang didalamnya, namun kata candu atau ketergantungan itu kini bisa bertambah dengan kalimat ekonomi yaitu utang dan investasi

Berkat kinerja keras BNN dibawah komjen Budi Waseso, perang candu bisa sedikit diredam diamputasi dengan bukti penemuan puluhan hingga ratusan kilo narkotika yang diseludupkan ke Indonesia melalui Malaysia dari China

Namun taktik candu ‘beneran’ itu akan terus terjadi, demi hancurnya generasi muda di Indonesia, sehingga tercipta generasi generasi zombie yang akan rela menjuual bangsa nya sendiri demi ketergantungan akan suplai narkotika yang ada (ditambah pemain di dunia ini sudah merambah tingkat pejabat dan pemangku kekuasaan di negeri ini)

Belum lagi, taktik perang candu bersifat ekonomi berupa pemberian utang serta alasan investasi yang nyatanya malah menguntungkan mereka bukan anak negeri ini

Bahasa penguasaan atau menguasai, kali ini bukan hanya sebatas bahasa invasi militer atau penguasaan wilayah, tetapi sudah pada bahasan penguasaan sumber daya serta pengendalian pemerintahan tanpa perlu memakai kekuatan militer yang ada atau dimiliki

Indonesia harus bersiap dan waspada, perang asimetris itu sudah didepan mata, karena antek antek sudah banyak diciptakan (yang rela menjual negeri ini kepada asing dan aseng) serta pembangunan infratruktur dengan melakukan utang luar negeri yang luar biasa meningkat dan mengikat kedepannya

Lantas, apakah kita rela negeri ini harus kalah dan takluk tanpa mau berperang dan mencoba melawan?

No comments

Powered by Blogger.