Refleksi Tiga Dekade Konflik Gajah Liar di TNWK
Lampung Timur - Tanggal 12 Agustus merupakan momen peringatan hari gajah sedunia. Saya lebih senang menyebutnya dengan hari perenungan gajah sedunia. Mengingat kondisi gajah di Sumatera yang tengah menghadapi ancaman kepunahan.
Betapa tidak, saat ini gajah sumatera mengalami penurunan populasi yang sangat dratis.
Gajah, yang oleh masyarakat Lampung disebut degan nama "liman", adalah spesies dari kelas mamalia yang berukuran besar. Berat tubuhnya dapat mencapai enam ton. Satwa berukuran besar ini menghabiskan waktu 16-19 jam, dari 24 jam sehari semalamnya, untuk mencari makan. Hanya sedikit waktu yang digunakan untuk beristirahat dan tidur.
Kebiasaan dan juga kebutuhan makan yang sangat besar ini membuat daerah jelajah gajah relatif luas, kurang lebih 10 km persegi.
Kehadiran gajah di suatu lokasi mengindikasikan sumber daya yang mencukupi untuk mendukung kehidupan satwa lain, yang menjadi pertanda sehatnya suatu ekosistem. Karena itu gajah sering disebut "Satwa Payung".
Lokakarya penggiat konservasi dari Forum Konservasi Gajah Indonesia bersama instansi pemerintah terkait tahun 2014 merilis angka populasi gajah sumatera 1.700 individu. Jumlah ini turun dari angka populasi sebelumya pada tahun 2007 yakni 2.400-2.800 individu.
Ada tiga isu utama yang menjadi penyebab menurun populasi gajah.
Fragmentasi dan kehilangan habitat alami gajah; pembunuhan serta perburuan bagian-bagian tubuh gajah; dan konflik sumber daya antara manusia dengan gajah.
Catatan konflik manusia dengan gajah
Sulit menentukan titik awal permasalahan konflik manusia dengan gajah ini. Membicarakan akar konflik akan memunculkan perdebatan yang sangat panjang, sebagaimana menentukan mana yang lebih dahulu, antara telur dan ayam. Bisa jadi, fenomena konflik antara manusia dengan gajah yang terjadi dewasa ini adalah akibat dari kelalaian kita semua.
Pengelolaan sumber daya alam bertumpu kepada eksploitasi hutan secara besar-besaran. Pembalakan liar dan pembukaan hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan telah berdampak negatif terhadap sistem penyangga kehidupan di dalam kawasan hutan.
Pada akhirnya perubahan bentang alam memberi dampak negatif pula terhadap kehidupan masyarakat di sekitar kawasan. Dalam konteks ini, laju kerusakan hutan yang terus meningkat dari tahun ke tahun telah mengakibatkan terbuka konflik manusia dengan satwa karena perebutan ruang.
Di Sumatera Selatan, konversi kawasan hutan untuk permukiman dan lahan pertanian atas nama pembangunan ekonomi daerah mengarah kepada konflik manusia dengan gajah.
Tahun 1982 dilakukan program relokasi gajah yang dikenang sebagai "Operasi Ganesha", untuk memindahkan gajah--katanya bermasalah--ke tempat yang aman. Dari lokasi transmigrasi di Air Sugihan ke Suaka Margasatwa Padang Sugihan.
Pada tahun 1984 di Provinsi Lampung, dengan alasan yang sama, masih dengan istilah "Operasi Ganesha", dilakukan penataan terhadap gajah bermasalah. Gajah liar yang berada di Kabupaten Lampung Tengah dan beberapa daerah lain di sekitarnya, dipindahkan ke Taman Nasional Way Kambas (TNWK).
Tahun 1986, di kawasan TNWK, didirikanlah Pusat Latihan Gajah (PLG). Fasilitas yang belakangan dinamakan menjadi Pusat Konservasi Gajah (PKG) ini menjadi tempat sementara maupun akhir bagi gajah-gajah yang bermasalah.
Program penataan ini dikenal dengan sebutan tata liman, guna liman, dan bina liman. Petugas PKG mendidik gajah-gajah bermasalah itu menjadi gajah yang terlatih dan bermanfaat.
Perjalanan panjang penanganan konflik gajah
Penduduk di sekitar TNWK merasakan dampak kerugian dari konflik manusia dengan gajah berupa kehilangan sebagian hasil budi daya pertanian dan perkebunan. Korban jiwa juga berjatuhan, baik pada manusia maupun gajah.
Selama 15 tahun terakhir, sedikitnya dua korban jiwa meninggal, dan dua ekor gajah mati akibat konflik manusia dengan gajah.
Gangguan gajah liar telah mempengaruhi kehidupan sebagian penduduk yang tinggal di pinggir kawasan TNWK. Konflik manusia dengan gajah sejak tahun 1980-an telah mengakibatkan masyarakat berada pada posisi yang rentan.
Masyarakat pun melakukan berbagai upaya penanganan gangguan gajah liar.
Membangun PLG dan pagar listrik bertenaga surya merupakan contoh upaya yang dilakukan pemerintah.Untuk menyamakan pemahaman dalam model dan konsep penanganan konflik manusia dengan gajah liar, Pemerintah Kabupaten Lampung Timur telah membentuk Tim Kerja Terpadu Penanggulangan Konflik Gajah Manusia, melalui SK Bupati Nomor 522/341/B/2008 tanggal 06 Maret 2008.
Pemerintah kabupaten juga menyalurkan bantuan ekonomi bagi masyarakat, serta membangun infrastruktur berupa kanal di batas kawasan. Unit pelaksana teknis di tingkat balai taman nasional melaksanakan pengelolaan habitat serta upaya deteksi dan mitigasi konflik.
Sedangkan di tingkat desa, masyarakat siap-siaga menjaga tanaman sejak dini guna mengurangi risiko kerugian harta benda, bahkan jiwa. Secara swadaya, masyarakat membangun menara atau gubuk-gubuk penjagaan, tempat mereka berkumpul melakukan ronda malam.
Masyarakat menjaga lahan pertanian mereka pada malam hari selepas berkegiatan di ladang, sawah, dan kebun. Selama musim tanam berlangsung, hanya sedikit waktu tersisa untuk dapat berkumpul bersama keluarga.
Secara mandiri pula, masyarakat membangun parit kanal untuk menghalangi laju pergerakan gajah liar yang akan memasuki lahan garapan masyarakat. Masyarakat bahkan membangun organisasi swadaya untuk menghadapi gangguan gajah liar di desa-desa di kawasan penyangga TNWK.
Mereka memasukkan kegiatan penanganan konflik manusia dengan gajah di RPJMDes, melalui skema APBDes. Mereka juga menyusun rencana penanganan konflik gajah melalui tim kerja terpadu kabupaten.
Melalui Forum Rembuk Desa Penyangga (FRDP), berbagai pertemuan, mediasi, diskusi, hingga seminar diadakan.
Mereka mengajak pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan pihak-pihak lainnya, agar peduli dan membantu menyelesaikan persoalan konflik satwa liar dihadapi masyarakat.
Berbagi ruang, merawat kehidupan
Seringkali persoalan konflik manusia dengan gajah di tingkat lapangan menimbulkan perselisihan antara masyarakat dengan pihak pengelola kawasan taman nasional dan pemerintah kabupaten. Diperlukan komunikasi yang lebih efektif, serta menjamin partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan taman nasional.
Masyarakat di sekitar hutan memiliki kepentingan dan berhubungan erat dengan keberadaan hutan. Dukungan para pihak, upaya kolaborasi, serta komunikasi yang baik dan terbuka, diharapkan dapat membangun kerja sama yang lebih efektif.
Para pihak juga perlu merevitalisasi fungsi ekologis hutan dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
Revitalisasi ini akan memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat di masa mendatang. Kerelaan untuk berbagi ruang dengan yang lain menjadi penting, bukan saja dalam sikap saling menghargai, tetapi juga saling melindungi. .
Kesediaan berbagi ruang membutuhkan sikap saling mengakui keberadaan sesama makhluk, cinta kasih dan keinginan berbagi kepada semua ciptaan Tuhan yang hadir dalam kehidupan kita. Semangat berbagi ruang untuk merawat kehidupan harus didasari pada pemahaman, bahwa tidak ada satu pun makhluk hidup di muka bumi ini yang dapat bertahan hidup tanpa makhluk lain.
*) Penulis adalah seorang penggiat konservasi, bekerja di NGO konservasi kehidupan liar di Way Kambas.
Tulisan ini adalah ekspresi pribadi penulis. Pandangan yang disampaikan dalam tulisan ini tidak selalu mewakili pandangan lembaga tempat penulis bekerja.
Post a Comment