Mempetisi ‘Ustadzah’ Oki
Di sinilah budaya yang dihadirkan dari media massa, terutama televisi, amat berbeda dengan logika keilmuan dan adab dalam tradisi Islam.
PETISI untuk mencabut ‘gelar’ ustadzahnya sempat mencuat. Sebuah petisi yang aneh sebab panggilan ustadzah itu informal. Bukan sebuah gelar akademis yang dihasilkan oleh sebuah lembaga. Kalaupun iya dicabut, tentu tidak setiap orang berkenan. Sebab menyapa orang lain yang dianggap memberikan inspirasi bisa saja dengan beragam gelar.
Memang, harus diakui, penyematan sapaan ustadz atau ustadzah oleh masyarakat kadang salah tempat. Kalaupun dipadankan dengan panggilan guru, juga kasusnya serupa. Ada makna, kandungan, dan syarat untuk pantas secara adab menyandang sebutan tadi. Yang kemudian terjadi, kemampuan masih baru sebatas belajar, seseorang mudah disapa ustad atau ustadzah. Di lain pihak, orang yang disapa juga senyam-senyum saja. Malah ada yang seperti bangga, terutama bila dikaitkan dengan intensitas tampilnya di layar kaca. Bagi yang memahami ilmu agama, sebutan semacam itu sudah begitu berat. Apatah lagi khalayak menganggapnya seolah ulama.
Di sinilah budaya yang dihadirkan dari media massa, terutama televisi, amat berbeda dengan logika keilmuan dan adab dalam tradisi Islam. Seorang berilmu saja tidak selalu memadai untuk dikatakan ulama. Bahkan mereka yang sudah hafal luar kepala banyak khazanah, tidak serta-merta pantas disebut bagian pewaris para nabi: ulama. Lain halnya dengan produk besutan televisi, seseorang dengan muda digelari dengan apik. Dengan kemampuan rupa yang tidak boleh diabaikan, sedikit ilmu dianggap cukup. Syukur kalau sosok yang dipoles ini sadar untuk terus berbenah diri lantaran beratnya amanah disapa ustadz atau ustadzah.
Mengukur seseorang pantas atau patut disebut ustadz atau ustadzah sebetulnya simpel. Kembalikan saya pada adab ilmu dalam agama kita. Jangan serahkan pada produser apalagi pemilik televisi. Bisa semua kacau balau. Yang haq malah disengiti karena ucapannya menyerang kebatilan. Yang langgengkan kebatilan malah dipelihara karena dianggap untungkan rating tayangan.
Publik tinggal menyerap kebiasaan sehari-hari para ustadz atau utsadzah produk media tadi. Bagaimana akhlak mereka sehari-hari saat bersua kita di satu tempat tanpa sengaja. Atau ketika mereka diundang dalam acara pengajian di kampung kita. Apakah ada seleksi bayaran? Adakah kepantasan yang di luar kemestian?
Soal tarif mahal, ada baiknya ditanya dengan tulus. Kalau ia meminta sekian puluh juta karena memang akan dialokasikan buat penghuni pondok yatim yang dikelolanya, maka terimalah alasannya. Kalau ia pasang tarif mahal lantaran demi kenyamanan anggota keluarganya, silakan diskusikan. Mungkin kita tak perlu undang pembicara keislaman yang harus keluarkan anggaran mahal bagi jamaah kalau ternyata membengkakkan kas masjid tercinta kita. Padahal, anggaran itu sekadar untuk menghadirkan anggota keluarga sang pembicara.
Ada baiknya kita, selaku mustami’ para ulama, mulailah waras. Seleksilah pembicara keilmuan karena memang beliau-beliau pantas diundang. Bukan karena kebesaran nama di media. Bukan karena popularitas. Kita perlu melihat segi tawadhu sang pembicara. Seturut masih ditemuinya para pembicara pengajian yang mematok tarif aduhai, masih banyak para alim yang enggan diberikan amplop. Mereka lebih suka berbagi, dan jamaah pun suka dengan akhlak sehari-harinya. Entah kenapa, tiba-tiba kita “iseng” menghadirkan pembicara beken yang tengah digandrungi kalau kemudian hanyutkan infak jamaah dengan sekejap. Ada alokasi lain yang lebih memadai, semisal para ustad atau ustadz yang rutin mengisi tapi luput diperhatikan ekonomi keluarganya. []
Foto Header: Hanya Ilustrasi
Post a Comment