Pluralisme Agama Adalah Ideologi Tanpa Definisi
Sekolah Pemikiran Islam (SPI) Moh. Natsir, Bandung, mengadakan kembali kuliah pekanan pada Kamis malam (03/03). Bertempat di Ruang Seminar Besar Pusat Dakwah Islam (Pusdai) Jawa Barat, Akmal Sjafril tampil memberikan ceramah kepada puluhan peserta yang hadir. “Pluralisme Agama” adalah tema yang diusung kali ini, sebagai rangkaian dari dua materi sebelumnya, yaitu Sekularisme dan Nativisasi.
Pluralisme agama lahir sebagai konsekuensi logis dari sekularisme, dikenal secara umum sebagai pemahaman bahwa ‘Semua agama (adalah) sama’. Namun demikian, menurut Akmal, permasalahan mendasar dari pluralisme agama itu adalah terkait definisinya sendiri. Sebagai ideologi, paham ini tidak kokoh berdiri di atas batasan yang tegas. “Banyak aktivis berpaham sepilis di Indonesia mencoba mendefinisikan pluralisme agama, mengembangkan teori pluralisme dengan teknik ‘tambal sulam’, lewat berbagai karya tulis dari artikel sampai disertasi doktoral, namun hampir tak ada yang memberikan definisi yang jelas. Hal itu dikarenakan para pengusung paham ini tidak banyak yang membangun pemikirannya sendiri,” paparnya seraya menambah kutipan pernyataan Anis Malik Thoha dalam bukunya, Tren Pluralisme Agama, bahwa “tidak banyak, bahkan langka yang mencoba mendefinisikan pluralisme agama”.
Istilah ‘pluralisme agama’ sendiri berasal dari bahasa Inggris, yaitu “religious pluralism”, yang mengesankan pengakuan suatu sistem terhadap koeksistensi keragaman kelompok dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok. “…Pada praktiknya, justru kekuatan sekuler berlindung di balik tameng ‘pluralisme’ untuk menekan agama-agama itu,” tegas pemilik akun twitter @malakmalakmal ini. Ditambahkannya pula, bahwa dalam wacana pemikiran Barat, agama memiliki makna yang luas dan memang sengaja diperluas definisinya, hingga mencakup semua jenis keyakinan dan ideologi, baik yang berketuhanan maupun yang tak berketuhanan, termasuk filsafat dan paham sekularisme serta variannya.
Karena banyaknya macam definisi pluralisme di dunia, maka ideologi ini dipahami melalui sejumlah tren. Penulis buku Islam Liberal 101ini juga menjelaskan, “Perbedaan definisi senantiasa memperberat kompleksitas masalah dalam kajian-kajian seputar pluralisme. Pluralisme adalah paham yang menganggap semua agama sama, meski tidak identik, menurut konsep dasar dari masing-masing tren pluralisme yang dianut.” Akmal menyebutkan lima tren pluralisme yang terkemuka, yaitu Humanisme Sekuler, Teori Global, Sinkretisme, Hikmah Abadi dan Teosofi-Freemasonry.
Untuk mengatasi kerancuan dan kebingungan umat Islam tentang definisi yang dimaksud, maka Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memberikan solusi dan mengharamkan pluralisme agama dalam Fatwa No. 7/MUNAS VII/MUI/11/2005. Dalam fatwa tersebut, pluralisme agama didefinisikan sebagai: “..suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.”
Menjelang akhir perkuliahan, penulis aktif dan peneliti di Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) ini memaparkan penjelasan tentang efek pluralisme sebagai sebuah keyakinan terhadap umat manusia. Pertama, adanya terminasi agama, dimana agama tidak dianggap lagi sebagai sesuatu yang berpengaruh pada umat manusia, sehingga akan menyebabkan sekularisme (pemisahan masyarakat dengan agama) dan skeptisisme masyarakat terhadap agama. Kedua, adanya pluralisme formalistik berupa penyeragaman seluruh agama menjadi satu atau formal, sehingga memunculkan agama-agama baru. Ketiga, adanya pluralisme ini menyebabkan umat beragama tidak dihormati perbedaan agamanya sehingga rentan terjadi perpecahan serta ancaman pelanggaran hak azasi manusia (HAM) terhadap setiap umat beragama.
Harashta, salah seorang peserta, menyampaikan komentarnya, “Pembahasan kuliah kali ini menarik dan dijelaskan secara runut, mulai dari pendefinisian hingga tren-tren pluralisme yang berkembang di masyarakat. Hal ini memberikan gambaran kepada saya tentang cara berpikir para pluralis dan letak-letak kesalahannya.”
Mutia K. Widjaja
Post a Comment