Nelson Mandela, Palestina dan Islam
Oleh: Mabni Darsi
Nelson Rolihlahla Mandela bukan seorang muslim, sampai akhir hayatnya dia beragama kristen. Ketika saya membaca kisah hidupnya, terus terang karakter yang dimilikinya begitu sulit ditemukan dalam diri penguasa negara-negara muslim yang muncul pasca penjajahan. Itulah mungkin sebabnya beberapa da'i berusaha mendakwahinya.
Dalam lawatan dakwahya ke Afsel pada 12 April 2010, Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi menyempatkan diri untuk berjumpa dengan Mandela. Dalam pertemun tersebut, beliau menghadiahi Mandela beberapa karya beliau. Al-Qaradhawi menyebut Mandela sebagai "Pahlawan Afrika."
Syeikh 'Aid Al-Qarni juga pernah mengirim surat langsung kepada Mandela mengajak beliau untuk memeluk Islam. Dalam surat tersebut Al-Qarni mengatakan:
“Saya salah satu dari jutaan orang di dunia ini yang telah membaca otobiografi Anda, menyadari perjuangan Anda, mengagumi keberanian Anda dan bertanya-tanya tentang pengorbanan dan pengabdian yang menjadi prinsip-prinsip Anda, kebebasan Anda dan kebebasan orang-orang Anda,”
Disamping itu Al-Qarni juga menghadiahkan karya monumental beliau, "Lâ tahzan."
Lebih 27 tahun lamanya Mandela mendekam dibalik jeruji. "HARAPAN", mungkin adalah satu-satunya sahabat yang menemaninya dalam hari-hari yang membosankan itu. Dan kekuatan itu pula yang memberinya keyakinan bahwa di ujung terowongan pasti ada secercah sinar. Selama dalam penjara, ujarnya "aku tak pernah kehilangan harapan bahwa suatu hari nanti aku akan menghirup udara bebas dan melanjutkan perjuangan yang pernah ku perjuangkan."
Pulau Robben (Robben Island) adalah penjara yang dikenal paling kejam di Afrika Selatan dan dengan penjagaan ekstra ketat. Saat berada disana Mandela mengungkapkan begitu kuatnya "HARAPAN" yang bersemayam dalam dirinya: "...tidak ada dinding penjara, anjing penjaga, atau bahkan lautan dingin yang seperti parit mematikan yang mengelilingi penjara Pulau Robben, yang mampu menggagalkan keinginan seluruh umat manusia... "
Melawan apartheid (sistem politik yang membedakan warna kulit) dan diskriminasi ras di Afrika Selatan, adalah perjuangan yang membuat seluruh masa mudanya dirampas oleh kejamnya tirani, hingga ia harus menghabiskannya dari penjara ke penjara.
Pada tahun 1990 Mandela menghirup udara bebas. Mimpi indah yang tak pernah sirna dalam benaknya itu benar-benar menjadi kenyataan. Namun mimpi besar Mandela bukan sekedar bebas dari penjara, tetapi bagaimana rakyat Afsel hidup tanpa diskriminasi.
Empat tahun setelah bebas dari penjara, pada tahun 1994 ia terpilih menjadi orang kulit hitam pertama yang berhasil menjadi orang nomer satu di Afrika Selatan (1994-1999). Namun ia menyatakan bahwa perjuangan yang ia lakukan belum selesai. Dalam pidato pertamanya setelah selesai dilantik menjadi presiden Afsel, ia mengatakan: "Ketika kita berhasil menaklukkan sebuah gunung, maka bersiaplah untuk menaklukkan gunung yang lain yang ada di depan kita."
Bisa jadi gunung yang ia maksud adalah tantangan-tantangan besar yang akan ia hadapi dalam memimpin Afsel. Namun penaklukan yang paling spektakuler adalah saat Mandela berhasil menaklukan dirinya sendiri. Menaklukkan perasaan dendam yang mungkin bisa muncul dalam jiwanya terhadap lawan-lawan politiknya.
Inilah momentum yang menentukan dalam hidup peraih nobel perdamaian ini: Apakah ia akan menyambut momentum sejarah yang membuat namanya masuk dalam daftar pemimpin besar yang pernah lahir, atau ia akan menggunakan kekuasaannya sebagai ajang balas dendam terhadap mereka-mereka yang pernah menghalangi langkahnya melawan sistem politik apartheis yang telah mencabik-cabik rakyat Afrika Selatan. Ternyata ia memilih pilihan pertama. Orang-orang berani, katanya, "tak takut memberi maaf demi perdamaian."
Naiknya Mandela menandai berak hirnya hari-hari buruk sistem apartheid. Namun perlawanannya terhadap sistem apartheid dan global injustice terus ia suarakan dengan lantang kepada seluruh masyarakat dunia. Bahkan ia merasa bahwa kebebasan yang telah mereka rasakan belum sempurna jika masih ada sepetak tanah dimuka bumi ini hidup dibawah penjajahan.
Sistem apartheid penjajah zionis Israel terhadap rakyat Palestina menjadi kegelisahannya. Saat menjadi tuan rumah Hari Internasional Solidaritas Bangsa Palestina pada 4 desember 1997 yang diadakan di Pretoria, Afrika Selatan, dengan tegas ia mengatakan: "Kita sangat menyadari bahwa kebebasan yang kita rasakan belum lengkap tanpa kebebasan rakyat Palestina."
Sikap dukungannya terhadap perjuangan rakyat Palestina tak pernah berubah dan tak pernah ia tarik hingga akhir hayatnya, meski ia harus dibenci oleh Amerika dan negara zionis Israel.
Pada tahun 2013 ia pergi untuk selama-lamanya. 'Long Walk to Freedom' (Jalan Panjang Menuju Kebebasan) adalah warisan berharga Mandela yang penuh inspiratif. Ia pergi saat jalan panjang yang ia tapaki memang belum sampai di garis akhir. Sebab, sebagaimana ia katakan bahwa kebebasan itu belum sempurna sebelum rakyat Palestina merasakan kemerdekaan.[]
Post a Comment