MEA dan Imbasnya pada Dunia Pendidikan
Oleh: Mita Yuniati, S.Pd,
MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) kian marak dibincangkan akhir-akhir ini seiring dengan berbagai persiapan yang dilakukan pemerintah untuk menyongsong pelaksanaannya 2015 mendatang.
MEA adalah salah satu keputusan dalam Declaration of ASEAN Concord II yang diselenggarakan di Bali pada 7 Oktober 2003. Sebagai pasar tunggal yang berbasis produksi nantinya ASEAN harus memiliki lima elemen utama yaitu (i) Aliran bebas barang, (ii) Aliran bebas jasa, (iii) Aliran bebas investasi, (iv) Aliran modal yang lebih bebas, serta (v) Aliran bebas tenaga kerja terampil.
Salah satu komponen penting dan paling berbahaya dalam AEC adalah ASEAN Framework Agreement on Trade in Services(AFAS), kesepakatan ini pada akhirnya mengarah pada perluasan secara terus menerus komitmen jasa-jasa ke arah arus bebas tahun 2015 dengan fleksibel, mencakup liberalisasi jasa bisnis; jasa profesional; konstruksi; distribusi; pendidikan; jasa lingkungan; pelayanan kesehatan; transportasi maritim; telekomunikasi; dan turisme. Salah satu target AFAS adalah menyediakan pengakuan akan pendidikan atau pengalaman, persyaratan, lisensi atau sertifikat yang yang disebut Mutual Recognition Arrangement(MRA). Dengan demikian Indonesia dihadapkan pada persaingan terbuka dalam hal kompetensi. Lalu bagaimanakah posisi Indonesia dihadapan Negara-negara ASEAN lainnya? Mampukah Indonesia bersaing?
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2013 menyebutkan bahwa postur tenaga kerja Indonesia adalah pekerja lulusan Sekolah Dasar (SD) ke bawah berjumlah sebesar 52 juta orang (46,93%) atau hampir setengah dari total pekerja sebesar 110,8 juta orang.
Kemudian pekerja lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 20,5 juta orang (18,5%), pekerja lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 17,84 juta orang (16,1%). Jumlah paling rendah ditemui pada pekerja lulusan universitas dengan jumlah 7,57 juta orang (6,83%) dan lulusan diploma sejumlah 2,92 juta orang (2,63%). Sebagai perbandingan, menurut data Department of Statistics Malaysia (DOSM) pada tahun 2012, jumlah tenaga kerja Malaysia adalah 13,12 juta orang dengan postur sebesar 7,32 juta orang (55,79%) adalah lulusan sekolah menengah dan sejumlah 3,19 juta orang (24,37%) adalah lulusan universitas dan diploma. Negara ASEAN lainnya seperti Singapura, menurut data World Bank pada tahun 2012 memiliki jumlah tenaga kerja sebesar 3,22 juta orang dengan pekerja lulusan sekolah menengah sebesar 49,9% dan lulusan universitas dan diploma sebesar 29,4%.
Dari data tersebut kita dapat melihat bahwa hampir dari separuh tenaga kerja Indonesia (46,93%) adalah low skilled labour lulusan SD yang secara kontras dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia yang sekitar 80% tenaga kerjanya adalah lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi. Hal ini menyiratkan ketidaksiapan Indonesia dalam pasar bebas tenaga kerja di ASEAN jika MEA diberlakukan per 31 Desember 2015 nanti.
Melihat fakta di atas, harusnya Indonesia sadar diri untuk tidak menjerumuskan diri pada perdagangan bebas apapun bentuknya termasuk MEA. Namun Indonesia siap tidak siap tetap bersikukuh untuk mengambil bagian dalam arus kapitalisasi global dalam wadah MEA. Dalam penerapannya diambillah beberapa kebijakan yang sedikit banyak terkait dengan dunia pendidikan, karena diasumsikan melalui pendidikanlah dicetak tenaga-tenaga kerja dengan kompetensi yang diharapkan dapat bersaing secara global.
Terkait MEA ada 4 hal utama yang harus dihadapi dalam penyelenggaraan PT yaitu terkait: 1) peningkatan aksesibilitas, 2)Kurikulum, 3) Sistem Penjaminan Mutu dan 4) Akreditasi. Yang justru dengan beban yang sedemikian rupa PT yang semestinya melakukan pencerdasan kepada generasi justru disibukkan dengan urusan-urusan administrative. Hal ini sejalan pada akhirnya dengan output pendidikan tinggi yang hanya menghasilkan para pekerja untuk memenuhi tuntutan pasar kerja.
Berbeda halnya dengan islam, Tujuan Umum Pendidikan islam yaitu ; 1.Membangun kepribadian Islam pada generasi muslim, dengan cara membangun pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah)nya.Sehingga senantiasa berperilaku Islam, 2.Mempersiapkan generasi muslim agar di antara mereka menjadi ulama-ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan, baik ilmu-ilmu keislaman (ijtihad, fiqih, peradilan, dan lain-lain) maupun ilmu-ilmu terapan (teknik, kimia, fisika, kedokteran, dan lain-lain).
Adapun tujuan pendidikan tinggi adalah untuk: (1) Memperdalam dan mengkristalkan kepribadian islami pada mahasiswa pendidikan tinggi. 2) Melahirkan para ahli dan spesialis di semua bidang kehidupan untukmewujudkan kemashlahatan rakyat. (3) Mempersiapkan tenaga ahli yang diperlukan untuk mengat urusan masyarakat, misalnya qâdhi, ahli fikih, saintis, insinyur, dan lain sebagainya. Sejarah Islampun telah mencatat kebijakan para khalifah yang menyediakan pendidikan gratis bagi rakyatnya. Sejak abad IV H para khalifah membangun berbagai perguruan tinggi dan berusaha melengkapinya dengan berbagai sarana dan prasarananya seperti perpustakaan. Setiap perguruan tinggi itu dilengkapi dengan auditorium, asrama mahasiswa, juga perumahan dosen dan ulama. Selain itu, perguruan tinggi tersebut juga dilengkapi taman rekreasi, kamar mandi, dapur, dan ruang makan (Khalid, 1994).Khilafah mengoptimalkan idealisme pendidikan tinggi dengan menjamin pendanaan, fasilitas dan pengembangan riset untuk peradaban Bangsa.
Robert Briffault dalam buku “Making of Humanity; Ilmu pengetahuan adalah kontribusi paling berharga dari peradaban Arab-kekhilafahan kepada dunia modern; Hutang budi kita kepada ilmu pengetahuan orang – orang Arab bukan hanya karena berbagai penemuan dan teori revolusioner yang mencengangkan. Ilmu pengetahuan-lah yang berhutang budi kepada peradaban Arab (kekhilafahan). []
Post a Comment