Mahasiswa Indonesia dan Patani Serukan Pemerintah Thailand Stop Diskriminasi

BELUM lama ini Gerakan Mahasiswa Indonesia Peduli Patani (Gempita) menggelar aksi damai “Selamatkan Muslim Patani” di Bunderan HI, Ahad (20/3/2016) lalu. Aksi yang juga diikuti mahasiswa asal Patani itu menuntut pemerintah Thailand agar menghentikan diskriminasi terhadap masyarakat muslim Patani.

Koordinator Gempita Rahmat Kholis saat ditemui Islampos mengatakan, selama ini isu Patani di Thailand Selatan tenggelam, tak terbuka di ruang publik. Tidak seperti isu kemanusiaan Rohingya dan Palestina. Padahal, dari dulu hingga sekarang, Thailand Selatan terus didiskriminasi oleh pemerintahan Thailand.

“Masyarakat Melayu Muslim Patani, jelas mendapat perlakuan diskriminasi oleh pemerintah Thailand dalam berbagai aspek, baik dari aspek pendidikan, sosial dan keagamaan. Kami mahasiswa Indonesia dan Patani menggalang solidaritas dan dukungan terhadap perjuangan Muslim Patani untuk mendapatkan keadilan dan porsi yang tepat ,” kata Rahmat.

Gempita menuntut Pemerintah Thailand untuk menghentikan segala bentuk tindakan diskriminasi yang mengatasnamakan stabilitas negara. Hingga saat ini masyarakat Muslim Patani masih ditindas, pembunuhan terus terjadi, rumah ibadah dan sarana pendidikan diberangus.

Aksi ini merupakan bentuk kepedulian dan peringatas atas diberangusnya Pondok Jihad di Patani oleh Pemerintah Thailand. Sebelumnya, aksi mahasiswa digelar di Patani, dan mendapat reaksi dari aparat setempat. Aksi mahasiswa diblokade dan disabotase, sehingga masyarakat tidak ikut terlibat.

Ketika ditanya, apa yang menyebabkan isu Thailand Selatan tak se-terbuka kasus Rohingya dan Palestina? “Itu karena otoritas Pemerintah Thailand yang otoriter, dimana media massa dan sosial media dikendalikan. Sehingga untuk mendapatkan refererensi kabar terkini Patani sulit diakses. Bandingkan dengan Myanmar yang melakukan diskriminasi kepada muslim Rohingya, namun media massa tetap bisa meng upade berita terkini.

“Jika saya rincikan, telah terjadi pembantaian muslim yang sedang ibadah di Pondok Jihad. Status pondok itu dicabut. Hingga saat ini terus terjadi  diskriminasi dari aspek pendidikan, sosial, dan keagamaan. Simbol-simbol Islam seperti cara berpakaian dicurigai sebagai teroris. Provinsi Patani, Naratiwat dan Yala saat ini masih menjadi zona merah, dimana wisatawan asing dilarang masuk Patani dan sekitarnya,” kata Rahmat, mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Ciputat.

Sekilas Pondok Jihad

Perlu diketahui,  Pondok Jihad adalah sebuah pesantren yang didirikan pada tahun 1968 oleh Tuan Guru Haji Ibrahim (Babo Heng) atas dasar permintaan masyarakat setempat. Pondok Jihad dibangun secara gotong royong. Dananya dihimpun dari masyarakat.

Sebutan Pondok Jihad tidak ada kaitannya dengan perlawanan, tapi dalam rangka memberikan pendidikan kepada masyarakat Muslim Patani. Tapi, yang terjadi pesantren ini dicurigai dan pimpinan pondok Jihad justru ditembak mati oleh tentara Thai, tepatnya tahun 1979.

Tahun 2004m tentara Thailand memblokade dan menggeledah pondok tersebut, namun muslim Patani tidak mengajukan tuntutan apapun. Tahun 2012, Pengadilan Patani menetapkan Kepala Sekolah Abdullah Waemano sebagai orang yang dicari (hilang). Pada November 2012, perintah penyitaan sementara terhadap asset-aset sekolah ditetapkan berdasarkan perintah Komite Transaksi Anti Pencurian Uang Pasal 2542.

Selanjutnya di pertengan bulan Maret 2005, tentara Thailand kembali memblokade pondok dan tidak menemukan  apapun yang dinyatakan terlarang. Namun kedatangan aparat kali ini dilengkapi dengan surat perintah penangkapan atas Kepala Sekolah Abdullah Waemano.

Penggeledahan dilakukan selama empat hari tanpa bukti, namun kepada media diberitakan, aparat menemukan buku teks “7 Langkah dan DVD tentang pelatihan senjata Osama bin Ladin. Puncaknya, 20 Juni  2005, atas perintah Gubernur Provinsi Patani, Pondok Jihad dituduh menciptakan situasi kekerasan, dan berujung pada penutupan.

Pada 25 Agustus 2015, dalam persidangan yang digelar di Bangkok, keluarga Abdullah Waemano menjadi saksi. Pada 15 Desember 2015, hakim pengadilan memutuskan merampas tanah wakaf seluas 14 hektar senilai 591 bath yang kemudian dinyatakan sebagai tanah negara sesuai dengan UU Pertahanan dan Anti Pencucian Uang tahun 1999.

Begitulah, perlakuan diskriminasi dari aspek hukum dan pendidikan. Saat ini ada  4000 mahasiswa asal Patani yang belajar di Indonesia. Gempita berharap, pemerintah Indonesia melalui jalur diplomatik dapat melakukan mediasi kepada pemerintah Thailand untuk menghentikan segala bentuk diskriminasi. (Dt)

No comments

Powered by Blogger.