Al-Qur’an; Kitab Paling Ilmiah Sepanjang Zaman
Jabung-online.com - Kaum muslimin boleh merasa bangga di tengah dahsyatnya berbagai krisis persoalan yang melanda ummat. Mulai dari krisis ekonomi hingga krisis moral yang saat ini banyak mendapat perhatian dari para intelektual pendidikan. Pasalnya, kini telah diakui bukti-bukti ke-ilmiah-an Islam yang tercantum dalam nash-nash Al-Quran maupun Al-Hadits.
Al-Quran dan Al-Hadits yang menjadi sumber rujukan hukum dan pedoman hidup tak hanya untuk kaum muslimin saja. Namun lebih dari itu, keduanya (Al-Quran dan Al-Hadits) telah berbicara mengenai fakta-fakta ilmiah yang baru dapat dibuktikan belakangan ini setelah manusia berada pada zaman teknologi modern.
Fakta-fakta tentang ilmu falaq (astronomi), kedokteran, dan matematika yang terkandung dalam Al-Quran misalnya. Semakin memperkuat keyakinan bagi kita bahwa agama Islam ini bukanlah hasil cipta karya manusia melalui proses panjang sejarah yang saat ini banyak digembor-gemborkan oleh kaum liberal.
Mari kita lihat salah satu fakta penciptaan alam semesta. Pada abad ke-19 munculah pemahaman kaum materialis barat yang menganggap bahwa alam semesta ini merupakan kumpulan materi yang tak hingga, tak berawal dan tak berakhir. Mereka menolak proses penciptaan alam semesta yang di jelaskan dalam Al-Quran bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Allah karena tidak bisa dibuktikan dengan akal dan ilmu pengetahuan. Sayangnya, justru bukan Al-Quran tidak dapat membuktikan secara ilmiah tetapi keterbatasan akal dan teknologi lah yang membuat manusia itu semakin jauh dari kebenaran wahyu. Pada tahun 1922, seorang ahli fisika berkebangsaan Rusia bernama Alexandra Friedman mengemukakan teori pengembangan alam semesta. Teori ini terus diteliti dan dikaji oleh para ahli secara mendalam hingga akhirnya muncul teori dentuman besar (big bang) yang banyak mendapat pengakuan dari para ilmuwan modern. Menurut teori big bang, alam semesta pada mulanya merupakan kumpulan asap dan debu yang menjadi satu kemudian memanas pada suatu titik dan akhirnya mengakibatkan sebuah ledakan maha dahysat. Dari ledakan itu kemudian terciptalah matahari-matahari dan juga planet-planet di sekelilingnya yang saat ini kita kenal dengan tata surya.
Sebenarnya, Allah telah menjelaskan hal ini 1400 tahun yang lalu melalui risalah yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berupa Al-Quran yang tercantum dalam surat Al-Anbiya ayat 30 :
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِيْنَ كَفَرُواْ أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنٰهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلاَ يُؤْمِنُوْنَ
Artinya : “Dan, apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan, dari ari Kami ciptakan segala sesuatu yang hidup. Maka, mengapakah mereka tiada juga beriman.”
Banyak contoh-contoh lain tentang fakta ilmu pengetahuna dalam Al-Quran yang telah diungkapkan oleh ilmu pengetahuan modern. Maka, anggapan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang dikenal sebagai seorang yang tak memiliki kemampuan membaca dan menulis telah mengarang Al-Quran dengan tangannya sendiri adalah sebuah anggapan yang sangat tidak masuk akal. Pernyataan ini sangat tidak mendasar mengingat isi yang terkandung dalam Al-Quran baik secara tekstual maupun kontekstual tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia pada saat itu.
Berbagai argumen dan statement palsu dibuat oleh musuh-musuh Islam agar kaum Muslimin terjebak dalam kegelapan ilmu pengetahuan. Sebutlah Nasr Hamid Abu Zayd dari Mesir yang mengatakan bahwa Al-Quran hanyalah muntaj tsaqofi (produk budaya) yang dilahirkan pada zaman Nabi Muhammad dan para sahabatnya ketika masih hidup. Pendapat ini menuai pertentangan dari kaum muslimin khususnya para ulama kontemporer pada waktu itu. Nasr Hamid Abu Zayd akhirnya divonis kafir oleh mufti (hakim) Mesir dan dijatuhi hukuman mati, tetapi tidak sampat dieksekusi karena dia kabur ke Belanda meminta perlindungan di negara kincir angin tersebut.
Betapa bahaya apabila Al-Quran dikatakan sebagai produk budaya. Hal ini akan berimbas pada kebenaran Al-Quran secara mutlak. Al-Quran dianggap sebagai produk budaya berarti secara tidak langsung meyakini bahwa Al-Quran itu hanya buatan manusia dan tidak diturunkan oleh Allah, siapa yang beranggapan demikian maka sesungguhnya dia telah ragu, siapa yang ragu akan kebenaran Al-Quran berati dia telah ragu tentang kemuliaan dan kekuasaan Allah, dan siapa yang ragu tentang dzat Allah maka sungguh ia telah keluar dari Islam (kafir). Padahal Allah telah memperingatkan kebenaran ini sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya dalam surat Al-Baqoroh ayat 147 :
الْحَقُّ مِنْ رَّبِّكَ فَلاَ تَكُوْنَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِيْنَ
Artinya : “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali kamu termasuk orang yang ragu.”
Telah banyak bukti baik dari segi ilmiah, budaya, maupun filosofis tentang kebenaran Al-Quran jika kita mau mengkajinya lebih jauh. Cukuplah Allah menjadi saksi atas itu semua. Sebuah konsekuensi logis dari seseorang yang mengaku beriman adalah meyakini seyakin-yakinnya kebenaran yang datang itu dengan keimanan dalam hati, lisan, dan juga perbuatan. Bukan justru membuat pertentangan antara ilmu alam dengan nash Al-Quran, apalagi malah menyesatkan ummat dengan propaganda palsu seperti yang dilakukan Nasr Hamid Abu Zayd.
سَنُرِيْهِمْ ءَايٰتِنَا فِى الْأَفَاقِ وَفِى أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ
Artinya : “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tidakkah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”
Maha Suci Allah dengan firman-Nya yang agung.
Post a Comment