Psikolog Forensik: Penanganan Polisi dalam Kasus SJ Sudah Tepat
PENANGANAN polisi terhadap kasus yang menjerat SJ dinilai sudah tepat. Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel tidak melihat adanya kriminalisasi terhadap SJ oleh DS sebagai bentuk pemerasan.
“Mungkin saja, orang yang tidak bersalah dicari-cari kesalahannya, tapi biarkan saja proses hukum berjalan,” ujarnya kepadaIslampos usai jumpa pers Badan Mal Hidayatullah di Warung Daun, Jakarta, belum lama ini.
Reza menilai polisi bekerja tidak lewat opini, sinyalemen, ataupun propaganda, tapi melalui pembuktian. “Saya kira penanganan polisi terhadap kasus SJ sudah tepat,” ujarnya.
Ia juga memberi apresiasi yang luar biasa kepada DS. Ia tidak menyebut DS sebagai korban, tapi sebagai penyintas atau survivor. Betapa beraninya DS untuk melawan aib. DS diapresiasi karena tidak takut dengan sorotan publik dan tidak takut melalui proses hukum yang panjang dan meletihkan.
“Saat dilecehkan SJ, ia langsung melaporkannya ke polisi. Kita butuh DS-DS sebagai penyintas untuk menunjukan kepada dunia, khususnya kepada para pemangsa alias predator, bahwa dirinya tidak kalah,” ungkap Reza.
Lebih jauh Reza mengatakan, hak SJ untuk mencabut, membantah, menambah, dan mengurangi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dalam kasus dugaan pelecehan seksual SJ dinilai sah.
“Itu sah-sah saja. Tapi sebetulnya, tidak ada istilah pencabutan berita acara pemeriksaan. Sebab, nanti akan ada pemeriksaan berita acara satu, dua dan seterusnya,” paparnya.
Seperti diberitakan media massa, berita acara pemeriksaan (BAP) yang sudah ditandatangani SJ telah dicabut. SJ menolak penetapan tersangka karena menganggap dirinya sebagai korban. Menurut kuasa hukumnya, BAP yang telah dibuat oleh penyidik dinilai cacat hukum.
Dikatakan Reza, seluruh berita acara pemeriksaan akan dibawa ke pengadilan. Saat di Pengadilan, hakim akan bertanya pada terdakwa, mengapa ada perubahan, pergantian, dan penambahan BAP? Apakah perubahan BAP tu mengada-ada atau tidak, masuk akal atau tidak, asli atau palsu dan sebagainya.
“Tersangka punya hak ingkar untuk mengatakan apapun. SJ hari ini ngomong tempe, besok kedelai. Hari ini bilang melakukan, besok katakan tidak melakukan. Itu sah-sah saja. Yang jelas, seluruh informasi akan dibawa ke pengadilan, dan hakim yang akan menakarnya.”
Lalu bagaimana dengan pengakuan SJ sebelumnya? Menurut Reza, dari sekian alat bukti, pengakuan adalah alat bukti yang paling bawah, karena proses pemeriksaan di kepolisian sesungguhnya tidak mencari pengakuan, tapi bekerja berdasarkan pembuktian. Dan pembuktian itu mengandalkan alat bukti.
Ketika ditanya, dicabutnya pengakuan SJ dalam BAP nya, apakah ada indikasi dipengaruhi kuasa hukumnya atau memang SJ tidak jujur?
“Secara alamiah, mana ada orang yan mau dihukum, bahkan pelaku kejahatan paling biadab sekalipun, pasti mengatakan saya tidak bersalah, ingin dibebaskan dan berupaya lolos dari jeratan hukum,” terangnya.
Reza menambahkan, kalaupun SJ bersalah, ia bukan orang yang paling bersalah. Jadi, kalau SJ sebagai tersangka mencabut pengakuannya, itu bukan fenomena luar biasa.
“Sah-sah saja dan biasa saja,” kata Reza. (Desastian)
Post a Comment