Shaf Rapat Ukhuwahpun Kuat
Oleh: Ust. DR. Wido Supraha
Setiap Muslim wajib merapatkan shaf di saat shalat, namun apakah ritual itu mampu merapatkan ukhuwah di antara kaum muslimin?
Meluruskan dan merapatkan shaf adalah bagian daripada sunnah nabawiyah, karena Nabi saw. pernah memerintahkan hal itu melalui sabdanya, ”Luruskanlah shof kalian.” Beliau membimbing sahabat-sahabatnya untuk meluruskan shaf, sehingga mereka benar-benar memahaminya secara baik.
Suatu masa, Rasulullah saw. keluar bersamaan dengan terdengarnya iqomah, namun beliau melihat salah seorang sahabat tampak dadanya membusung ke depan, maka beliau pun bersabda,
”Wahai hamba-hamba Allah, luruskanlah shaf kalian, atau Allah akan memecah belah persatuan kalian.”
(Muttafaqun ’Alaih)
Kalimat tersebut memiliki penekanan dengan tiga bentuk piranti penguat dalam bahasa Arab, yakni sumpah, hurum lâm dan nûn.
Tidak lurusnya shaf dapat memecah belah pola pikir, sehingga hati akan saling berselisih, sehingga tidak diragukan lagi bahwa hal itu merupakan ancaman terhadap orang yang tidak melakukan pelurusan shaf.
Oleh sebab itu, sebagian ulama berpendapat bahwa meluruskan shaf hukumnya wajib dan bukan sunnah.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin menegaskan bila jamaah shalat tidak meluruskan shaf, maka mereka akan berdosa, dan itulah pendapat yang eksplisit dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di dalam al-Ikhtiyârôtu ‘l-Fiqhiyyah min Fatâwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah atau Majmu’ Fatâwâ Syaikhul Islam.
Yang menjadi standar dalam meluruskan shaf adalah bahu, bagian atas tubuh, dan mata kaki di bagian bawah tubuh, yang dilakukan di saat tubuh tegak lurus.
Sementara jari-jari kaki tidak bisa dijadikan patokan, karena jari-jari kaki seseorang berbeda-beda satu dengan yang lain.
Nabi memerintahkan hal ini dan menganjurkan umatnya membuat shaf seperti para malaikat menyusun shaf mereka di sisi Rabb mereka.
Merapatkan shaf berarti tidak membiarkan adanya celah bagi setan, meski tidak juga berarti berdesak-desakan.
Nabi saw. Bersabda,
“Rapatkan shaf, dan jangan biarkan adanya celah-celah untuk dimasuki setan.” (HR. Abu Daud)
Fenomena di masa kini sering kita dapati jarangnya perhatian jamaah atas masalah ini, dan menganggapnya sebagai hal yang biasa saja. Terkadang mereka terpaku pada posisi format sajadah dan tidak mau merapatkannya meskipun jarak antara format sajadah adalah renggang.
Terkadang di saat salah seorang hendak merapatkan dirinya dengan jamaah di sisi kanan atau kirinya, jamaah tersebut malah bergeser menjauhkan diri dari rapatan yang dilakukan.
Belum lagi terlihat begitu banyak jamaah yang tidak memperhatikan kelurusan shaf, sehingga barisan shaf sangat tidak rapih terlihat, dan anehnya lagi, imam tidak mengambil peran sebagaimana mestinya untuk mengatur jamaah agar teratur dalam masalah ini.
Tentu saja hal-hal ini adalah akibat daripada ketidaktahuan jamaah akan pentingnya ilmu sebelum amal.
Di saat tubuh kita menempel rapat dengan jamaah di samping kita, dimana di saat itu bahu bertemu bahu, dan mata kaki bertemu mata kaki, maka kita akan merasakan sebuah energi persaudaraan yang pasti tidak kita rasakan di saat tubuh kita berjauhan seakan-akan sebuah keterasingan dan dikhawatirkan akan memudarlah semangat kebersamaan, persaudaraan, dan ikatan hati.
💡Sungguh, dalam setiap hal shalat berjama’ah, terdapat pelajaran yang mampu kita petik untuk diterapkan di luar kegiatan shalat.
Bisa dikatakan bahwa shalat berjamaan semacam miniatur daripada kehidupan islami yang diarahkan oleh ajaran suci ini. Sehingga sepatutnya antara hikmah yang kita peroleh dari kegiatan shalat berjama’ah dan aplikasi dalam kehidupan sehari-hari, berjalan bersamaan tanpa ada dikotomi di antara keduanya.
Rasulullah saw. bersabda, “Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara. Setiap muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, ia tidak boleh menzhaliminya, membiarkannya (tanpa memberikan pertolongan), tidak berbohong kepadanya, dan tidak memperhinakan nya.
Takwa itu ada di sini – seraya menunjuk ke hatinya tiga kali -. Cukuplah bagi seseorang suatu keburukan bila ia menghina saudaranya seislam. Setiap muslim itu haram: darah, harta, dan kehormatannya.”
(HR. Muslim)
Di dalam Haji Wada, dengan bahasa yang selaras, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian adalah haram atas kalian, seperti keharaman hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini.” (Al Hadits)
Ikatan ukhuwah (persaudaraan) adalah ikatan yang tidak bisa terbeli oleh nilai apapun juga. Ia adalah ikatan yang mampu merekatkan hubungan sesama manusia di atas kualitas emosional hubungan sedarah sekalipun, karena ikatan ukhuwwah dibangun di atas pondasi taqwa.
Ukhuwah menjadi menarik, bernilai tinggi, dan pemicu kebaikan lainnya, tatkala ia dijalankan dengan penuh kasih dan menghindarkan sejauh mungkin dari hal-hal yang dapat merusaknya, khususnya hasad, ghibthoh, saling membenci, saling membelakangi, dan lainnya.
Rapatnya hati sesama kaum muslimin adalah salah satu implementasi dasar dari rutinitas shalat berjama’ah yang kita lakukan sehari-hari. Ia harus dibangun dengan penuh kasih sayang sesama saudara seiman, sehingga melahirkan semangat untuk saling memenuhi dan saling melengkapi satu sama lainnya, selayaknya satu tubuh (jasad al wahid), tanpa melihat status sosial, dan status-status lain yang hanya ada dan tercipta di dunia ini.
Mari kita mulai praktik merapatkan hati ini dari lingkungan kita masing-masing. Kunci suksesnya adalah kualitas komunikasi yang baik, prasangka baik, dan berdo’a yang baik untuk kebaikan saudara kita tanpa ia mengetahui sedang kita do’akan.
Wallāhu ta’ala a’lam,
Dipersembahkan:
www.iman-islam.com
Sebarkan! Raih pahala...
Post a Comment