Psikolog: LGBT Bukan Bawaan Lahir
Berikut tulisan dari Dini Rahma Bintari, psikolog;
Ada orang orang gegabah yang menyangka bahwa Gay atau Homo Seksual adalah kodrat atau fitrah. Lihatlah bagaimana akal sehat, nurani, syariah maupun sains terbukti menolak pendapat bahwa Gay adalah bawaan lahir atau ditentukan oleh faktor genetik.
Akal sehat menolak, karena secara bentuk kelamin saja wanita dan pria sudah diciptakan berbeda untuk berpasangan dengan tujuan reproduksi. Akal sehat juga sulit menerima alasan hormonal dan adanya perilaku homoseksual pada hewan sebagai pembenar.
Nurani juga menolak, karena perilaku menggauli sesama jenis adalah menjijikan dan menimbulkan rasa bersalah serta aneh Juga bayangkan psikologis kejiwaan anak anak yang lahir dari "sewa rahim" atau "donor sperma" yang digadang gadang pelaku perkawinan sejenis sebagai solusi ketidakproduktifan mereka.
Syariah jelas menolak keras, lihatlah kasus kaum Sodom di era Nabi Luth AS menjadi pelajaran nyata. Secara fitrah, manusia sudah disiapkan untuk menegakkan peradaban di muka bumi melalui lahirnya keturunan atau generasi melalui keluarga dari pernikahan lelaki dan perempuan. Maha Suci Allah dari penciptaan yang sia sia.
Ketahuilah bahwa Gay adalah perilaku yang diakibatkan Salah Asuh (Psycho Genic) dan Salah Budaya atau Lifestyle (Socio Genic) bukan diakibatkan bawaan lahir atau Genetis (Bio Genic).
Namun BioGen umumnya alasan utama yang sering digadang gadang kalangan gay agar publik menerima eksistensi kaum gay. Mereka menyebutnya dengan teori ‘gen gay’ (gay gene theory) atau teori ‘lahir sebagai gay’ (born gay).
Benarkah Gay itu Fitrah atau Bawaan Lahir? Mari kita simak sejumlah penelitian berikut.
Tahun 1899, adalah ilmuwan Jerman, Magnus Hirscheld memperkenalkan teori “born gay”. Dia menegaskan bahwa homoseksual adalah bawaan sehingga dan dia menyerukan persamaan hukum untuk kaum homoseksual. Teori ini tanpa landasan ilmiah sama sekali.
Pada tahun 1991, dua orang periset Dr Michael Bailey & Dr Richard Pillard melakukan penelitian untuk membuktikan apakah homoseksual diturunkan alias bawaan. Yang diteliti dua periset ini adalah pasangan saudara –- kembar identik, kembar tidak identik, saudara-saudara biologis, dan saudara-saudara adopsi –- yang salah satu di antaranya adalah seorang gay.
Riset ini menyimpulkan adanya pengaruh genetik dalam homoseksualitas namun gagal mengungkap faktor genetik sebagai penentu.
Riset ini hanya menyatakan, 52 persen pasangan kembar identik dari orang gay berkembang pula menjadi gay. Sementara hanya 22 persen pasangan kembar biasa yang menunjukkan sifat itu. Sedangkan saudara biologis mempunyai kecenderungan 9,2%, dan saudara adopsi 10,5%.
Sedangkan gen di kromosom yang membawa sifat menurun itu tak berhasil ditemukan. Riset ini sesungguhnya dengan gamblang menunjukkan bahwa Gay adalah kebiasaan dan perilaku menular akibat pergaulan dan lingkungan (socio genic) dan salah asuh di keluarga (psycho genic) bukan bawaan lahir.
Riset ini dilanjutkan oleh Dean Hamer, seorang gay. Dia meneliti 40 pasang kakak beradik homoseksual. Hasil risetnya menyatakan bahwa satu atau beberapa gen yang diturunkan oleh ibu dan terletak di kromosom Xq28 sangat berpengaruh pada orang yang menunjukkan sifat homoseksual.
Riset Dean Hamer ini sangat “dipuja-puja” oleh kalangan homoseksual dan menjadi senjata ampuh mereka. Riset ini dianggap sebagai “penemuan ilmiah yang monumental.” Hasil riset ini meneguhkan pendapat kaum homoseksual bahwa homoseksual adalah kodrati, tak bisa dikatakan sebagai penyimpangan, dan tidak bisa dibenahi.
Padahal Dean kemudian berkata, “Kami tahu bahwa gen-gen hanyalah bagian dari jawaban. Kami menerima bahwa lingkungan juga mempunyai peranan membentuk orientasi seksual…..Homoseksualitas secara murni bukan karena genetika. Faktor-faktor lingkungan berperan. Tidak ada satu gen yang berkuasa yang menyebabkan seseorang menjadi gay…saya kira kita tidak akan dapat memprediksi siapa yang akan menjadi gay.”
Hamer juga menyebut bahwa risetnya gagal memberi petunjuk bahwa homoseksual adalah bawaan. “Silsilah keluarga gagal menghasilkan apa yang kami harapkan kami temukan: sebuah hukum warisan Mendelian yang sederhana. Pada faktanya, kami tak pernah menemukan dalam sebuah keluarga bahwa homoseksualitas didistribusikan dalam rumus yang jelas seperti observasi Mendel dalam tumbuhan kacangnya,” tulis Hamer.
Teori “gay gene” kian runtuh ketika pada 1999 Prof George Rice dari Universitas Western Ontario, Kanada, mengadaptasi riset Hamer dengan jumlah responden yang lebih besar. Rice menyatakan, hasil penelitian terbaru tak mendukung adanya kaitan gen X yang dikatakan mendasari homoseksualitas pria.
Rice dan tiga koleganya memeriksa 52 pasang kakak beradik homoseksual untuk melihat keberadaan empat penanda di daerah kromosom. Hasilnya menunjukkan, kakak beradik itu tak memperlihatkan kesamaan penanda di Xq28 – yang sebelumnya dirilis oleh Dean Hamer, kecuali secara kebetulan.
Selain Prof Rice, hasil riset ini didukung oleh Prof Alan Sanders dari Universitas Chicago. Riset Sander yang tak dipublikasikan juga tidak mendukung teori hubungan genetik pada homoseksualitas.
Ruth Hubbard, seorang pengurus The Council for Responsible Genetics yang juga penulis buku Exploding the Gene Myth menyatakan bahwa pencarian sebuah gen gay,
“bukan suatu usaha pencarian yang bermanfaat. Izinkan saya memperjelasnya: Saya tidak berpikir ada gen tunggal yang memerintah perilaku manusia yang sangat kompleks. Ada komponen-komponen genetik dalam semua yang kita lakukan, dan adalah suatu kebodohan untuk menyatakan gen-gen tidak terlibat. Tapi saya tidak berpikir gen-gen itu menentukan.”
Semua rangkaian penelitian sains di atas hanyalah burhan (bukti) bagi kebenaran alQuran dan alHadits yang telah mengisyaratkan buruknya dan kejinya perilaku homoseksual. Perilaku ini bukan bawaan lahir tetapi penyakit kejiwaan akibat salah asuh dan salah budaya atau gaya hidup.
Perilaku ini menular dan merusak kemanusiaan. Perilakunya diharamkan, pelakunya harus ditolong segera disembuhkan. Jangan dibiarkan karena alasan kemanusiaan, karena justru akan merusak kemanusiaan itu sendiri.
Maka betapa pentingnya pendidikan fitrah, termasuk fitrah terkait fitrah kewanitaan dan fitrah kelelakian. Pola asuh di rumah dan pergaulan di komunitas sangat berpengaruh besar. Keberadaan sosok ayah ibu harus ada sepanjang usia anak sampai menjelang aqil baligh.
Single parents atau keluarga tanpa kelengkapan sosok ayah dan ibu yang utuh berpengaruh besar menyimpangkan fitrah kewanitaan maupun fitrah kelelakian.
Begitupula di sekolah. Riset sederhana selama beberapa tahun terhadap kelas kelas yang gurunya wanita semua, gurunya pria semua dan gurunya sepasang pria dan wanita, menunjukkan bahwa kelas yang gurunya sepasang menunjukkan keseimbangan pertumbuhan emosional dan rasional yang lebih baik. Sayangnya guru PAUD, TK dan Dasar umumnya wanita, padahal usia ini menentukan.
Pergantian peran ayah dan peran ibu dalam pendidikan rumah perlu diatur kedekatannya sesuai tahap usia. Beberapa praktisi menganjurkan bahwa usia 0-2 tahun harus lebih dekat kepada Ibu karena menyusui, usia 3-7 tahun harus dekat kepada keduanya, ayah dan ibunya.
Lalu usia 7-10 tahun, anak pria dekat ke ayah dan anak wanita dekat ke ibu. Kemudian usia 11 sampai aqilbaligh, pola kedekatannya dibalik, anak wanita ke ayah dan anak pria ke ibu. Maka bisa dibayangkan jika kedua sosok ayah ibu ini tidak hadir sepanjang masa penumbuhan fitrah anak anak kita sampai aqil baligh.
Jangan abaikan pengaruh lingkungan, mari kita sadarkan dan selamatkan kerabat, teman dan orang dekat yang berperilaku Gay atau Homoseksual. Sembuhkan mereka. Jika tidak mereka akan menularkan perilakunya. Jika tidak mampu menyembuhkan mereka maka hijrahlah.
Sesungguhnya mereka orang orang yang tenggelam dalam obsesi anehnya (bukan unik), mereka lupa bahwa peradaban manusia yang baik harus dibangun dan dimulai dari keluarga keluarga yang baik dengan anak anak baik yang dilahirkan dan dididik oleh pasangan tak sejenis, pria dan wanita.
Post a Comment