Menjawab Mengapa Turki Anggota NATO (Agar Tidak Terjebak Pada Berbagai Sangkaan)
Pemateri: Ust. Agung Waspodo, SE, MPP
Krisis Selat-Selat Turki
Memasuki Tingkat Tinggi: 7 Agustus 1946 s/d 30 Mei 1953
Krisis selat-selat Turki (Dardanelles dan Bosphorus) merupakan bagian dari konflik yang berlarut-larut hingga masuk ke periode Perang Dingin (Cold War) yang mencakup konflik teritorial antara Uni Soviet dan Turki.
Turki, yang secara resmi berposisi netral selama kurun waktu Perang Dunia Kedua yang waktu itu baru saja berakhir, mendapatkan tekanan dari pemerintah Uni Soviet untuk membebaskan pelayaran negerinya melalui kedua selat yang menghubungkan antara Laut Hitam dan Laut Tengah (Mediterranean).
Pemerintah Turki tidak bergeming dari tekanan tersebut sehingga suhu perpolitikan di region tersebut meningkat tajam. Uni Soviet membalas sikap Turki tersebut dengan menggelar kekuatan laut di dekat perbatasannya. Insiden ini kelak menjadi faktor penting dalam pelaksanaan Doktrin Truman bagi meluasnya hegemoni Amerika Serikat pada waktu itu. Pada puncak krisis, Turki akhirnya terpaksa memeinta dukungan Amerika Serikat untuk mendapatkan dukungan serta kemudian memuluskan langkah menjadi anggota NATO. Keputusan tersebut terus mempengaruhi politik luar negeri Turki hingga kini.
Kepentingan
Kedua selat penghubung Laut Hitam dan Laut Mediterranena itu sangat penting bagi jalur perdagangan antara negara-negara yang memiliki akses ke Laut Hitam kepada dunia. Apalagi waktu itu Uni Soviet, Romania, dan Bulgaria berada pada satu pihak Pakta Warsawa yg berlawanan arah dengan NATO. Posisi kedua selat ini tentu saja sangat strategis dalam perspektif militer dimana kendalinya akan mempengaruhi strategi perang di region tersebut.
Latar Belakang Politik
Konflik ini memiliki akar permasalahan dari hubungan Uni Soviet-Turki pada masa persis sebelum Perang Dunia Kedua. Keduanya memiliki hubungan yg dekat bahkan erat pada paruh terakhir dekade 1930an. Sebelum era tersebut, Russia Bolshevik dan Turki Utsmani pernah menyepakati untuk mempererat kerjasama pada Perjanjian Moscow.
Konvensi Montreaux yang membahas tentang masalah yang sama pernah disepakati pada tahun 1936 dimana negara-negara seperti Australia, Bulgaria, Perancis, Jerman, Jepang, Uni Soviet, Turki, Inggris Raya, dan Yugoslavia telah menyepakati bagaimana Turki memainkan perannya sebagai pemilik kedua selat strategis itu; baik dalam kepentingan hubungan perdagangan maupun militer.
Perselisihan Perbatasan
Uni Soviet menginginkan agar perbatasannya dengan Turki do daerah timur region Anatolia dapat dinormalisasikan guna menguntungkan negaranya serta Armenia dan Georgia. Bahkan salah seorang deputi kepala negara, Lavrentiy Beria, "membisikan" kepada Stalin bahwa perbatasan di barat-daya Georgia itu dahulu dirampas pada era Turki Utsmani. Klaim ini jika disetujui tentu saja dapat meningkatkan pengaruh Uni Soviet di Timur Tengah dan menunrunkan pengaruh Inggris dan Amerika Serikat dikemudian hari. Klaim ini nantinya ditarik dengan terpaksa oleh Uni Soviet setelah bulan Mei 1953.
Kasus Kapal Perang Amerika Serikat
Setelah kalahnya Jerman Nazi oleh pihak Sekutu, maka Uni Soviet mulai mengangkat klaimnya pada tahun 1945-46. Sepanjang tahun 1946 berlangsung banyak pertemuan rahasia antara para diplomat Turki dan Amerika Serikat membahas tentang isu tersebut. Uni Soviet semakin berang setelah Turki juga mulai membiarkan kapal-kapal perang bukan dari negara Laut Hitam lalu lalang di selat-selat tersebut; terutama menjelang akhir Perang Dunia Kedua dan sesudahnya.
Pada tanggal 6 April 1946, kunjungan kapal perang Amerika Serikat USS Missouri semakin membuat Uni Soviet meradang. Turki menjelaskan bahwa kapal tersebut datang dalam kunjungan persahabatan sekaligus membawa pulang jenazah perdana menteri Turki utk AS; tentu saja penjelasan ini tidak diterima Uni Soviet.
Walaupun kunjungan Missouri itu bukan sesuatu yg mengagetkan Uni Soviet namun hal tersebut jelas melanggar Konvensi Montreux yg memicu dilayangkannya nota protes dari kedubes US di Washington D.C. dengan Nikolai Vasilevich menyebutnya sebagai demonstrasi politik dan militer menantang Uni Soviet.
Posisi Amerika Serikat
Ketika konflik ini diangkat di Konferensi Potsdam, persiden AS Harry S. Truman mengatakan bahwa permasalahan itu sebaiknya diselesaikan oleh kedua negara yg bersangkutan saja. Seiring dengan memanasnya perdebatan antar kedua negara setelah konferensi tsb barulah AS mengoreksi netralitasnya dalam hal ini dengan menyebutkan posisinya yg tidak menghendaki selat-selat tersebut jatuh ke tangan Uni Soviet. Bahkan muncul argumen bahwa AS juga tidak ingin Turki menjadi negara komunis.
Dukungan AS dan Negara Barat Lainnya
Pada musim panas 1946, Uni Soviet meningkatkan penggelaran kapal perangnya di Laut Hitam, bahkan terjadi peningkatan jumlah pasukan di negara-negara Balkan yg termasuk dalam blok Pakta Warsawa. Setelah beberapa waktu, Turki terpaksa meminta bantuan Amerika Serikat dalam bentuk pinjaman lunak untuk menungkatkan kemampuan perangnya.
Setelah melalui serangkaian rapat yg intensif, akhirnya Presiden Truman mengirim Satuan Tugas Tempur AS ke Turki. Pada 9 Oktober 1946, secara resmi negara AS dan Kerajaan Inggris menguatkan dukungannya kepada Turki. Pada tanggal 26 Oktober 1946, Uni Soviet menarik tuntutannya atas perlunya pertemuan baru utk membahas konflik ini walau tidam pernah mencabut sikapnya. Tidak lama setelah itu seluruh kekuatan militer intimidasi ditarik balik ke pangkalannya.
Turki kemudian mengambil sikap melepaskan netralitasnya dan menerima bantuan AS sebesar $100 juta dalam bentuk bantuan ekonomi dan militer pada tahun 1947. Bantuan ini dicairkan melalui Doktrin Truman yg hendak membendung perluasan pengaruh Uni Soviet; dalam region ini khususnya ke Yunani dan Turki. Kemudian kedua negara tersebut bergabung dengan NATO pada tahun 1952. Pada tahun yg sama, pada tanggal 16 Oktober 1952, Stalin wafat.
Agung Waspodo, mulai sedikit memahami mengapa Turki menjadi anggota NATO, 68 tahun kemudian.. sungguh amat telat!
Dipersembahkan:
www.iman-islam.com
Sebarkan! Raih pahala...
Post a Comment