Halal dan Haram Tentang Musik
Oleh: Farid Nu’man Hasan
Mukadimah
Pembahasan ini hanya membatasi pada musik saja, bukan nyanyiannya. Inilah alat hiburan yang paling terkenal sejagat, paling tua, dan paling banyak peminatnya, tua, muda, pria, wanita, awam, bahkan yang disebut sebagai ulama. Pro dan kontra apakah musik itu sesuatu yang haramkan atau dihalalkan oleh syariat Islam terus menerus terjadi. Sudah sangat banyak ulama Islam membahasnya, baik dalam bentuk buku atau kumpulan fatwa, dari zaman ke zaman, di berbagai belahan bumi kaum muslimin, yang kesimpulannya adalah tidak ada kata final dan kesepakatan di antara mereka. Banyak yang berpendirian haram sesuai dalil yang mereka yakini jelas, tegas, dan shahih, dan banyak pula yang meyakini mubah dengan dalil yang mereka juga yakini jelas, tegas, dan shahih.
Para ulama seperti Imam Abu Yusuf, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam An Nawawi, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin, Syaikh Abdullah Nashih ‘Ulwan, dan lainnya berdiri pada pihak yang mengharamkannya, baik musik itu melalaikan atau tidak, keharamannya karena benda dan musiknya itu sendiri, bahkan di antara mereka ada yang membuat karya khusus untuk memfatwakan keharamannya.
Keharaman itu berlaku bagi pemain, pendengar, dan yang hadir dalam majelis musik (konser), berikut ini keterangannya:
ذهب الفقهاء إلى أن الاستماع إلى المعازف المحرمة حرام، والجلوس في مجلسها حرام
Para ahli fiqih berpendapat bahwa mendengarkan alat-alat musik yang diharamkan adalah haram, dan duduk di dalam majelis alat-alat musik juga haram. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 38/178)
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah mengatakan:
العود والطنبور وسائر الملاهي حرام، ومستمعها فاسق
‘Uud (alat musik petik), tamburin, dan semua alat musik adalah haram, dan menjadi pendengarnya adalah fasiq. (Ighatsatul Lahfan min Mashayyidisy Syaithan, 1/248)
Beliau – dan Beliau adalah ulama yang sangat bersemangat dalam memfatwakan keharaman musik dan nyanyian- juga mengatakan:
قلت: مذهب أبى حنيفة فى ذلك من أشد المذاهب، وقوله فيه أغلظ الأقوال. وقد صرح أصحابه بتحريم سماع الملاهى كلها، كالمزمار، والدف، حتى الضرب بالقضيب، وصرحوا بأنه معصية، يوجب الفسق، وترد به الشهادة، وأبلغ من ذلك أنهم قالوا: إن السماع فسق، والتلذذ به كفر، هذا لفظهم، ورووا فى ذلك حديثاً لا يصح رفعه.
قالوا: ويجب عليه أن يجتهد فى أن لا يسمعه إذا مر به، أو كان فى جواره
وقال أبو يوسف، فى دار يسمع منها صوت المعازف والملاهى: "أدخل عليهم بغير إذنهم، لأن النهى عن المنكر فرض"، فلو لم يجز الدخول بغير إذن لامتنع الناس من إقامة الفرض".
قالوا: ويتقدم إليه الإمام إذا سمع ذلك من داره، فإن أصر حبسه وضربه سياطاً، وإن شاء أزعجه عن داره
Aku (Ibnul Qayyim) berkata: “Madzhab paling keras dalam masalah ini adalah madzhabnya Abu Hanifah, dan pendapatnya dalam masalah ini adalah pendapat yang paling tegas. Sahabat-sahabatnya telah menerangkan tentang keharaman mendengarkan semua alat musik seperti seruling, rebana, bahkan sampai memukul batang pohon sekali pun. Mereka menerangkan bahwa hal itu adalah maksiat, pelakunya adalah fasiq, kesaksiannya tertolak, dan lebih tegas dari itu mereka mengatakan: mendengarkan musik adalah fasiq, menikmatinya adalah kufur, itulah lafaz perkataan mereka, dan mereka meriwayatkan hadits (sebagai dasar pendapatnya, pen) namun tidak shahih sebagai hadits yang berasal dari nabi.
Mereka mengatakan: wajib bagi seseorang untuk bersungguh-sungguh tidak mendengarkan musik jika melewatinya, atau ketika musik itu ada pada tetangganya.
Abu Yusuf mengatakan, jika di sebuah rumah terdengar suara musik maka masuklah ke rumah itu tanpa izin mereka, sebab mencegah kemungkaran adalah wajib. Seandainya tidak diizinkan masuk, niscaya manusia tidak akan bisa menjalankan kewajiban nahi munkar tersebut.
Mereka mengatakan: jika imam mendengarkan musik dari rumah seseorang, maka ia mesti mendatanginya. Jika dia melawan maka imam mesti menahannya dan memukulnya dengan pecut, bahkan jika dia mau, dia boleh diusir dari rumahnya.” (Ighatsatul Lahfan, 1/227)
Sedangkan Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnul ‘Arabi, Imam Ibnu Thahir Al Maqdisi, Imam Al Ghazali, Syaikh Ali Ath Thanthawi, Syaikh Ahmad Syurbashi, Syaikh Muhammad Al Ghazali, Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, dan lainnya berdiri pada pihak yang membolehkannya, kecuali jika sudah melalaikan, dan dicampur hal-hal yang diharamkan, dan di antara mereka ada yang membuat karya khusus tentang Nyanyian dan Musik untuk menguatkan pendapat kebolehannya, seperti Imam Al Ghazali dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi.
Bagi mereka haramnya musik adalah karena sebab yang lainnya, yaitu melalaikan, jika tidak maka tidak apa-apa. Berikut ini keterangannya:
نص بعض الفقهاء على أن ما حرم من المعازف وآلات اللهو لم يحرم لعينه وإنما لعلة أخرى: فقال ابن عابدين: آلة اللهو ليست محرمة لعينها بل لقصد اللهو منها، إما من سامعها أو من المشتغل بها، ألا ترى أن ضرب تلك الآلة حل تارة وحرم أخرى باختلاف النية؟ والأمور بمقاصدها.
Perkataan sebagian ahli fiqih, bahwa keharaman alat-alat musik dan permainan itu bukan karena bendanya yang haram, tetapi karena adanya ‘ilat (sebab) yang lain. Ibnu ‘Abidin berkata: “Alat-alat permainan itu bukanlah haram semata-mata permainannya, tetapi jika karenanya terjadi kelalaian baik bagi pendengar atau orang yang memainkannya, bukankah anda sendiri menyaksikan bahwa memukul alat-alat tersebut kadang dihalalkan dan kadang diharamkan pada keadaan lain karena perbedaan niatnya? Menilai perkara-perkara itu tergantung maksud-maksudnya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 38/169)
Bahkan kelompok yang membolehkan ini, sampai taraf membolehkan musik sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit jika dalam keadaan darurat. Perhatikan ini:
Imam Syihabuddin Ar Ramli Rahimahullah menjelaskan:
نَعَمْ لَوْ أَخْبَرَ طَبِيبَانِ عَدْلَانِ بِأَنَّ الْمَرِيضَ لَا يَنْفَعُهُ لِمَرَضِهِ إلَّا الْعُودُ عُمِلَ بِخَبَرِهِمَا وَحَلَّ لَهُ اسْتِمَاعُهُ كَالتَّدَاوِي بِنَجِسٍ فِيهِ الْخَمْرُ، وَعَلَى هَذَا يُحْمَلُ قَوْلُ الْحَلِيمِيِّ يُبَاحُ اسْتِمَاعُ آلَةِ اللَّهْوِ إذَا نَفَعَتْ مَنْ مَرِضَ: أَيْ لِمَنْ بِهِ ذَلِكَ الْمَرَضُ وَتَعَيَّنَ الشِّفَاءُ فِي سَمَاعِهِ
Ya, seandainya ada dua dokter yang adil mengabarkan bahwa jika ada orang sakit yang penyakitnya tidak bisa disembuhkan kecuali dengan mendengarkan ‘uud (musik alat petik sejenis Kecapi), maka kabar itu boleh diamalkan dan halal mendengarkannya sebagaimana berobat dengan najis yang di dalamnya terdapat khamr. Atas dasar ini, mesti dipahami perkataan Al Hulaimi bahwa bolehnya mendengarkan alat musik jika bermanfaat bagi penyakit, yaitu bagi orang yang memang secara khusus penyakitnya bisa disembuhkan dengan mendengarkannya. (Nihayatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, 8/297)
Sementara ulama lain –seperti Syaikh Asy Syubramalisi- mengatakan:
آلة اللهو قد يباح استعمالها بأن أخبر طبيب عدل مريضا بأنه لا يزيل مرضه إلا سماع الآلة، ولم يوجد في تلك الحالة إلا الآلة المحرمة
Dibolehkan menggunaan alat musik bagi orang yang sakit dengan rekomendasi dari dokter yang adil, dalam keadaan memang penyakitnya itu tidak bisa hilang kecuali dengan mendengarkannya, dan tidak ditemukan dalam keadaan seperti itu sebagai obat lain kecuali alat-alat musik yang diharamkan itu. (Hasyiah Asy Syubramalisi ma’a Nihayatil Muhtaj, 3/385)
Kita lihat ..., sangat berbeda antara kelompok satu dibanding lainnya, dengan perbedaan yang begitu jauh. Wallahul Musta’an!
Sebagian ulama mengatakan, bahwa telah terjadi kesepakatan ulama jika alat-alat musik dimainkan bersamaan (semacam orkestra) maka itu diharamkan. Ada pun pembolehan sebagian ulama madzhab Syafi’i –seperti Imam Al Ghazali- adalah jika alat musik itu dimainkan sendirian (satu alat saja), itu pun masih ditentang oleh yang lainnya.
Berikut ini keterangan Imam Ibnul Qayyim –mengutip dari Imam Ibnu Ash Shalah:
وقد حكى أبو عمرو بن الصلاح الإجماع على تحريم السماع، الذى جمع الدف والشبابة. والغناء. فقال فى فتاويه:
وأما إباحة هذا السماع وتحليله، فليعلم أن الدف والشبابة والغناء إذا اجتمعت، فاستماع ذلك حرام، عند أئمة المذاهب وغيرهم من علماء المسلمين. ولم يثبت عن أحد- ممن يعتد بقوله فى الإجماع والاختلاف- أنه أباح هذا السماع، والخلاف المنقول عن بعض أصحاب الشافعى إنما نقل فى الشبابة منفردة، والدف منفرداً، فمن لا يحصل، أو لا يتأمل، ربما اعتقد خلافاً بين الشافعيين فى هذا السماع الجامع هذه الملاهى، وذلك وهم بين من الصائر إليه، تنادى عليه أدلة الشرع والعقل، مع أنه ليس كل خلاف يستروح إليه، ويعتمد عليه، ومن تتبع ما اختلف فيه العلماء، وأخذ بالرخص من أقاويلهم، تزندق أو كاد.
Abu Amr bin Ash Shalah menyebutkan adanya ijma’ tentang keharaman mendengarkan rebana, klarinet, dan nyanyian secara bersamaan. Beliau berkata dalam Fatawi-nya:
Ada pun tentang kebolehan dan kehalalan mendengarkannya, maka ketahuilah bahwa rebana, klarinet, dan nyanyian jika dimainkan bersama-sama maka itu haram menurut para imam madzhab dan selain mereka dari kalangan ulama kaum muslimin. Tidak ada satu pun keterangan pasti dari ulama yang ucapannya bisa diperhitungkan, baik dalam masalah ijma’ dan ikhtilaf, yang membolehkan mendengarkannya.
Perbedaan yang dinukil dari sebagian pengikut Syafi’i adalah dalam masalah klarinet jika dimainkan sendiri, dan rebana dimainkan sendiri. Bagi mereka yang tidak memahami dan merenungkannya, mungkin meyakini bahwa perselisihan di antara Syafi’iyyin ini adalah dalam masalah mendengarkan musik jika dimainkan bersamaan. Padahal itu jelas kekeliruan yang bertentangan dengan dalil syariat dan logika.
Disamping itu tidak semua perselisihan bisa kita cari-cari yang mudah lalu kita mengikuti hal itu, sebab barang siapa yang mengikuti perselisihan ulama lalu dia mencari-cari yang ringan dari pendapat-pendapat mereka, maka itu telah atau hampir zindik. (Ighatsatul Lahfan, 1/228)
Perkataan Imam Ibnu Ash Shalah yang terakhir, merupakan kritikan keras bagi mereka yang memilih pendapat yang enak-enak, yang ringan-ringan, di antara pendapat yang melarang dan mengharamkan. Perkataan ini mesti dipahami bahwa sikap itu didasari oleh pelakunya karena hawa nafsu, bukan didasari ilmu dan hujjah. Ada pun memilih pendapat ulama yang lebih ringan, mudah, dan mubah, ditengah pendapat ulama lain yang mengharamkannya, jika didasari hujjah yang kuat, tidaklah itu hal tercela, justru itulah sikap yang mesti diikuti, yaitu mengikuti dalil yang lebih kuat. Sebab keshalihan seseorang dalam beragama, dan kehati-hatiannya terhadap dosa, tidaklah ditentukan seberapa banyak dia mengharam-haramkan sesuatu, atau dia mengikuti pendapat ulama yang mengharamkan sesuatu. Sebagaimana kebijaksanaan seseorang juga tidaklah ditentukan oleh seberapa banyak dia memboleh-bolehkan sesuatu, .... semuanya mesti dikembalikan kepada dalil dan kaidah ilmu yang shahih.
Alat Musik Dalam Al Quran dan As Sunnah
Alat musik, baik dengan istilah umumnya seperti Al Ma’azif, Alatul Malahiy, dan Alatuth Tharbi, tidak akan kita temukan dalam Al Quran. Kita bisa menemukannya dalam kitab-kitab tafsir sebagai perkataan ahli tafsir saja, bukan firman Allah Ta’ala, sebagaimana yang nanti akan kami uraikan. Begitu pula dengan istilah yang lebih khusus seperti Ad Duf (rebana), Asy Syababah (klarinet), Al ‘Uud (kecapi), At Thambur (tamburin), dan semisalnya, juga tidak ada dalam Al Quran sedikit pun.
Ada pun dalam As Sunnah, istilah Al Ma’azif begitu banyak tertera dalam berbagai hadits dalam bentuk penceritaan yang beragam, dan diriwayatkan oleh banyak imam-imam hadits.
Alatul Malahiy juga tidak ada dalam hadits, kecuali hanya dalam bentuk judul bab saja. Seperti kitabnya Imam Ibnu Abi Ad Dun-ya, Dzammul Malahiy (Kecaman untuk alat-alat musik), atau kitabnya Imam Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, dalam Bab Maa Ja’a fi Dzammil Malahiy minal Ma’azif wal Mazamir wa Nahwiha (Bab tentang celaan untuk alat-alat musik, seruling, dan semisalnya). Alatuth Tharbi juga tidak kita temukan dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Apa itu Al Ma’azif – المَعَازِف ?
Al Ma’azif merupakan jamak dari Al Mi’zaf – المعزف, dari kata ‘azafa, yang artinya berpaling. Para ulama kita mendefinisikannya secara beragam.
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:
أن المعازف هى آلات اللهو كلها، لا خلاف بين أهل اللغة فى ذلك
Al Ma’azif adalah semua alat musik, dan tidak ada perselisihan pendapat para ahli bahasa atas hal itu. (Ighatsatul Lahfan, 1/260)
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:
وهي آلات الملاهي ونقل القرطبي عن الجوهري أن المعازف الغناء والذي في صحاحه أنها آلات اللهو وقيل أصوات الملاهي وفي حواشي الدمياطي المعازف الدفوف وغيرها مما يضرب به
Itu adalah alat-alat musik. Al Qurthubi menukil dari Al Jauhari bahwa Al Ma’azif adalah nyanyian, dan yang tertera dalam kitab Shihah-nya bahwa itu adalah alat-alat musik, dan ada yang mengatakan suara-suara yang melalaikan. Dalam Hawasyi Ad Dimyathi disebutkan bahwa Al Ma’azif adalah rebana dan alat lainnya yang termasuk alat musik pukul. (Fathul Bari, 10/55)
Imam Ibnu Hajar juga menyebut bahwa Al Ma’azif adalah:
وهي المزاهر والات الملاهي
Itu adalah seruling dan alat-alat musik. (Ibid, 1/156)
Imam Abul Faraj Al Jauzi Rahimahullah mengatakan:
وَأما المعازف فَهِيَ الملاهي المصوتة
Ada pun Al Ma’azif, dia adalah suara yang melalaikan. (Kasyful Musykil, 4/145)
Berkata Imam Adz Dzahabi Rahimahullah:
اسم لكل آلات الملاهي التي يعزف بها، كالزمر، والطنبور، والشبابة، والصنوج.
“Nama untuk semua alat-alat musik yang dimainkan, seperti seruling, tamborin, syabaabah (sejenis seruling juga), simbal (sejenis alat musik).” (Siyar A’lam An Nubala, 21/158)
Imam Abul ‘Ala Al Mubarkafuri Rahimahullah mengatakan:
وَهِيَ الدُّفُوفُ وَغَيْرُهَا مِمَّا يُضْرَبُ كَذَا فِي النِّهَايَةِ وَقَالَ فِي الْقَامُوسِ الْمَعَازِفُ الْمَلَاهِي كَالْعُودِ وَالطُّنْبُورِ
Itu adalah rebana dan alat musik pukul lainnya, sebagaimana di sebutkan dalam An Nihayah. Ada pun dalam Al Qamus, Al Ma’azif Al Malahi adalah kecapi dan tamburin. (Tuhfah Al Ahwadzi, 6/377-378)
Maka, bisa kita simpulkan dari penjelasan ulama, Al Ma’azif adalah semua alat musik, seperti kecapi, rebana dan semua alat musik yang dipukul, seruling, dan lainnya.
Selanjutnya kami paparkan kedua pihak antara yang mengharamkan dan membolehkan beserta alasan masing-masing pihak, beserta deretan nama-nama ulama di masing-masing golongan.
Bersama Para Ulama Yang Mengharamkan
Berikut ini adalah hujjah pihak yang mengharamkan alat-alat musik:
Dari Al Quran
Dalam Al Quran, kita tidak akan temui ayat yang secara jelas dan tegas membicarakan alat musik, baik memainkan dan mendengarkannya. Namun yang akan kita temui adalah banyak ayat yang mengecam segala bentuk permainan dan perkataan yang melalaikan, sehingga dengan menggunakan pendekatan tafsir –baik salaf dan khalaf- mereka mengartikannya sebagai musik, nyayian, dan lagu. Artinya, bukan dari ayat itu sendiri yang secara apa adanya, tersurat (manthuuq), menunjukkan kata-kata musik atau istilah lainnya tentang musik seperti alatuth tharbi, al malaahi, dan al ma’aazif, tetapi penyebutan musik itu berasal dari interpretasi (tafsir) para mufassir dan ulama, yang memungkinkan terjadinya tafsir-tafsir yang lain selain musik, seperti yang akan kita lihat nanti.
Sebagai contoh surat Al Baqarah ayat 102:
وَلَمَّا جَاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ كِتَابَ اللَّهِ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ .....
Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (Kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah) dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan .... (QS. Al Baqarah: 101-102)
FirmanNya yang berbunyi: ... dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan.
وهي المعازف واللعب وكل شيء يصد عن ذكر الله
Itu adalah alat-alat musik, permainan, dan semua hal yang menghalangi manusia dari mengingat Allah. (Imam Ibnu Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan, 2/316. Imam Ibnu Abi Hatim, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/186. Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 1/346. Imam As Suyuthi, Ad Durul Mantsur, 1/234. Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir, 4/270)
Ayat lainnya: Surat Luqman ayat 6:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْم
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan Perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan (QS. Luqman: 6)
Apa yang dimaksud perkataan tidak berguna (lahwul hadits)? Di sebutkan dalam Al Akhbar Al Musnadah, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Itu adalah alat musik dan penyanyi wanita.” (Tafsir As Sam’ani, 4/226)
Sementara Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Abbas, Jabir bin Abdillah, ‘Ikrimah, Al Hasan, Mujahid, dan mayoritas ahli tafsir mengatakan ayat ini turun tentang nyanyian. Bahkan Abdullah bin Mas’ud bersumpah atas hal itu. Al Hasan mengatakan juga: al ma’aazif (alat-alat musik). Sementara Adh Dhahak mengatakan itu adalah syirik kepada Allah. Ibnu Juraij mengatakan itu adalah drum (bedug). Abdullah bin Sahl At Tastari mengatakan: itu adalah berdebat tentang agama dan kebatilan. Qatadah mengatakan bahwa maksudnya adalah ucapan orang-orang Quraisy yang mempermainkan Islam, dan kebiasaan mereka dengan hal-hal yang batil. (Ibid. Lihat juga Imam Ibnu ‘Athiyah, Tafsir Al Quran, 4/345, Imam Al Qurthubi, Al Jaami’ Liahkamil Quran, 14/52)
Ayat lainnya:
وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ
Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (QS. Al Anfal : 35)
Ini merupakan kecaman atas kebiasaan Arab jahiliyah, yang melakukan ibadah dengan cara “hiburan” yaitu bersiul dan tepuk tangan. Maka, melalui pendekatakan qiyas aula, jika bersiul dan tepul tangan saja merupakan hal yang buruk dan dikecam, apalagi nyanyian dan musik.
Demikianlah dalil-dalil Al Quran yang dianggap mengharamkan musik. Masih ada beberapa ayat lainnya, tetapi ayat-ayat tersebut lebih pas kita bahas ketika membahas Nyanyian dan Lagu.
Dalil-Dalil dari As Sunnah
Berikut ini adalah hadits-hadits yang menjadi hujjah haramnya musik.
Hadits pertama:
وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ: حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنَا عَطِيَّةُ بْنُ قَيْسٍ الكِلاَبِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ غَنْمٍ الأَشْعَرِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو عَامِرٍ أَوْ أَبُو مَالِكٍ الْأَشْعَرِيُّ، وَاللَّهِ مَا كَذَبَنِي: سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ، يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ وَالحَرِيرَ، وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ
Berkata Hisyam bin ‘Ammar, berkata kepada kami Shadaqah bin Khalid, berkata kepada kami Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, berkata kepada kami ‘Athiyah bin Qais Al Kilabi, berkata kepada kami Abdurrahman bin Ghanam Al Asy’ari, dia berkata: berkata kepadaku ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari, Demi Allah tidaklah dia membohongi aku: dia mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Di antara umatku akan ada suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr (minuman keras), dan alat-alat musik. (HR. Bukhari No. 5590)
Hadits ini, bagi kelompok ini adalah SHAHIH (valid) dan SHARIH (jelas), shahih karena diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, dan Ahlus Sunnah telah ijma’ bahwa Shahih Bukhari adalah kitab paling Shahih setelah Al Quran. Sharih (jelas) karena nabi tegas mengatakannya bahwa jika “akan datang masa-masa umatnya menghalalkan” berarti dahulu hal itu diharamkan.
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mendhaifkan hadits ini karena Imam Bukhari menulisnya secara mu’allaq, yaitu terputus sanadnya. Menurutnya Imam Bukhari tidak meriwayatkan hadits ini secara langsung dari Hisyam bin Ammar, terbukti dengan apa yang ditulis oleh Imam Bukhari sendiri: “ Berkata Hisyam bin Ammar ...”, bukan “Dari Hisyam bin Ammar ...”, maka menurut Imam Ibnu Hazm kalimat Berkata Hisyam bin Ammar menunjukkan Beliau tidak mendengarkan langsung dari Hisyam bin Ammar, sehingga Imam Ibnu Hazm menolak keshahihan hadits ini.
Namun, para ulama telah mengkritik keras Imam Ibnu Hazm. Di antara yang paling bersemangat dan tajam adalah Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ighatsatul Lahfan, katanya:
هذا حديث صحيح، أخرجه البخارى فى "صحيحه" محتجاً به، وعلقه تعليقاً مجزوماً به
“Hadits ini shahih, dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, beliau menjadikannya sebagai hujjah, dan Beliau meriwayatkannya secara mu’allaq namun bernilai jazm (pasti lagi tegas).”
Lalu Beliau melanjutkan:
ولم يصنع من قدح فى صحة هذا الحديث شيئاً، كابن حزم، نصرة لمذهبه الباطل فى إباحة الملاهى، وزعم أنه منقطع، لأن البخارى لم يصل سنده به. وجواب هذا الوهم من وجوه:
Sedikit pun pihak yang mencacat hadits ini tidaklah bisa berbuat apa-apa, seperti Ibnu Hazm, dia dalam rangka membela pendapatnya yang batil dalam membolehkan alat musik, telah mengira hadits ini terputus (munqathi’) karena Imam Bukhari tidak menyambungkan sanadnya. Ada beberapa sisi untuk menjawab keraguan ini (lalu Ibnul Qayyim menyebut lima alasan) [1].... (Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/259)
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengomentari Imam Ibnu Hazm, katanya:
فزعم بن حزم أنه منقطع فيما بين البخاري وهشام وجعله جوابا عن الاحتجاج به على تحريم المعازف وأخطأ في ذلك من وجوه والحديث صحيح معروف الاتصال بشرط الصحيح
Ibnu Hazm menyangka bahwa hadits ini terputus sanadnya antara Al Bukhari dan Hisyam, lalu dia menjadikannya itu sebagai jawaban atas hujah pengharaman alat-alat musik. Beliau keliru dalam hal ini di banyak sisi, hadits ini shahih, dikenal bersambung sanadnya sesuai syarat hadits shahih. (Fathul Bari, 10/52)
Hadits kedua:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ اللهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ، وَأَمَرَنِي رَبِّي بِمَحْقِ الْمَعَازِفِ وَالْمَزَامِيرِ وَالْأَوْثَانِ وَالصُّلُبِ، وَأَمْرِ الْجَاهِلِيَّة ...
Dari Abu Umamah, dia berkata: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Sesungguhnya Allah mengutusku sebagai rahmat dan petunjuk bagi semesta alam, Rabbku telah memerintahkan aku untuk membinasakan alat-alat musik, seruling, berhala, salib dan perkara jahiliyah ... (HR. Ahmad No. 22307, Ath Thayalisi No. 1230, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 7803, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 6108)
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa alat-alat musik hendak dihancurkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, itu menunjukkan kebenciannya terhadapnya serta keharaman hukum atasnya.
Namun, hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah, sebab dhaif jiddan (sangat lemah – invalid text), sebagaimana dikatakan Syaikh Syu’aib Al Arnauth, lantaran ada dua perawi yang dhaif yaitu Faraj bin Fadhalah dan ‘Ali bin Yazid. (Ta’liq Musnad Ahmad, 36/646). Didhaifkan pula oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. (Misykah Al Mashabih, No. 3654).
Hadits ketiga:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فِي هَذِهِ الأُمَّةِ خَسْفٌ وَمَسْخٌ وَقَذْفٌ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَتَى ذَاكَ؟ قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ القَيْنَاتُ وَالمَعَازِفُ وَشُرِبَتِ الخُمُورُ.
Dari ‘Imran bin Hushain, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Akan datang pada umat mereka ditenggelamkan, rupa mereka berubah, dan dilempari batu.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, kapan hal itu terjadi?” Beliau bersabda: “Ketika nampak penyanyi wanita, musik-musik, dan diminumnya khamr.” (HR. At Tirmidzi No. 2212, katanya: hadits ini gharib. Ar Ruyani dalam Musnadnya No. 132, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 5810. Lafaz ini milik At Tirmidzi. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 5467)
Hadits ini menceritakan masa depan umat Islam yang kelam, yakni ketika musik, biduanita, dan khamr meraja lela. Ini menunjukkan bahwa musik adalah hal diharamkan bahkan disetarakan dengan khamr.
Hadits keempat:
عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ , يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا , وَتُضْرَبُ عَلَى رُءُوسِهِمُ الْمَعَازِفُ , يَخْسِفُ اللهُ بِهُمُ الْأَرْضَ , وَيَجْعَلُ مِنْهُمْ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ "
Dari Abu Malik Al Asy’ari, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda:
“Manusia di antara umatku akan benar-benar minum khamr, mereka menamakannya dengan bukan namanya, dipukulkan di hadapan mereka alat-alat musik, Allah membenamkan mereka di bumi, dan menjadikan sebagian mereka sebagai kera dan babi.” (HR. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 17383 dan 20989, dengan tambahan: mughanniyat (biduanita), Ibnu Majah No. 4020, Ath Thabarani, Al Kabir No. 3419. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ghayatul Maram No. 402)
Hadits kelima:
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيَّ، أَوْ حُرِّمَ الْخَمْرُ، وَالْمَيْسِرُ، وَالْكُوبَةُ
Sesungguhnya Allah haramkan atasku, atau diharamkan khamr, judi, dan Al Kubah. (HR. Abu Daud No. 3696.. Abu Ya’la No. 2729, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 20991. Dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban. (Tuhfatul Muhtaj Ila Adillatil Minhaj No. 1792), Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 2425. Syaikh Syu’aib Al Arnauth (Ta’liq Musnad Ahmad, 4/280). Syaikh Husein Salim Asad dalam Musnad Abi Ya’la mengatakan: para perawinya terpercaya).
Imam Abu Daud berkata: Sufyan bertanya kepada Ali bin Badzimah tentang Al Kubah, dia menjawab: Ath Thabl – drum/gendang. (Sunan Abi Daud No. 3639). Sementara Imam Ibnu Abi Syaibah mengatakan Al Kubah adalah Al ‘Uud- kecapi. (Al Mushannaf No. 24080). Imam Ibnul Atsir mengatakan: Al Kubah adalah Ath Thablush Shaghir – gendang kecil. (Jami’ul Ushul, 5/97). Imam Ahmad bertanya kepada Yahya bin Ishaq, apa itu Al Kubah? Beliau menjawab: Thabl – drum. (Al Badrul Munir, 9/649). Imam Muhammad bin Katsir mengatakan, Al Kubah adalah dadu menurut bahasa penduduk Yaman. (Imam Abu ‘Ubaid, Gharibul Hadits, 4/278)
Hadits keenam:
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمِ الْخَمْرَ، وَالْمَيْسِرَ، وَالْكُوبَةَ
Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian khamr, judi, dan Al Kubah. (HR. Ahmad No. 2625, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, 4/381. Al Baihaqi dalam Al Adab No. 628)
Hadits ketujuh:
Dari Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَالْكُوبَةِ وَالْغُبَيْرَاءِ
Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang khamr, Al Kubah, dan Al Ghubaira.
(HR. Abu Daud No. 3685. Abu Daud mengatakan bahwa menurut Imam Abu ‘Ubaid, Al Ghubaira adalah minuman keras yang terbuat dari perasan Jagung. Didalam sanadnya terdapat Al Walid bin ‘Abdah, Imam Al Mundziri mengatakan: Walid bin ‘Abdah menurut Imam Abu Hatim adalah: majhul (tidak dikenal). Ibnu Yunus mengatakan dalam Tarikh Al Mishriyin bahwa Walid bin ‘Abdah adalah pelayannya Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash, Yazid bin Habib meriwaytkan hadits darinya, dan hadits ini ma’lul – memiliki cacat. Lihat Mukhtashar, 5/268-269. Namun dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 1708)
Hadits kedelapan:
Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda:
صوتان ملعونان في الدنيا والآخرة مزمار عند نعمة ورنة عند مصيبة
“Ada dua suara yang dilaknat di dunia dan akhirat; suara seruling ketika mendapatkan kenikmatan dan raungan ketika musibah.” (HR. Al Bazzar No. 7513, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 40661, 40673. Syaikh Al Albani menghasankan. Lihat Shahih At Targhib wat Tarhib No. 3527. Imam Al Haitsami mengatakan: para perawinya terpercaya. Lihat Majma’uz Zawaid, 3/13. Dihasankan pula oleh Syaikh Abdul Malik bin Abdullah Duhaisy dalam tahqiqnya terhadap kitab Al Ahadits Al Mukhtarah-nya Imam Dhiya’uddin Al Maqdisi No. 2200. Sementara Imam Al Munawi mengatakan: isnadnya shahih. Lihat At Taisir bi Syarhil Jaami’ Ash Shaghir, 2/95)
Kata laknat di sini, menunjukkan haramnya hal tersebut dilakukan. Bahkan Imam Al Qurthubi dan Imam Ibnu Taimiyah mengatakan –seperti yang dikutip Imam Al Munawi:
بل فيه دلالة على تحريم الغناء فإن المزمار هو نفس صوت الإنسان يسمى مزمارا كما في قوله لقد أوتيت مزمارا من مزامير آل داود انتهى
Bahkan dalam hadits ini terdapat petunjuk haramnya nyanyian, sebab seruling itu sejenis dengan suara manusia, dan suara tersebut dinamakan dengan seruling sebagaimana dalam sabdanya (tentang suara Abu Musa Al Asy’ari ketika membaca Al Quran, pen): “Engkau telah diberikan seruling di antara seruling-seruling keluarga Daud.” Selesai. (Imam Al Munawi, Faidhul Qadir, 4/210)
Hadits kesembilan:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ
Lonceng adalah seruling-seruling syetan. (HR. Muslim No. 2114, Abu Daud No. 2556, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 8761)
Celaan ini untuk lonceng, padahal suaranya masih sederhana, apalagi untuk alat musik yang mendayu-dayu dan mempengaruhi hati dan jiwa?
Komentar Para Ulama Yang Mengharamkan
Berikut ini adalah komentar para ulama yang mengharamkan musik.
Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma
Beliau mengatakan:
الدف حرام والمعازف حرام والكوبة حرام والمزمار حرام.
“Rebana adalah haram, al ma’azif adalah haram, gendang adalah haram, dan seruling adalah haram.” (HR. Al Baihaqi, 10/222. Dari jalan Abdul Karim Al Jazari dari Abu Hasyim Al Kufi. Syaikh Al Albani mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Tahrim Alat Ath Tharb, Hal. 92. Cet. 3, 1426H-2005M. Muasasah Ar Rayyan)
Abdullah bin ‘Umar Radhiallahu ‘Anhuma
Imam Az Zaila’i Rahimahullah menceritakan:
وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ رَأَى فِي يَدِ بَعْضِ النَّاسِ شَيْئًا مِنْ الْمَعَازِفِ فَكَسَرَهُ فِي رَأْسِهِ
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Beliau melihat ditangan sebagian orang adanya alat-alat musik, lalu Beliau menghancurkan alat-alat itu dihadapannya. (Tabyinul Haqa-iq, 5/238)
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah menyebutkan:
وَرَوَى نَافِعٌ، قَالَ: «سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ مِزْمَارًا، قَالَ: فَوَضَعَ إصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ، وَنَأَى عَنْ الطَّرِيقِ، وَقَالَ لِي: يَا نَافِعُ، هَلْ تَسْمَعُ شَيْئًا؟ قَالَ: فَقُلْت: لَا. قَالَ: فَرَفَعَ إصْبَعَيْهِ مِنْ أُذُنَيْهِ، وَقَالَ: كُنْت مَعَ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَسَمِعَ مِثْلَ هَذَا، فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا»
Nafi’ meriwayatkan, katanya: Ibnu Umar mendengar suara seruling, lalu dia menutup kedua telinganya dengan jarinya, lalu dia menjauh dari jalan dan berkata kepadaku: “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suaranya?” Aku menjawab: “Tidak.” Lalu Ibnu Umar melepaskan jarinya dari kedua telinganya. Lalu Ibnu Umar berkata: Dulu aku bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia mendengar suara ini, dan dia melakukan seperti ini (maksudnya menutup telinga, pen).” (Al Mughni, 10/154)
Namun hadits yang disebut Ibnu Umar tersebut adalah dhaif. Imam Ibnu Qudamah mengatakan: “Diriwayatkan oleh Al Khalal melalu dua jalur, juga diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya, katanya: hadits ini munkar.” (Ibid)
Umar bin Abdul ‘Aziz Radhiallahu ‘Anhu
Imam Al Auza’i mengatakan bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada Umar bin Al Walid, di antara bunyi suratnya:
....وَإِظْهَارُكَ الْمَعَازِفَ وَالْمَزَامِيرَ بِدْعَةٌ فِي الْإِسْلَامِ ....
“ ... penyebaranmu terhadap alat-alat musik dan seruling, itu adalah bid’ah dalam Islam ...” (Imam An Nasa’i, As Sunan Al Kubra No. 4421)
Imam Al Hasan Al Bashri Radhiallahu ‘Anhu
Beliau mengatakan:
ليس الدفوف من أمر المسلمين في شيء وأصحاب عبد الله يعني ابن مسعود كانوا يشققونها.
“Rebana sama sekali bukan berasal dari budaya kaum muslimin, dan para sahabat Abdullah bin Mas’ud merobek-robeknya.” (Tahrim Alat Ath Tharb, Hal. 103-104)
Imam Muhammad bin Al Hasan Rahimahullah
Beliau adalah murid sekaligus kawan Imam Abu Hanifah, katanya:
لَا يَنْعَقِدُ بَيْعُ هَذِهِ الْأَشْيَاءِ؛ لِأَنَّهَا آلَاتٌ مُعَدَّةٌ لِلتَّلَهِّي بِهَا مَوْضُوعَةٌ لِلْفِسْقِ، وَالْفَسَادِ فَلَا تَكُونُ أَمْوَالًا فَلَا يَجُوزُ بَيْعُهَا
Tidak boleh berkumpul untuk membeli benda-benda ini (alat-alat musik), karena ini alat-alat yang biasanya dipakai untuk melenakan dan merupakan zona kefasikan dan kerusakan, maka janganlah menjadikannya sebagai harta kekayaan, dan tidak boleh melakukan jual-beli barang tersebut. (Imam Al Kisani, Bada’i Ash Shana’i, 5/144)
Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu
Al Qadhi Abu Thayyib menceritakan:
وحكي عن الشافعي أنه كان يكره الطقطقة بالقضيب ويقول وضعته الزنادقة ليشتغلوا به عن القرآن
Diceritakan dari Imam Asy Syafi’i, bahwa Beliau membenci mengetuk-ketuk batang pohon dan mengatakan itu adalah perbuatan orang zindiq yang dengannya orang menjadi lalai dari Al Quran. (Imam Al Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, 2/269)
Imam Asy Syafi’i Rahimahullah berkata:
وَلَوْ كَسَرَ لَهُ طُنْبُورًا أَوْ مِزْمَارًا أَوْ كَبَرًا فَإِنْ كَانَ فِي هَذَا شَيْءٌ يَصْلُحُ لِغَيْرِ الْمَلَاهِي فَعَلَيْهِ مَا نَقَصَ الْكَسْرُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ يَصْلُحُ إلَّا لِلْمَلَاهِي فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَهَكَذَا لَوْ كَسَرَهَا نَصْرَانِيٌّ لِمُسْلِمٍ أَوْ نَصْرَانِيٌّ أَوْ يَهُودِيٌّ أَوْ مُسْتَأْمَنٌ أَوْ كَسَرَهَا مُسْلِمٌ لِوَاحِدٍ مِنْ هَؤُلَاءِ أَبْطَلْت ذَلِكَ كُلَّهُ
Seandainya seseorang menghancurkan tamburin, seruling, atau gendang, yang jika benda-benda ini difungsikan selain alat musik maka dia mesti membayar ganti rugi, tetapi jika benda-benda ini fungsinya hanyalah sebagai alat musik, maka dia tidak usah mengganti rugi. Demikian pula jika yang menghancurkan adalah seorang Nasrani terhadap milik seorang muslim, atau dilakukan oleh Yahudi, kafir musta’min, atau orang Islam yang menghancurkan milik mereka, maka semua itu adalah batil (tidak usah diganti rugi, pen). (Al Umm, 4/225)
Imam Asy Syafi’i menganggap bahwa alat-alat musik yang fungsinya memang hanya untuk musik, maka ketika dihancurkan tidak ada kewajiban ganti rugi, siapa pun pelakunya dan pemiliknya.
Imam Abul Hasan Al Muhamili Rahimahullah mengatakan tentang sikap madzhab Syafi’i tentang menjual alat musik:
ويُكره بيع الخشب ممن يتخذ الملاهي، مثل: الطُّنبور ، والطّبل وما شابه ذلك، والبيع صحيح؛ لإمكان أن يستعمله في غيره
Hal yang dibenci menjual kayu untuk dijadikan alat musik seperti tamburin, gendang, dan semisalnya. Menjualnya memang sah jika untuk difungsikan selain untuk itu (musik). (Al Lubab fil Fiqhisy Syafi’i, 1/245)
Imam Ibnu Nujaim Al Hanafi Rahimahullah
Beliau berkata:
وَفِي الْمِعْرَاجِ الْمَلَاهِي نَوْعَانِ مُحَرَّمٌ وَهُوَ الْآلَاتُ الْمُطْرِبَةُ مِنْ غَيْرِ الْغِنَاءِ كَالْمِزْمَارِ سَوَاءٌ كَانَ مِنْ عُودٍ أَوْ قَصَبٍ كَالشَّبَّابَةِ أَوْ غَيْرِهِ كَالْعُودِ وَالطُّنْبُورِ لِمَا رَوَى أَبُو أُمَامَةَ أَنَّهُ - عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ - قَالَ «إنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي بِمَحْقِ الْمَعَازِفِ وَالْمَزَامِيرِ» وَلِأَنَّهُ مُطْرِبٌ مُصِدٌّ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى وَالنَّوْعُ الثَّانِي مُبَاحٌ وَهُوَ الدُّفُّ فِي النِّكَاحِ وَفِي مَعْنَاهُ مَا كَانَ مِنْ حَادِثِ سُرُورٍ وَيُكْرَهُ فِي غَيْرِهِ
Tingkatan hukum alat-alat musik ada dua jenis, Pertama. Yang diharamkan yaitu alat-alat musik untuk nyanyian yang dimainkan tanpa lagu seperti seruling, sama saja baik yang terbuat dari kayu atau rotan, seperti klarinet atau alat lainnya seperti kecapi, tamburin, berdasarkan riwayat dari Abu Umamah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Allah mengutusku sebagai rahmat bagi semesta alam dan memerintahkan aku menghancurkan alat-alat musik dan seruling” , karena itu merupakan nyanyian yang dapat menghalangi ingatakn kepada Allah Ta’ala.
Kedua, yang dibolehkan yaitu rebana dalam pernikahan, semakna dengan ini adalah kondisi apa saja berupa peristiwa yang menyenangkan, dan dimakruhkan rebana diluar waktu ini. (Al Bahru Ar Ra-iq, 7/88)
Imam Abul Ma’ali Al Bukhari Al Hanafi Rahimahullah
Beliau mengatakan:
وفي «فتاوى أهل سمرقند» استماع صوت الملاهي كالضرب بالقصب، وغير ذلك من الملاهي حرام، وقد قال عليه السلام: «استماع الملاهي معصية والجلوس عليها فسق والتلذذ بها من الكفر»
Dalam Fatawa Ahli Samarqandi disebutkan bahwa mendengarkan suara hiburan seperti memukul rotan dan alat hiburan lainnya adalah haram. Sebagaimana sabda nabi: mendengarkan alat hiburan adalah maksiat, duduk mendengarkannya adalah fasiq, menikmatinya adalah kufur. (Al Muhith Al Burhani, 5/369)
Imam Ibnul Qayyim mengatakan hadits yang dimaksud ini tidaklah sampai Rasululah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam.
Imam Abu Abdillah Zainuddin Abdul Qadir Al Hanafi Rahimahullah
Beliau menuliskan:
اسْتِمَاع الملاهي وَسَمَاع صَوت الملاهي كلهَا حرَام فَإِن سمع بَغْتَة فَهُوَ مَعْذُور ثمَّ يجْتَهد أَن لَا يسمع مهما أمكنه
Mendengarkan secara sengaja alat-alat musik, semuanya adalah haram, sedangkan mendengarkannya secara tidak diduga hal itu dimaafkan, kemudian hendaknya dia bersungguh-sungguh untuk tidak mendengarkannya sebisa mungkin. (Tuhfatul Muluk, Hal. 238)
Imam Ad Dasuqi Al Maliki Rahimahullah
Beliau mengatakan:
وَقِيلَ هِيَ جَائِزَةٌ فِي النِّكَاحِ، وَلَا يَلْزَمُ مِنْ جَوَازِهَا جَوَازُ كِرَائِهَا وَالرَّاجِحُ أَنَّ الدُّفَّ وَالْكَبَرَ جَائِزَانِ لِعُرْسٍ مَعَ كَرَاهَةِ الْكِرَاءِ، وَأَنَّ الْمَعَازِفَ حَرَامٌ كَالْجَمِيعِ فِي غَيْرِ النِّكَاحِ فَيَحْرُمُ كِرَاؤُهَا.
Dikatakan: boleh dimainkan dalam pernikahan. Pembolehan itu tidaklah lantas boleh juga disewakan. Pendapat yang lebih kuat adalah rebana dan gendang itu boleh dimainkan ketika pesta, namun makruh menyewanya, sesungguhnya semua alat-alat musik haram dimainkan diluar nikah, maka haram juga menyewa diluar nikah. (Hasyiah Ad Dasuqi ‘Ala Syarhil Kabir, 4/18)
Imam Abu Muhammad Al Qairuwani Al Maliki Rahimahullah
Beliau mengatakan:
ولا يحل لك أن تتعمد سماع الباطل كله ولا أن تتلذذ بسماع كلام امرأة لا تحل لك ولا سماع شيء من الملاهي والغناء
Tidak dihalalkan bagimu menyengaja mendengarkan kebatilan (kesia-siaan) semuanya, dan jangan pula menikmati suara ucapan perempuan, itu tidak halal bagimu, dan tidak pula halal mendengarkan alat-alat musik dan nyanyian. (Imam Abu Muhammad Al Qairuwani, Ar Risalah, Hal. 154)
Imam Ibnu Rusyd Al Maliki Rahimahullah
Beliau mengatakan:
ولا يجوز تعمد حضور شيء من اللهو واللعب، ولا من الملاهي المطربة كالطبل والزمر وما كان في معناه
Tidak boleh menyengaja hadir ke tempat hiburan, permainan, dan juga alat-alat musik yang diiringi nyanyian, seperti seruling, dan apa-apa yang semakna. (Al Muqaddimat, 3/462)
Tapi Beliau juga mengatakan:
ورخص من ذلك في النكاح الدف وهو الغربال باتفاق، والكبر والمزهر على ثلاثة أقوال: إباحتها جميعا، وكراهتهما جميعا، وإباحة الكبر دون المزهر، قيل: للنساء دون الرجال، وقيل: للنساء والرجال. واختلف هل هو من قبيل المباح الذي يستوي فعله وتركه، أو هو من قبيل المباح الذي تركه أحسن من فعله وبالله التوفيق.
Diringankan musik pada pernikahan seperti rebana, menurut kesepakatan ulama, ada pun gendang dan kecapi ada tiga pendapat: 1. boleh semua, 2. makruh keduanya, 3. membolehkan gendang, tapi tidak bagi kecapi. Ada yang mengatakan: boleh bagi wanita, laki-laki tidak. Ada yang bilang: boleh bagi wanita dan laki-laki juga. Juga terdapat perbedaan, apakah dari sisi kebolehannya itu sama saja antara memainkan dan meninggalkannya, ataukah meninggalkannya lebih baik dibanding memainkannya. Wa billahit Taufiq. (Ibid)
Imam Al Haramain Asy Syafi’i Rahimahullah
والبداية في هذا الفن بتحريم المعازف والأوتار، وكلها حرام، وهي ذرائع إلى كبائر الذنوب. وفي اليراع وجهان. ولا يَحْرم ضربُ الدف إذا لم تكن عليه جلاجل، فإن كان، فوجهان. وكان شيخي يقطع بتحريمه
Awal dari masalah ini adalah pengharaman atas alat-alat musik, senar, dan semua alat musik, hal itu merupakan tindakan preventif dari dosa-dosa besar. Pada klarinet ada dua pendapat. Tidak diharamkan memukul rebana jika tidak terdapat lonceng, jika ada lonceng, maka ada dua pendapat, sedangkan guruku menilainya itu haram. (Nihayatul Mathlab fi Dirayatil Madzhab, 19/22)
Imam An Nawawi Asy Syafi’i Rahimahullah
Beliau mengatakan:
آلَاتُ الْمَلَاهِي كَالْبَرْبَطِ وَالطُّنْبُورِ وَغَيْرِهِمَا، وَكَذَا الصَّنَمُ وَالصَّلِيبُ، لَا يَجِبُ فِي إِبْطَالِهَا شَيْءٌ، لِأَنَّهَا مُحَرَّمَةُ الِاسْتِعْمَالِ، وَلَا حُرْمَةَ لِتِلْكَ الصَّنْعَةِ
Alat-alat musik seperti tamburin dan lainnya, begitu pula berhala dan salib, tidaklah ada kewajiban ganti rugi apa pun ketika membatalkannya (dalam jual beli, pen), sebab itu adalah benda-benda yang diharamkan untuk dimanfaatkan dan itu bukanlah benda yang terhormat. (Raudhatuth Thalibin, 5/17)
Tegas Imam An Nawawi mengatakan alat-alat musik adalah benda al muharramah (yang diharamkan). Beliau juga mengatakan:
ويكره الغناء بلا آلة وسماعه ويحرم استعمال آلة من شعار الشربة كطنبور وعود وصنج ومزمار عراقي وإسماعها لا يراع في الأصح. قلت: الأصح تحريمه والله أعلم
Dimakruhkan mendengarkan nyanyian yang tanpa alat musik. Diharamkan memainkan dan mendengarkan alat musik yang biasa dipakai sebagai simbol para peminum seperti tamburin, kecapi, shanju, seruling Iraq dan mendengarkannya tanpa yara’. Aku berkata: yang benar yara’ (semacam seruling) adalah haram. Wallahu A’lam . (Minhajuth Thalibin, 1/345)
Imam Al Ghazali Asy Syafi’i Rahimahullah
Beliau mengatakan:
المعازف والأوتار حرَام لِأَنَّهَا تشوق إِلَى الشّرْب وَهُوَ شعار الشّرْب فَحرم التَّشَبُّه بهم وَأما الدُّف إِن لم يكن فِيهِ جلاجل فَهُوَ حَلَال ضرب فِي بَيت رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم
وَإِن كَانَ فِيهِ جلاجل فَوَجْهَانِ وَفِي اليراع وَجْهَان وَالأَصَح أَنه لَا يحرم والمزمار الْعِرَاقِيّ حرَام لِأَنَّهُ عَادَة أهل الشّرْب
Alat-alat musik dan senar adalah haram, sebab hal tersebut dapat membangkitkan seseorang untuk minum (khamr), dan itu merupakan syi’arnya para peminum, dan diharamkan menyerupai mereka. Ada pun rebana jika tidak ada lonceng maka itu boleh, itu pernah dimainkan di rumah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tapi jika ada loncengnya maka ada dua pendapat, dan jika memiliki yara’ (semacam seruling) juga ada dua pendapat, dan yang benar adalah tidak diharamkan, sedangkan seruling Iraq adalah haram karena itu biasa dimainkan oleh para peminum khamr. (Al Wasith fil Madzhab, 7/350)
Kita lihat Imam Al Ghazali mengharamkan semua alat musik dan yang memiliki senar (gitar, biola, kecapi, ukolele, harpa, dan semisalnya), kecuali untuk rebana, beliau membolehkannya, termasuk rebana yang memiliki lonceng dan yara’ Beliau memilih tidak mengharamkannya, kecuali seruling Iraq. Imam Zakaria Al Anshari menyebut yara’ adalah asy syababah – klarinet.
Imam Abul Hasan Al Mawardi Asy Syafi’i Rahimahullah
Beliau mengatakan:
فَأَمَّا الْحَرَامُ: فَالْعُودُ وَالطُّنْبُورُ وَالْمِعْزَفَةُ وَالطَّبْلُ وَالْمِزْمَارُ وَمَا أَلْهَى بِصَوْتٍ مُطْرِبٍ إِذَا انْفَرَدَ.
Ada pun musik yang diharamkan adalah kecapi, tamburin, gendang, seruling, dan suara nyanyian apa saja yang melalaikan biar pun sendirian. (Al Hawi Al Kabir, 17/191)
Imam Ibnu Taimiyah Al Hambali Rahimahullah
Beliau mengatakan:
فَأَمَّا الْمُشْتَمِلُ عَلَى الشَّبَّابَاتِ وَالدُّفُوفِ المصلصلة فَمَذْهَبُ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ تَحْرِيمُهُ.
Ada pun musik yang mencakup klarinet dan rebana maka madzhab imam yang empat mengharamkannya. (Majmu’ Al Fatawa, 11/535)
Imam Ibnu Qudamah Al Hambali Rahimahullah
Beliau menegaskan musik ada tiga hukum, haram, mubah, dan makruh, berikut ini rinciannya:
فِي الْمَلَاهِي: وَهِيَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ؛ مُحَرَّمٌ، وَهُوَ ضَرْبُ الْأَوْتَارِ وَالنَّايَاتُ، وَالْمَزَامِيرُ كُلُّهَا، وَالْعُودُ، وَالطُّنْبُورُ، وَالْمِعْزَفَةُ، وَالرَّبَابُ، وَنَحْوُهَا، فَمَنْ أَدَامَ اسْتِمَاعَهَا، رُدَّتْ شَهَادَتُهُ؛ لِأَنَّهُ يُرْوَى عَنْ عَلِيٍّ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنَّهُ قَالَ: «إذَا ظَهَرَتْ فِي أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً، حَلَّ بِهِمْ الْبَلَاءُ» . فَذَكَرَ مِنْهَا إظْهَارَ الْمَعَازِفِ وَالْمَلَاهِي.
Tentang musik, ada tiga jenis: Diharamkan, yaitu memainkan musik yang bersenar, semua jenis seruling, kecapi, tamburin, mi’zafah, rebab, dan semisalnya. Barang siapa yang rutin mendengarkannya maka dia tertolak kesaksiannya. Sebab diriwayatkan dari Ali bin Thalib Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “jika muncul pada umatku 15 hal, maka bencana halal bagi mereka,” lalu nabi menyebutkan salah satunya adalah alat-alat musik dan hiburan. (Al Mughni, 10/153)
Ada pun jenis yang boleh adalah rebana pada saat pernikahan dan hari-hari yang menyenangkan, diluar itu makruh. Katanya:
وَضَرْبٌ مُبَاحٌ؛ وَهُوَ الدُّفُّ؛ فَإِنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ: «أَعْلِنُوا النِّكَاحَ، وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفِّ» . أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ. وَذَكَرَ أَصْحَابُنَا، وَأَصْحَابُ الشَّافِعِيِّ، أَنَّهُ مَكْرُوهٌ فِي غَيْرِ النِّكَاحِ؛ لِأَنَّهُ يُرْوَى عَنْ عُمَرَ، أَنَّهُ كَانَ إذَا سَمِعَ صَوْتَ الدُّفِّ، بَعَثَ فَنَظَرَ، فَإِنْ كَانَ فِي وَلِيمَةٍ سَكَتَ، وَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِهَا، عَمَدَ بِالدُّرَّةِ. وَلَنَا، مَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - «أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْهُ، فَقَالَتْ: إنِّي نَذَرْت إنْ رَجَعْت مِنْ سَفَرِك سَالِمًا، أَنْ أَضْرِبَ عَلَى رَأْسِك بِالدُّفِّ. فَقَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: أَوْفِ بِنَذْرِك» . رَوَاهُ أَبُو دَاوُد.
وَلَوْ كَانَ مَكْرُوهًا لَمْ يَأْمُرْهَا بِهِ وَإِنْ كَانَ مَنْذُورًا. وَرَوَتْ الرُّبَيِّعُ بِنْتُ مُعَوِّذٍ، قَالَتْ: «دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - صَبِيحَةَ بُنِيَ بِي، فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَّاتٌ يَضْرِبْنَ بِدُفٍّ لَهُنَّ، وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مَنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ، إلَى أَنْ قَالَتْ إحْدَاهُنَّ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ. فَقَالَ: دَعِي هَذَا، وَقُولِي الَّذِي كُنْت تَقُولِينَ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Jenis yang mubah adalah, memukul rebana, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Beritakanlah pernikahan dan pukullah rebana.” (HR. Muslim). Sahabat-sahabat kami (Hambaliyah), dan sahabat-sahabat Syafi’i (Syafi’iyah) menyebutkan bahwa rebana makruh jika diselain pernikahan, sebab diriwayatkan dari Umar bahwa jika dia mendengar suara rebana maka dia bangun dan memandanginya, tapi jika itu terjadi dalam pesta maka Beliau diam. Bagi kami, apa-apa yang diriwayatkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa ada seorang wanita datang kepadanya dan berkata: Saya bernadzar jika engkau (nabi) pulang dari safar dalam keadaan selamat saya akan memainkan rebana dihadapanmu. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Penuhi nadzarmu.” (HR. Abu Daud)
Seandainya itu (memukul rebana, pen) makruh tentu nabi tidak akan memerintahkannya untuk memukulnya, walaupun itu dalam bentuk nadzar. Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz mengatakan: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke rumahku pada pagi hari, maka ada dua budak wanita yang memukul-mukul rebana, lalu menyenandungkan lagu tentang peristiwa ayah-ayah kami saat perang Badar, sampai salah satu di antara mereka berkata: di tengah kita hadir seorang nabi yang mengetahui hari esok. Rasulullah bersabda: “Tinggalkan kata-kata itu, katakanlah yang lainnya yang ingin kau katakan.” (Ibid)
Imam Ibnu Qudamah menjelaskan musik yang makruh, yaitu jika dimainkan oleh kaum laki-laki, sebab itu merupakan penyerupaan terhadap wanita dan banci. Menurutnya, kaum wanitalah yang memainkan rebana sebagaimana riwayat-riwayat yang ada, bukan kaum laki-laki.
Berikut ini penjelasannya:
أَمَّا الضَّرْبُ بِهِ لِلرِّجَالِ فَمَكْرُوهٌ عَلَى كُلِّ حَالٍ؛ لِأَنَّهُ إنَّمَا كَانَ يَضْرِبُ بِهِ النِّسَاءُ، وَالْمُخَنَّثُونَ الْمُتَشَبِّهُونَ بِهِنَّ، فَفِي ضَرْبِ الرِّجَالِ بِهِ تَشَبُّهٌ بِالنِّسَاءِ، وَقَدْ لَعَنَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ. فَأَمَّا الضَّرْبُ بِالْقَضِيبِ، فَمَكْرُوهِ إذَا انْضَمَّ إلَيْهِ مُحَرَّمٌ أَوْ مَكْرُوهٌ، كَالتَّصْفِيقِ وَالْغِنَاءِ وَالرَّقْصِ، وَإِنْ خَلَا عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ لَمْ يُكْرَهْ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِآلَةٍ وَلَا بِطَرِبٍ، وَلَا يُسْمَعُ مُنْفَرِدًا
Ada pun laki-laki memukul rebana, itu makruh dalam segala keadaan. Karena dahulu itu dimainkan oleh kaum wanita. Itu merupakan kebancian dan peniruan terhadap kaum wanita. Maka, laki-laki yang memainkan rebana itu adalah tasyabbuh terhadap wanita. Dan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melaknat kaum laki-laki yang menyerupai kaum wanita.
Sedangkan memukul batang pohon makruhnya jika dibarengi hal-hal yang haram seperti tepul tangan, menyanyi, dan menari. Jika tidak dibarengi itu, tidak makruh sebab itu bukan alat musik dan tidak bisa didengar secara sendiri. (Ibid, 10/155)
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy Syaikh Al Hambali Rahimahullah
Beliau menyatakan keharaman berobat dengan mendengarkan alat-alat musik. Berikut ini keterangannya:
(ويحرم) التداوي، (بمحرم أكلاً وشرباً، وصوت ملهاة) يحرم أن يشرب حراماً تداويا به، أو يأكل حراماً تداوياً به، أو يتداوى بصوت ملهاة: مثل الطبل، أو دف، أو مزمار، أو غير ذلك من الملاهي الكثيرة؛ فهو منهي عنه
(Diharamkan) berobat (dengan yang haram baik makanan atau minuman dan suara hiburan) diharamkan menggunakan minuman haram sebagai obat, atau memakan makanan haram sebagai obat, atau berobat dengan suara hiburan seperti: gendang, rebana, seruling, atau alat musik lainnya yang begitu banyak, maka hal itu terlarang. (selesai kutipan dari Syaikh Ibrahim)
Kemudian Beliau mengutip surat Luqman ayat 6 (Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan Perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan), lalu memberikan penjelasan:
فدخل في ذلك الملاهي كلها، فيحرم حضورها فهي من جملة المحرمات التي ليس فيها شفاء، بل كثير من المحرمات تزيد الداء داء
Maka, yang termasuk lahwul hadits adalah semua alat-alat hiburan, diharamkan menghadirkannya sebab secara global itu adalah termasuk keumuman hal-hal yang diharamkan, itu bukan obat bahkan banyak melakukan perkara-perkara yang diharamkan justru menambah penyakit. (Syarh Kitab Adab Al Musyi, Hal. 169)
Kesimpulan Terhadap Pihak Yang Mengharamkan
Demikianlah deretan imam kaum muslimin yang nama-nama mereka telah menjadi rujukan umat Islam di berbagai belahan dunia. Nama-nama ini sudah cukup mewakili ulama lain yang sepaham dengan mereka, dan nama-nama ini masih sebagian kecil saja, mungkin masih ada puluhan, ratusan bahkan ribuan ulama yang mengharamkannya.
Dari berbagai komentar mereka, maka pada posisi yang mengharamkan bisa kita simpulkan sebagai berikut:
Semua alat musik pada dasarnya haram baik alat musik tiup, pukul, gesek, dan sebagainya. Semisal seruling dan beragam jenisnya, gendang, kecapi, gitar, dan sebagainya.
Dikecualikan rebana dalam pesta pernikahan, hari raya, dan suana gembira seperti pulang dari peperangan dan bepergian, selain momen itu makruh, ada pula yang mengharamkan. Ada pun Imam Al Ghazali membolehkan rebana yang memiliki lonceng, bahkan klarinet. Namun dalam hal ini Beliau dikoreksi oleh yang lainnya seperti Imam An Nawawi.
Pembolehan terhadap rebana hanya bagi wanita, ada pun bagi laki-laki makruh sebab itu menyerupai wanita dan banci.
Musik-musik yang biasa dimainkan ahli maksiat juga haram, bahkan Imam Al Ghazali dan para ulama yang membolehkan musik juga mengharamkan ini.
Mendengarkan secara sengaja adalah maksiat bahkan fasik menurut sebagian mereka, dan hanyut dalam musik adalah kufur.
Para penikmat musik tertolak kesaksiannya.
Demikian. Wallahu A’lam
VII. Bersama Para Ulama Yang Membolehkan
Pada bagian lalu kita sudah membahas berbagai alasan –Al Quran dan As Sunnah- pihak yang mengharamkan musik beserta komentar para ulama dari empat madzhab yang mengharamkan. Kali ini kita akan membahas alasan-alasan pihak yang membolehkan musik.
Berikut ini alasan-alasan pihak yang membolehkan:
Dari Al Quran
Pertama. Al Baqarah ayat 29:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dia-lah Allah, yang menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu. (QS. Al Baqarah: 29)
Ayat ini menunjukkan bahwa seluruh yang ada di bumi ini Allah Ta’ala ciptakan untuk manusia, adalah hal yang tidak relevan dan kontradiksi, jika Allah Ta’ala menciptakan seluruh yang di muka bumi ini untuk manusia di satu sisi, tapi di sisi lain Dia haramkan kebanyakannya bagi manusia pula. Maha suci Allah dari hal yang seperti itu. Sehingga ayat ini menegaskan bahwa antara halal dan haram lebih banyak yang halal, antara suci dan najis lebih banyak yang suci. Bagi mereka, keindahan yang bisa dirasakan, dilihat, dan dinikmati, -musik termasuk di dalamnya- adalah hal-hal yang mubah yang mencakup kalimat: ... Dialah yang menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu ...
Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan:
قال ابن كيسان: خلق لكم أي من أجلكم، وفيه دليل على أن الأصل في الأشياء المخلوقة الإباحة حتى يقوم دليل يدل على النقل عن هذا الأصل، ولا فرق بين الحيوانات وغيرها مما ينتفع به من غير ضرر
Berkata Ibnu Kaisan: menciptakan untuk kalian yaitu (Allah menciptakan, pen) karena kalian, dalam ayat ini terdapat dalil bahwa hukum asal segala sesuatu yang berupa makhluk ciptaan adalah boleh, sampai adanya dalil yang menunjukkan perubahan hukum asal ini. Tidak ada bedanya antara hewan dan selainnya, yang termasuk apa-apa yang bermanfaat dan tidak membawa kerusakan. (Fathul Qadir, 1/71-72)
Bagi mereka, tidak ada dalil yang secara tegas dan jelas mengharamkan musik, khususnya Al Quran, ada pun dalam As Sunnah ada beberapa hadits yang shahih tapi tidak sharih (jelas), ada yang sharih tapi tidak shahih. Sehingga Imam Ibnul ‘Arabi Al Maliki Rahimahullah mengatakan tak ada di dalam Al Quran dan As Sunnah tentang pengharaman lagu dan musik. (Ahkamul Quran, 3/1053)
Tidak ada yang diharamkan kecuali oleh nash yang shahih dan sharih (jelas-tegas) dalam kitab Allah Ta’ala dan Sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika tidak ada dalam keduanya, tidak ada dalam ijma’, atau yang ada hanya nash yang shahih tapi tidak sharih, atau sharih tapi tidak shahih, maka ia tetap dalam batas kemaafan Allah Ta’ala yang luas dan lapang. Jika memang musik haram, tidak mungkin Allah Ta’ala tidak menjelaskannya secara terang dalam kitabNya, dan mustahil pula Allah Ta’ala lupa menerangkannya. Sebab Allah Ta’ala sudah berfirman:
...وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ...
“ ...Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu ... ” (QS. Al An’am: 119)
Dan, kenyataannya menurut kelompok ini, kita tidak temukan satu pun ayat yang lugas tentang pengharamannya, maka tetaplah musik termasuk dalam kategori yang didiamkanNya dan dimaafkanNya. Jika begini keadaannya maka berlaku hukum asal (bara’atul ashliyah) bahwa segala sesuatu pada dasarnya adalah mubah. Para ulama menegaskan bahwa menetapkan keharaman membutuhkan kelugasan dan keshahihan dari nash tanpa keraguan dan syubhat. Ada pun dalam menetapkan kebolehan, sudah cukup dengan ketiadaan dalil pengharaman, dan bebas dari dharar (kerusakan), tanpa harus adanya kata-kata ‘halal’ dan ‘mubah’. Ketiadaan dalil larangan atas sesuatu, sudah cukup kebolehan sesuatu itu.
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
الحلال ما أحل الله في كتابه والحرام ما حرم الله في كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنه
“Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya, yang haram adalah yang Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa saja yang di diamkanNya, maka itu termasuk yang dimaafkan.” (HR. At Tirmidzi No. 1726, katanya: hadits gharib. Ibnu Majah No. 3367, Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 6124. Syaikh Al Albani mengatakan: hasan. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1726. Juga dihasankan oleh Syaikh Baari’ ‘Irfan Taufiq dalam Shahih Kunuz As sunnah An Nabawiyah, Bab Al Halal wal Haram wal Manhi ‘Anhu, No. 1 )
Oleh karena itu, Imam Al Fakihani Rahimahullah mengatakan –sebagaimana dikutip oleh Imam Asy Syaukani:
لَمْ أَعْلَمْ فِي كِتَابِ اللَّهِ وَلَا فِي السُّنَّةِ حَدِيثًا صَحِيحًا صَرِيحًا فِي تَحْرِيمِ الْمَلَاهِي
Tidak aku ketahui dalam Kitabullah dan Sunnah hadits yang shahih dan lugas tentang pengharaman musik. (Nailul Authar, 8/117)
Kedua. Surat Al A’raf ayat 147
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ
Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka. (QS. Al A’raf: 157)
Ayat ini menunjukkan bahwa syariat menghalalkan segala hal yang baik. Ath Thayyibat (segala yang baik) adalah meliputi segala hal yang baik, tidak dibatasi, dan Ath Thayyibat menurut mayoritas biasanya identik dengan hal-hal yang bisa dinikmati, thahir (suci) dan halal.
Imam Asy Syaukani mengatakan, makna Ath Thayyibat adalah المستلذات - Al Mustalladzdzaat (hal-hal yang bisa dinikmati). (Fathul Qadir, 2/287). Al Qadhi Abu Muhammad Rahimahullah juga mengatakan Ath Thayyibat adalah hal-hal yang bisa dinikmati. (Tafsir Ibnu ‘Athiyah, 2/228). Imam Abul Qasim Al Kalbi mengatakan bahwa dalam madzhab Imam Syafi’i, Ath Thayyibat adalah Al Mustalladzdzaat.(At Tas-hil Li ‘Ulumit Tanzil, 1/309)
Imam Ar Radzi Rahimahullah menjelaskan tentang ayat-ayat semisal ini:
ونص في هذه الآيات الكثيرة على إباحة المستلذات والطيبات فصار هذا أصلا كبيرا
Nash pada ayat-ayat yang banyak ini menunjukkan kebolehan hal-hal yang bisa dinikmati dan baik-baik, dan ini menjadi hal pokok yang besar. (Mafatih Al Ghaib, 11/290)
Nah, bagi mereka, musik termasuk hal-hal yang bisa dinikmati, sehingga dia termasuk keumuman makna Ath Thayyibat yang Allah Ta’ala halalkan. Sebagaimana ayat:
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
Mereka bertanya kepadamu: 'Apa sajakah yang dihalalkan bagi mereka?' Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik (Ath Thayyibat)." (QS. Al Maidah: 4)
Justru Allah Ta’ala mengecam sikap melampaui batas, yaitu mengharamkan Ath Thayyibat, sebagaimana firmanNya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Maidah: 87)
Ketiga. Al Jumu’ah Ayat 11
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ وَمِنَ التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan (lahwun), mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik pemberi rezki. (QS. Al Jumu’ah: 11)
Sebab turunnya ayat ini, adalah –sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam At Tirmidzi, Imam Ahmad dan lainnya dengan riwayat yang saling melengkapi- bahwa ketika datangnya kafilah dagang yang telah ditunggu-tunggu oleh orang-orang Islam (saat itu sedang mendengarkan nabi khutbah), mereka tiba dengan membawa barang-barang dagangan, maka serta merta kaum muslimin menyambutnya dengan nyanyian dan tabuh-tabuhan, sebagai ungkapan rasa senang atas kedatangan kafilah tersebut dengan selamat, juga sebagai ungkapan harapan mereka agar barang dagangannya bisa menghasilkan dan keuntungan yang banyak.
Karena itu, mereka berebut mengambil dagangan, sehingga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang sedang khutbah mereka tinggalkan, dalam riwayat lain disebutkan sampai-sampai yang tersisa dari jamah shalat jumat hanya dua belas orang saja.
Lihatlah ayat tersebut, Allah Ta’ala menyebut permainan dan perniagaan dalam satu susunan kalimat, lalu kenapa hanya nyanyian saja yang diharamkan, sedang perniagaan tidak? Padahal keduanya saat itu telah memalingkan mereka dari shalat jumat. Jadi, sebenarnya yang diharamkan bukanlah permainan dan perniagaannya secara zat atau perbuatan, melainkan jika sudah membawa efek ‘melalaikannya’ itu, dan tentunya tidak semua orang seperti itu, dengan kata lain tergantung orangnya masing-masing. Dalam kisah di atas pun tidak semua sahabat nabi berpaling, masih ada dua belas orang yang mendengarkan khutbah nabi. Maka, kenyataan ini jelas bahwa masing-masing orang berbeda keadaannya; ada yang bisa melalaikan ada pula yang tidak.
Kemudian, bagian ayat pada surat Jumu’ah di atas, yang berbunyi: Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaan" merupakan kalimat yang berfungsi optional (pilihan) dan pembanding, tidak ada kaitannya dengan pengharaman atas permainan (lahwun) dan perdagangan. Ayat itu menegaskan bahwa pada sisi Allah Ta’ala yakni menunaikan shalat jumat adalah lebih baik dari pada permainan dan perdagangan.
Keempat. Surat Muhammad ayat 36
إِنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا يُؤْتِكُمْ أُجُورَكُمْ وَلَا يَسْأَلْكُمْ أَمْوَالَكُمْ.
“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. dan jika kamu beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan pahala keppadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.” (QS. Muhammad: 36)
Juga ayat lainnya:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ....
Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, ... (QS. Al Hadid: 20)
Bagi pihak yang membolehkan, ayat ini merupakan dalil kebolehan musik. Pihak yang mengharamkan menganggap musik adalah sesuatu yang melalaikan, sebagaimana permainan lainnya. Namun ayat ini menyanggah pemahaman tersebut, sesungguhnya tidaklah suatu permainan dan senda gurau itu lantas secara otomatis menjadi sesuatu yang haram. Sebab, jika memang musik haram karena dia permainan yang melalaikan, maka bukan hanya musik, melainkan dunia seluruh dan isinya juga haram, sebab dunia adalah permainan dan senda gurau yang melalaikan. Oleh karena itu, bagi kelompok yang membolehkan, musik tidak bisa dipukul rata haram atau mubah, dia bisa haram atau mubah tergantung keadaannya.
Kelima. Surat Luqman ayat 6
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman: 6)
Sebagaimana penjalasan yang telah lalu, ayat ini –khususnya kalimat lahwul hadits (perkataan tak berguna)- ditafsirkan oleh para sahabat seperti Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Jabir bin Abdillah, ‘Ikrimah, dan sebagainya adalah nyanyian. Sementara dalam Tafsir As Sam’ani –mengutip dari kitab Al Akhbar Al Musnadah- disebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri yang menjelaskan bahwa itu adalah alat musik dan wanita penyanyi (Lihat Tafsir As Sam’ani, 4/226), tetapi riwayat ini tidak memiliki sanad sehingga tidak bisa dipertanggungjawabkan keautentikannya dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Perlu diketahui, tafsiran bahwa lahwul hadits adalah lagu, musik, bukanlah satu-satunya tafsiran yang bersifat final. Imam Asy Syaukany, dalam Fathul Qadir-nya mengatakan bahwa maksud lahwul hadits adalah apa-apa yang bisa melalaikan dari kebaikan, bisa berupa nyanyian, pemainan, perkataan dusta, dan segala yang munkar. Ia meriwayatkan bahwa Imam Hasan al Bashri menafsiri makna lahwul hadits adalah ma’azif (alat-alat musik) dan ghina’ (nyanyian), tetapi juga diriwayatkan darinya, bahwa maksud lahwul hadits adalah kufr (kekafiran) dan syirk (kesyirikan).
Kalimat, “Liyudhilla (untuk menyesatkan (manusia) ...” menunjukkan bahwa huruf lam pada kata li yudhilla berfungsi sebagai lam ta’lil (lam yang menunjukkan sebab –‘illat hukum). Demikian dalam Fathul Qadir.
Jadi, sebenarnya, perilaku apa saja – bukan hanya nyanyian dan musik- jika bertujuan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah Ta’ala, jelas perbuatan adalah haram. Mafhum mukhalafah (pemahaman implisit)nya adalah jika tidak ada maksud menyesatkan manusia, maka tidak mengapa.
Imam Ibnu Jarir at Thabari menegaskan dalam tafsirnya, dari Ibnu Wahhab, bahwa Ibnu Zaid mengatakan ayat “Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkatan yang tidak berguna ....” maksudnya adalah orang-orang kafir. Tidakkah memperhatikan bunyi ayat selanjutnya:
“Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami Dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah Dia belum mendengarnya, seakan- akan ada sumbat di kedua telinganya; Maka beri kabar gembiralah Dia dengan azab yang pedih.” (QS. Luqman: 7)
Manusia yang diceritakan dalam ayat ini, jelas bukan berkepribadian muslim dan bukan seorang muslim. Memang, sebagian ada yang membantah itu, menurut mereka ini juga berlaku untuk orang Islam. Dan lahwul hadits merupakan perkataan batil (sia-sia) yang mereka gunakan untuk kelalaian. (Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir Ath Thabari, Jami’ul Bayan, 1/41, tafsir surat Luqman)
Imam Ibnul ‘Athiyah Rahimahullah menyebutkan:
والذي يترجح أن الآية نزلت في لهو حديث منضاف إلى كفر فلذلك اشتدت ألفاظ الآية بقوله: لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَها هُزُواً، والتوعد بالعذاب المهين
Pendapat yang rajih (kuat) adalah bahwa ayat tersebut diturunkan tentang orang-orang kafir, oleh karena itu ungkapan ayat tersebut sangat keras yaitu “untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.” Dan disertai ancaman siksaan yang amat hina. (Imam Ibnu ‘Athiyah, Al Muharrar Al Wajiz, 4/346)
Pemahaman ini juga dikuatkan oleh Imam Fakhruddin Ar Razi Rahimahullah dalam tafsir Mafatihul Ghaib:
بَيَّنَ مِنْ حَالِ الْكُفَّارِ أَنَّهُمْ يَتْرُكُونَ ذَلِكَ وَيَشْتَغِلُونَ بِغَيْرِه
Bahwa Allah Ta’ala sedang menceritakan keadaan orang-orang kafir, mereka meninggalkan Al Quran dan sibuk dengan selainnya. (Mafatihul Ghaib, 25/115)
Imam Ibnu Hazm telah menyanggah tafsiran bahwa lahwul hadits adalah lagu, dan sanggahan ini sangat masyhur dan sering diulang-ulang oleh kelompok yang membolehkan lagu dan musik. Bantahan ini sebenarnya telah diketahui dan sudah dikoreksi pula oleh para ulama yang mengharamkannya, tetapi nampaknya pandangan Imam Abu Muhammad Ibnu Hazm Rahimahullah sangat kokoh sehingga bantahan-bantahan untuknya masih bisa didiskusikan lagi.
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah menolak tafsiran Lahwul Hadits adalah nyanyian dan musik, dengan perkataannya –dan ini merupakan sanggahan yang sangat bagus darinya:
لَا حُجَّةَ فِي هَذَا كُلِّهِ لِوُجُوهٍ -: أَحَدُهَا: أَنَّهُ لَا حُجَّةَ لِأَحَدٍ دُونَ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -.
وَالثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ خَالَفَ غَيْرَهُمْ مِنْ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ.
وَالثَّالِثُ: أَنَّ نَصَّ الْآيَةِ يُبْطِلُ احْتِجَاجَهُمْ بِهَا؛ لِأَنَّ فِيهَا {وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ} [لقمان: 6] وَهَذِهِ صِفَةٌ مَنْ فَعَلَهَا كَانَ كَافِرًا، بِلَا خِلَافٍ، إذَا اتَّخَذَ سَبِيلَ اللَّهِ - تَعَالَى - هُزُوًا.
وَلَوْ أَنَّ امْرَأً اشْتَرَى مُصْحَفًا لِيُضِلَّ بِهِ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَيَتَّخِذُهَا هُزُوًا لَكَانَ كَافِرًا، فَهَذَا هُوَ الَّذِي ذَمَّ اللَّهُ - تَعَالَى -، وَمَا ذَمَّ قَطُّ - عَزَّ وَجَلَّ - مَنْ اشْتَرَى لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيَلْتَهِيَ بِهِ وَيُرَوِّحَ نَفْسَهُ، لَا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ - تَعَالَى -، فَبَطَلَ تَعَلُّقُهُمْ بِقَوْلِ كُلِّ مَنْ ذَكَرْنَا.
وَكَذَلِكَ مَنْ اشْتَغَلَ عَامِدًا عَنْ الصَّلَاةِ بِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ، أَوْ بِقِرَاءَةِ السُّنَنِ، أَوْ بِحَدِيثٍ يَتَحَدَّثُ بِهِ، أَوْ يَنْظُرُ فِي مَالِهِ، أَوْ بِغِنَاءٍ، أَوْ بِغَيْرِ ذَلِكَ، فَهُوَ فَاسِقٌ، عَاصٍ لِلَّهِ - تَعَالَى -، وَمَنْ لَمْ يُضَيِّعْ شَيْئًا مِنْ الْفَرَائِضِ اشْتِغَالًا بِمَا ذَكَرْنَا فَهُوَ مُحْسِنٌ.
Semua perkataan mereka tidak bisa dijadikan hujjah, karena beberapa alasan:
Pertama, Perkataan seseorang tidak bisa dijadikan hujjah kecuali perkataan Rasulullah.
Keduan, Para sahabat dan tabi’in sendiri berbeda pendapat tentang tafsir ayat tersebut.
Ketiga, nash ayat tersebut (Luqman ayat 6) justru membatalkan argumentasi mereka sendiri, karena dalam ayat tersebut berbunyi, “Dan diantara manusia ada orang yang menggunakan perkataan yang tidak berguna (lahwul hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan, “ ini menunjukkan bahwa yang melakukan perbuatan ini adalah kafir, jika menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan, hal ini tanpa perselisihan lagi adalah kekafiran. Seandainya ada seseorang membeli mushaf Al Quran dengan tujuan menyesatkan manusia dari jalan Allah dan mengolok-oloknya, maka orang tersebut kafir.“ Inilah yang dicela Allah.
Allah Ta’ala tidak pernah mencela sedikitpun terhadap orang yang menggunakan perkataan sia-sia untuk tujuan sekedar hiburan atau menenangkan diri, bukan bertujuan menyesatkan manusia dari jalan Allah. Maka terbantahlah argumen mereka dengan ucapan mereka sendiri seperti yang telah kami sampaikan.
Demikian pula jika seseorang yang sengaja membaca Al Quran atau hadits, atau obrolan, atau lagu, atau lainnya, sehingga melalaikan shalat, itu termasuk kefasikan dan durhaka kepada Allah. Tetapi siapa yang tidak melalaikan atau meninggalkan kewajiban sebagaimana yang kami katakan, maka itu tetap kebaikan.” (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 7/567)
Hujjatul Islam, Imam Al Ghazali Rahimahullah juga ikut memberikan sanggahan, katanya:
وأما شراء لهو الحديث بالدين استبدالاً به ليضل به عن سبيل الله فهو حرام مذموم وليس النزاع فيه وليس كل غناء بدلاً عن الدين مشترى به ومضلاً عن سبيل الله تعالى وهو المراد في الآية ولو قرأ القرآن ليضل به عن سبيل الله لكان حراماً
حكى عن بعض المنافقين أنه كان يؤم الناس ولا يقرأ إلا سورة عبس لما فيها من العتاب مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فهم عمر بقتله ورأى فعله حراما لما فيه من الإضلال فالإضلال بالشعر والغناء أولى بالتحريم
“Adapun makna ‘menggunakan perkataan tak berguna‘ untuk agama, artinya merubah hukum agama dan menyesatkan manusia dari jalan Allah, jelas hukumnya haram dan tercela, tak ada perselisihan tentang itu. Tidak semua nyanyian mengganti agama dan menyesatkan dari jalan Allah, inilah yang dimaksud ayat tersebut. Seandainya membaca Al Quran untuk menyesatkan dari jalan Allah, maka jelas haram.”
Hal ini diperkuat tentang perilaku sebagian orang munafik ketika menjadi Imam Shalat secara sengaja selalu membaca surat ‘Abasa karena didalamnya terdapat celaan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka Umar Radhiallahu ‘Anhu hendak membunuhnya (si munafik itu, pen), karena menilai perbuatan mereka itu haram dan menyesatkan. Apalagi jika menyesatkannya dengan menggunakan syair dan lagu, itu lebih utama diharamkan. (Imam Al Ghazali, Ihya Ulumuddin, 2/284-285)
Kesimpulannya, menurut para ulama ini, ayat ini tidak bisa dijadikan hujjah pengharaman musik dan lagu yang baik-baik, dan sekedar untuk mengistirahatkan jiwa, sebab ayat ini menunjukkan tujuan yang tercela yaitu menyesatkan manusia dari jalan Allah Ta’ala, yang biasanya dilakukan oleh orang kafir, fasiq, dan musuh-musuh agama. Sedangkan orang yang mendengarkan hiburan sekedarnya saja, tidaklah seperti itu tujuannya. Sebagaimana dikatakan Imam Ibnu ‘Abidin Rahimahullah, bahwa halal dan haramnya musik tergantung maksud dan tujuan orangnya.
Imam Ibnu ‘Abidin Rahimahullah menjelaskan:
آلة اللهو ليست محرمة لعينها بل لقصد اللهو منها، إما من سامعها أو من المشتغل بها، ألا ترى أن ضرب تلك الآلة حل تارة وحرم أخرى باختلاف النية؟ والأمور بمقاصدها.
“Alat-alat permainan itu bukanlah haram semata-mata permainannya, tetapi jika karenanya terjadi kelalaian baik bagi pendengar atau orang yang memainkannya, bukankah anda sendiri menyaksikan bahwa memukul alat-alat tersebut kadang dihalalkan dan kadang diharamkan pada keadaan lain karena perbedaan niatnya? Sesungguhnya menilai perkara-perkara itu tergantung maksud-maksudnya.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 38/169)
Keenam. Ayat-ayat Al Quran yang secara umum menceritakan tentang keindahan, keserasian, dan keteraturan penciptaanNya.
Kelompok ini juga berhujjah dengan ayat-ayat Al Quran yang menceritakan ciptaan Allah Ta’ala yang rapi, seimbang, dan penuh keindahan serta sedap dipandang mata. Serasi bentuk, ukuran, dan warna. Semua ini menunjukkan bahwa keindahan, baik itu alamiah atau buatan (seperti musik), adalah termasuk koridor ini, sebagai sesuatu yang memang bisa dinikmati sebagai objek tafakur dan menghibur diri semata.
Di antaranya adalah ayat-ayat berikut:
الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَى مِنْ فُطُورٍ
”Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Lihatlah sekali lagi, apakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?” (QS. Al Mulk: 3)
Ayat lain:
وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا
Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al Furqan: 2)
Ayat lain:
ولَقَدْ جَعَلْنا فِي السَّماءِ بُرُوجاً وَ زَيَّنَّاها لِلنَّاظِرينَ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang di langit dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandang(nya). (QS. Al Hijr: 16)
Ayat lain:
وَ الْأَرْضَ مَدَدْناها وَ أَلْقَيْنا فيها رَواسِيَ وَ أَنْبَتْنا فيها مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْزُونٍ
“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung, serta Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. Al Hijr: 19)
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang sejenis.
Bagi kelompok yang membolehkan, sesungguhnya keserasian, keseimbangan, dan keindahan yang Allah Ta’ala ciptakan pada alam ini, baik pada bentuk, ukuran, warna, suara, yang Allah Ta’ala ciptakan pada gunung, bukit, sawah, gurun, kebun, sungai, lautan, hewan, gemericikan air, kicauan burung di pagi hari, adalah hal yang diberikanNya untuk manusia. Tak beda antara yang alami atau buatan, sebab prinsipnya sama, sama-sama keindahan. Ada pun jika sudah sampai melalaikan dari mengingatNya, maka masing-masing pribadi berbeda keadaannya. Pada kenyataannya, justru ada yang setelah tafakur semakin shalih dan bertobat dari kesalahan setelah merenungi kebesaranNya melalui keindahan ciptaanNya.
Oleh karena itu Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan:
وَمَنْ نَوَى بِهِ تَرْوِيحَ نَفْسِهِ لِيَقْوَى بِذَلِكَ عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ - عَزَّ وَجَلَّ - وَيُنَشِّطَ نَفْسَهُ بِذَلِكَ عَلَى الْبِرِّ فَهُوَ مُطِيعٌ مُحْسِنٌ، وَفِعْلُهُ هَذَا مِنْ الْحَقِّ، وَمَنْ لَمْ يَنْوِ طَاعَةً وَلَا مَعْصِيَةً، فَهُوَ لَغْوٌ مَعْفُوٌّ عَنْهُ كَخُرُوجِ الْإِنْسَانِ إلَى بُسْتَانِهِ مُتَنَزِّهًا، وَقُعُودِهِ عَلَى بَابِ دَارِهِ مُتَفَرِّجًا وَصِبَاغِهِ ثَوْبَهُ لَازَوَرْدِيًّا أَوْ أَخْضَرَ أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ
Dan, barang siapa dengan hiburan bertujuan untuk mengistirahatkan jiwa dalam rangka melahirkan kekuatan untuk ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, yang dengan itu dirinya bisa giat dalam kebaikan, maka dia termasuk orang taat dan baik. Perbuatan ini termasuk kebenaran. Jika dia tidak memaksudkannya sebagai ketaatan, tidak pula untuk maksiat, maka itu adalah kelalaian yang dimaafkan seperti seseorang yang keluar rumahnya menuju kebunnya sekedar untuk piknik, duduknya seseorang di depan pintu rumahnya untuk santai-santai, seseorang yang mencelup pakaiannya bukan dengan lapisan besi atau dengan hijau atau selain itu. (Al Muhalla, 7/567)
Demikianlah dalil-dalil global dari Al Quran tentang kebolehan musik. Bagi mereka dalil-dalil keharaman musik dari Al Quran tidak satu pun yang jelas dan tegas, hanya berdasarkan tafsir semata, itu pun masih dilemahkan lagi oleh fakta bahwa masing-masing ahli tafsir juga berbeda pendapat yang cukup banyak. Sedangkan dalam masalah “pengharaman” tidak boleh berdasarkan pijakan yang abu-abu dan tidak konsisten, melainkan harus tegas dan jelas.
Dari As Sunnah
Hadits pertama:
وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ: حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنَا عَطِيَّةُ بْنُ قَيْسٍ الكِلاَبِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ غَنْمٍ الأَشْعَرِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو عَامِرٍ أَوْ أَبُو مَالِكٍ الْأَشْعَرِيُّ، وَاللَّهِ مَا كَذَبَنِي: سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ، يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ وَالحَرِيرَ، وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ
Berkata Hisyam bin ‘Ammar, berkata kepada kami Shadaqah bin Khalid, berkata kepada kami Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, berkata kepada kami ‘Athiyah bin Qais Al Kilabi, berkata kepada kami Abdurrahman bin Ghanam Al Asy’ari, dia berkata: berkata kepadaku ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari, Demi Allah tidaklah dia membohongi aku: dia mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Di antara umatku akan ada suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr (minuman keras), dan alat-alat musik. (HR. Bukhari No. 5590)
Menurut pihak yang membolehkan, hadits ini tidak bisa dijadikan dalil haramnya musik di tiga sisi.
Pertama. Pada keshahihannya. Mereka mengira hadits ini munqathi’ (terputus) sanadnya, sehingga dia dhaif. Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ibnu Hazm, dan orang-orang yang sepakat dengannya seperti Syaikh Al Qaradhawi.
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan:
وَهَذَا مُنْقَطِعٌ لَمْ يَتَّصِلْ مَا بَيْنَ الْبُخَارِيِّ وَصَدَقَةَ بْنِ خَالِدٍ - وَلَا يَصِحُّ فِي هَذَا الْبَابِ شَيْءٌ أَبَدًا، وَكُلُّ مَا فِيهِ فَمَوْضُوعٌ، وَوَاللَّهِ لَوْ أُسْنِدَ جَمِيعُهُ أَوْ وَاحِدٌ مِنْهُ فَأَكْثَرَ مِنْ طَرِيقِ الثِّقَاتِ إلَى رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَمَا تَرَدَّدْنَا فِي الْأَخْذِ بِهِ.
Hadits ini munqathi’, tidak bersambung antara Al Bukhari dan Shadaqah bin Khalid, dalam masalah ini selamanya tidak ada satu pun yang shahih. Semua riwayat tentang ini palsu. Demi Allah, seandainya semuanya atau satu saja riwayat ini disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari jalan orang-orang terpercaya maka kami tidak akan menolaknya untuk mengambilnya sebagai dalil. (Al Muhalla, 7/565)
Ditambah lagi, bagi mereka Hisyam bin ‘Ammar adalah perawi yang kontroversi. Imam Abu Daud menyatakan bahwa Beliau meriwayatkan 400 hadits yang tidak ada dasarnya. Imam Abu Hatim mengatakan: jujur tapi dia mengalami perubahan hapalan. Sementara Imam Yahya bin Ma’in menyatakan tsiqah (terpercaya) dan cerdas, Imam An Nasa’i mengatakan ‘tidak apa-apa’. Imam Adz Dzahabi mengatakan: jujur dan memiliki riwayat yang diingkari. Ad Daruquthni mengatakan: jujur dan besar kedudukannya. (Mizanul I’tidal, 4/302)
Dan, pendhaifan Imam Ibnu Hazm terhadap hadits ini telah dikritik oleh ulama lainnya seperti Imam Ibnul Qayyim, Imam Ibnu Hajar, dan sebagainya, yang telah menguatkan kepastian hadits ini dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan berbagai hujjah, sebagaimana sudah kami sampaikan dalam pembahasan terdahulu. Silahkan kembali merujuk.
Kedua. Kalau pun hadits ini shahih, hadits ini tidak sharih (lugas) mengharamkan. Hadits ini menyebut “segolongan kaum umatku akan menghalalkan Al Hirru” yaitu kemaluan. Padahal kemaluan ada yang dihalalkan yaitu pada jalur pernikahan, baik zaman dulu dan sekarang. Tidak semua kemaluan diharamkan.
Hadits ini juga menyebut Al Hariiru yaitu sutera. Padahal sutera bagi kaum wanita boleh, dan bagi orang yang sedang dalam penyakit kulit juga diberikan keringanan, baik zaman dulu dan sekarang. Tidak semua sutera terlarang.
Oleh karena itu, penyebutan pengharaman Al Ma’azif (alat-alat musik), mesti dimaknai seperti itu yaitu alat-alat musik dalam konteks maksiat, seperti yang terjadi pada diskotik, atau dilakukan oleh para pemabuk secara berbarengan. Tidak semua alat-alat musik.
Ketiga. Pihak yang mengharamkan memaknai bahwa keharaman Al Ma’azif begitu berat, sebab digandengkan dengan huruf wau athaf dengan perkara lain yang pasti haramnya. Sehingga keharamannya setara dengan khamr, zina, dan sutera.
Hal ini dikoreksi pihak yang membolehkan, bahwa digandengkanya Al Ma’azif dengan zina, khamr, dan sutera, itu menunjukkan keharamannya jika dimainkan dicampur atau dibarengi dengan perkara-perkara haram. Tetapi jika bersih dari itu semua tidak apa-apa. Sebab, jika memang Al Ma’azif itu haram, kenapa menjadi halal ketika pernikahan dan hari raya? Apakah haram bisa menjadi halal dengan mudahnya hanya karena beda momennya? Lalu, kenapa cuma Al Ma’azif saja yang menjadi halal ketika pernikahan dan hari raya, sedangkan zina, khamr, tetap haram walau di hari raya? Kalau memang hal-hal itu setara, seharusnya bukan cuma Al Ma’azif tapi yang lain juga berubah menjadi boleh saat pernikahan dan hari raya karena kesetaraannya dalam penyebutan di haditsnya.
Hadits kedua:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ اللهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ، وَأَمَرَنِي رَبِّي بِمَحْقِ الْمَعَازِفِ وَالْمَزَامِيرِ وَالْأَوْثَانِ وَالصُّلُبِ، وَأَمْرِ الْجَاهِلِيَّة ...
Dari Abu Umamah, dia berkata: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Sesungguhnya Allah mengutusku sebagai rahmat dan petunjuk bagi semesta alam, Rabbku telah memerintahkan aku untuk membinasakan alat-alat musik, seruling, berhala, salib dan perkara jahiliyah ... (HR. Ahmad No. 22307, Ath Thayalisi No. 1230, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 7803, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 6108)
Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa alat-alat musik hendak dihancurkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, itu menunjukkan kebenciannya terhadapnya serta keharaman hukum atasnya.
Namun, hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah, sebab dhaif jiddan (sangat lemah – invalid text), sebagaimana dikatakan Syaikh Syu’aib Al Arnauth, lantaran ada dua perawi yang dhaif yaitu Faraj bin Fadhalah dan ‘Ali bin Yazid. (Ta’liq Musnad Ahmad, 36/646). Didhaifkan pula oleh Imam Abu Thayyib Syamsul Azhim. (‘Aunul Ma’bud, 13/185). Didhaifkan pula oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. (Misykah Al Mashabih, No. 3654).
Hadits ketiga:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فِي هَذِهِ الأُمَّةِ خَسْفٌ وَمَسْخٌ وَقَذْفٌ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَتَى ذَاكَ؟ قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ القَيْنَاتُ وَالمَعَازِفُ وَشُرِبَتِ الخُمُورُ.
Dari ‘Imran bin Hushain, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Akan datang pada umat mereka ditenggelamkan, rupa mereka berubah, dan dilempari batu.” Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, kapan hal itu terjadi?” Beliau bersabda: “Ketika nampak penyanyi wanita, musik-musik, dan diminumnya khamr.” (HR. At Tirmidzi No. 2212, katanya: hadits ini gharib. Ar Ruyani dalam Musnadnya No. 132, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 5810. Lafaz ini milik At Tirmidzi. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 5467. Dihasankan oleh Imam Al Munawi dalam At Taisir, 2/179)
Bagi pihak yang membolehkan, kalaupun hadits ini shahih, hadits ini tidak sharih-tegas dalam mengharamkan musik. Hadits ini hanyalah menceritakan fase buruk umat Islam di akhir zaman, ketika mereka sudah tenggelam dalam dunia, yaitu hiburan, musik, dan minuman keras. Tak berarti musik itu sendiri adalah haram. Ini menunjukkan sikap melampaui batas umat Islam pada saat itu, mereka sibuk dengan perkara-perkara ini, dan berpaling dari ajaran Rasulullah sehingga Allah Ta’ala membuat mereka terbenam, berubah, dan dilemparkan batu, sebagaimana kaum Tsamud dahulu yang terekam dalam ayat: (Kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas. (QS. Asy Syams: 11)
Hadits keempat:
عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: " لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ , يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا , وَتُضْرَبُ عَلَى رُءُوسِهِمُ الْمَعَازِفُ , يَخْسِفُ اللهُ بِهُمُ الْأَرْضَ , وَيَجْعَلُ مِنْهُمْ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ "
Dari Abi Malik Al Asy’ari, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda:
“Manusia di antara umatku akan benar-benar minum khamr, mereka menamakannya dengan bukan namanya, dipukulkan di hadapan mereka alat-alat musik, Allah membenamkan mereka di bumi, dan menjadikan sebagian mereka sebagai kera dan babi.” (HR. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 17383 dan 20989, dengan tambahan: mughanniyat (biduanita), Ibnu Majah No. 4020, Ath Thabarani, Al Kabir No. 3419. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Ghayatul Maram No. 402)
Hadits ini jika shahih, juga bukan hujjah untuk mengharamkan musik sekedar menghibur diri saja, dan redaksi hadits ini menunjukkan hal itu. Musik yang tercela adalah jika dibarengi dengan perkara yang diharamkan yaitu khamr (minuman keras), ini jelas disebutkan dalam hadits ini masa di mana umat ini akan mabuk-mabukan sambil memainkan musik. Jelas sekali berbeda dengan musik-musik, atau tetabuhan, yang dipakai oleh para prajurit, pekerja, musafir, dalam menyemangati aktifitas mereka, sama sekali tidak ada unsur maksiat di dalamnya.
Hadits kelima:
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيَّ، أَوْ حُرِّمَ الْخَمْرُ، وَالْمَيْسِرُ، وَالْكُوبَةُ
Sesungguhnya Allah haramkan atasku, atau diharamkan khamr, judi, dan Al Kubah. (HR. Abu Daud No. 3696.. Abu Ya’la No. 2729, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 20991. Dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban. (Tuhfatul Muhtaj Ila Adillatil Minhaj No. 1792), Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 2425. Syaikh Syu’aib Al Arnauth (Ta’liq Musnad Ahmad, 4/280). Syaikh Husein Salim Asad dalam Musnad Abu Ya’la mengatakan: para perawinya terpercaya).
Imam Abu Daud berkata: Sufyan bertanya kepada Ali bin Badzimah tentang Al Kubah, dia menjawab: Ath Thabl – drum/gendang. (Sunan Abi Daud No. 3639). Sementara Imam Ibnu Abi Syaibah mengatakan Al Kubah adalah Al ‘Uud- kecapi. (Al Mushannaf No. 24080). Imam Ibnul Atsir mengatakan: Al Kubah adalah Ath Thablush Shaghir – gendang kecil. (Jami’ul Ushul, 5/97). Imam Ahmad bertanya kepada Yahya bin Ishaq, apa itu Al Kubah? Beliau menjawab: Thabl – drum. (Al Badrul Munir, 9/649). Imam Muhammad bin Katsir mengatakan, Al Kubah adalah dadu menurut bahasa penduduk Yaman. (Imam Abu ‘Ubaid, Gharibul Hadits, 4/278)
Hadits keenam:
Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمِ الْخَمْرَ، وَالْمَيْسِرَ، وَالْكُوبَةَ
Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian khamr, judi, dan Al Kubah. (HR. Ahmad No. 2625, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, 4/381. Al Baihaqi dalam Al Adab No. 628)
Hadits ketujuh:
Dari Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَالْكُوبَةِ وَالْغُبَيْرَاءِ
Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang khamr, Al Kubah, dan Al Ghubaira.
(HR. Abu Daud No. 3685. Abu Daud mengatakan bahwa menurut Imam Abu ‘Ubaid, Al Ghubaira adalah minuman keras yang terbuat dari perasan Jagung. Didalam sanadnya terdapat Al Walid bin ‘Abdah, Imam Al Mundziri mengatakan: Walid bin ‘Abdah menurut Imam Abu Hatim adalah: majhul (tidak dikenal). Ibnu Yunus mengatakan dalam Tarikh Al Mishriyin bahwa Walid bin ‘Abdah adalah pelayannya Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash, Yazid bin Habib meriwaytkan hadits darinya, dan hadits ini ma’lul – memiliki cacat. Lihat Mukhtashar, 5/268-269. Namun dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 1708)
Hadits kelima, keenam, dan ketujuh semuanya sama, bahwa Allah Ta’ala mengharamkan minuman keras, judi, air perasan jagung yang memabukkan (Al Ghubaira), dan gendang (Al Kubah).
Bagi pihak yang membolehkan, keharaman yang disebutkan dalam hadits ini jika musik dimainkan bersamaan dengan hal-hal yang diharamkan tersebut, seperti di tempat-tempat berkumpulnya ahli maksiat; bar dan diskotik. Sebab, jika alat musik pukul seperti gendang (ath thabl) diharamkan secara sendiri, maka kita akan bertemu fakta lain pada hadits lainnya kebolehan memukul alat musik pukul lainnya seperti ad duf (rebana) diwaktu pernikahan, hari raya, dan hari bahagia. Sedangkan khamr dan judi haram dalam keadaan apa pun, berbeda dengan alat musik pukul. Maka, kita mesti memahaminya bahwa itu diharamkan jika dimainkan bersamaan dengan hal-hal yang diharamkan, bukan musik itu sendiri.
Hadits kedelapan:
Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda:
صوتان ملعونان في الدنيا والآخرة مزمار عند نعمة ورنة عند مصيبة
“Ada dua suara yang dilaknat di dunia dan akhirat; suara seruling ketika mendapatkan kenikmatan dan raungan ketika musibah.” (HR. Al Bazzar No. 7513, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 40661, 40673. Syaikh Al Albani menghasankan. Lihat Shahih At Targhib wat Tarhib No. 3527. Imam Al Haitsami mengatakan: para perawinya terpercaya. Lihat Majma’uz Zawaid, 3/13. Dihasankan pula oleh Syaikh Abdul Malik bin Abdullah Duhaisy dalam tahqiqnya terhadap kitab Al Ahadits Al Mukhtarah-nya Imam Dhiya’uddin Al Maqdisi No. 2200. Sementara Imam Al Munawi mengatakan: isnadnya shahih. Lihat At Taisir bi Syarhil Jami’ Ash Shaghir, 2/95)
Pihak yang membolehkan mengatakan, bahwa mafhum mukhalafah (makna implisit) pada hadits ini adalah jika seruling itu terlaknat ketika dalam keadaan nikmat, maka seruling boleh dimainkan diluar keadaan memperoleh nikmat. Jika meraung dilarang dalam keadaan musibah, maka meraung (berteriak) dibolehkan selain dalam keadaan musibah. Imam Al Munawi mengatakan:
قَالَ القشيرى مَفْهُومه الْحل فِي غير هَاتين الْحَالَتَيْنِ
Berkata Al Qusyairi: makna implisitnya adalah bahwa hal ini halal diluar dua keadaan ini. (At Taisir bi Syarhil Jami’ Ash Shaghir, 2/95)
Pemahaman Al Qusyairi ini sudah dikoreksi oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Al Qurthubi sebagaimana penjelasan terdahulu. (Lihat keterangan hadits kedelapan pada pembahasan dalil As Sunnah pihak yang mengharamkan)
Lalu, pihak yang membolehkan juga mengatakan bahwa hadits ini dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy Syaukani Rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini. Berikut ini keterangannya:
وَقَدْ أَجَابَ الْمُجَوِّزُونَ عَنْهَا بِأَنَّهُ قَدْ ضَعَّفَهَا جَمَاعَةٌ مِنْ الظَّاهِرِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَالشَّافِعِيَّةِ، وَقَدْ تَقَدَّمَ مَا قَالَهُ ابْنُ حَزْمٍ وَوَافَقَهُ عَلَى ذَلِكَ أَبُو بَكْرِ بْنُ الْعَرَبِيِّ فِي كِتَابِهِ الْأَحْكَامُ وَقَالَ: لَمْ يَصِحَّ فِي التَّحْرِيمِ شَيْءٌ، وَكَذَلِكَ قَالَ الْغَزَالِيُّ وَابْنُ النَّحْوِيِّ فِي الْعُمْدَةِ، وَهَكَذَا قَالَ ابْنُ طَاهِرٍ: إنَّهُ لَمْ يَصِحَّ مِنْهَا حَرْفٌ وَاحِد
Pihak yang membolehkan telah memberikan jawaban terhadap berbagai riwayat ini, bahwasanya itu telah didhaifkan oleh segolongan ulama dari kalangan Zhahiriyah, Malikiyah, Hanabilah, dan Syafi’iyah, telah disampaikan sebelumnya komentar Imam Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya seperti Imam Abu Bakar bin Al ‘Arabi, di dalam kitabnya Al Ahkam, katanya: “Tidak ada yang shahih sedikitpun dalam pengharamannya.” Demikian juga perkataan Al Ghazali dan Ibnu Nahwi dalam Al ‘Umdah. Demikian juga yang dikatakan Ibnu Thahir: “Tidak ada yang shahih satu huruf pun tentang pengharaman (nyanyian dan musik).” (Nailul Authar, 8/117)
Hadits kesembilan:
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ
Lonceng adalah seruling-seruling syetan. (HR. Muslim No. 2114, Abu Daud No. 2556, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 8761)
Menurut pihak yang membolehkan, hadits ini juga tidak bisa dijadikan hujjah karena beberapa hal:
Pertama. Lonceng bukanlah alat hiburan dan bukan alat musik, lebih tepat dia adalah alat komunikasi yang biasa dipakai oleh kaum Nasrani pada gereja-gereja mereka. Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang menggunakan lonceng untuk memanggil orang shalat berjamaah, sebab itu menyerupai orang Nasrani. Dilarang pula menggantungkan lonceng dalam perjalanan.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الْعِيرَ الَّتِي فِيهَا الْجَرَسُ لَا تَصْحَبُهَا الْمَلَائِكَةُ
Malaikat tidaklah menyertai qafilah yang di dalamnya terdapat lonceng. (HR. Ahmad No. 26770. Ad Darimi No. 2717. An Nasa’i, As Sunan Al Kubra No. 8760, dll. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih lighairih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 44/355)
Maka, menurut kelompok ini, kenyataan bahwa lonceng bukan alat musik, tidak pas menjadikan hadits ini sebagai larangan musik.
Kedua. Sebutan bahwa itu adalah seruling syetan tidak selalu membawa konsekuensi haram, sebab Ad Duf (rebana) yang dimainkan oleh dua gadis di rumah nabi pada saat hari raya, oleh Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu juga disebut seruling syetan, tetapi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membolehkannya saat itu.
Sedangkan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, memakruhkan suara lonceng. (Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, No. 32594).
Ketiga. Kalaulah lonceng ini haram, maka itu terbatas pada lonceng saja, sebab hadits-haditsnya khusus dan terbatas. Para ulama pun tidak memasukkan bel sekolah, alarm jam, dering telepon termasuk di dalam makna “lonceng”.
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah mengatakan:
وقد أحدثت في هذا العصر أجراس متنوعة لأغراض مختلفة نافعة، كجرس ساعة المنبه الذي يوقظ من النوم، وجرس الهاتف "التليفون"، وجرس دوائر الحكومة، والدور، ونحو ذلك، فهل يدخل هذا في الأحاديث المذكورة وما في معناها؟ وجوابي: لا، وذلك لأنه لا يشبه الناقوس لا في صوته ولا في صورته. والله أعلم.
Pada zaman ini telah ada berbagai suara buatan dengan beragam tujuan. Ada suara alarm jam untuk membangunkan dari tidur, suara dering panggilan telepon, suara bel yang ada di kantor-kantor pemerintah, asrama, atau lainnya. Apakah suara-suara buatan tersebut termasuk dalam hadits-hadits larangan di atas dan hadits-hadits lain yang semakna? Jawabanku, tidak termasuk, karena suara-suara buatan tersebut tidak menyerupai suara lonceng baik dari sisi suara ataupun bentuk. Wallahu A’lam (Jilbab Mar’ah Muslimah, Hal. 169)
Hadits kesepuluh:
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا جَارِيَتَانِ فِي أَيَّامِ مِنَى تُدَفِّفَانِ، وَتَضْرِبَانِ، وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَغَشٍّ بِثَوْبِهِ، فَانْتَهَرَهُمَا أَبُو بَكْرٍ، فَكَشَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ وَجْهِهِ، فَقَالَ: «دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ، فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ، وَتِلْكَ
Bahwasanya Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, masuk ke kamarnya dan saat itu ada dua jariyah (anak gadis) yang sedang memainkan rebana di hari Mina. Saat itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang menyelimuti dirinya dengan pakaiannya, lalu Abu Bakar mencelanya, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuka wajahnya dan bersabda: “Biarkan mereka berdua wahai Abu Bakar, sesungguhnya ini adalah hari raya.” (HR. Bukhari No. 987, Muslim No. 892, lafaz ini milik Al Bukhari)
Hadits ini shahih, muttafaq ‘alaih, dan sharih (jelas) bahwa rebana itu boleh atas rekomendasi Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam di hari raya, bahkan hari lainnya.
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
أن ضرب دف العرب مباح في يوم السرور الظاهر وهو العيد والعرس والختان قوله في أيام منى يعني الثلاثة بعد يوم النحر وهي أيام التشريق ففيه أن هذه الأيام داخلة في أيام العيد
Bahwa memainkan rebana Arab adalah dibolehkan pada hari yang menyenangkan, zahirnya adalah pada hari raya, nikah, dan khitan. Ucapannya “di hari-hari Mina” maksudnya di tiga hari setelah hari penyembelihan, yaitu hari-hari tasyriq. Maka, hari-hari ini termasuk hari raya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/184)
Hadits kesebelas:
Dari Buraidah katanya:
خَرَجَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى، فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَإِلاَّ فَلاَ. فَجَعَلَتْ تَضْرِبُ، فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَأَلْقَتِ الدُّفَّ تَحْتَ اسْتِهَا، ثُمَّ قَعَدَتْ عَلَيْهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ، إِنِّي كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ، ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ، فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتِ الدُّفَّ.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukan peperangan, ketika sudah kembali datanglah kepadanya seorang budak wanita berkulit hitam, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, aku bernadzar jika engkau kembali dalam keadaan selamat aku akan memainkan rebana dan bernyanyi di hadapanmu.” Rasulullah bersabda: “Jika engkau sudah bernadzar maka pukullah rebana itu, jika tidak bernadzar maka tidak usah dipukul rebananya.” (HR. At Tirmdzi No. 3690, katanya: hasan shahih)
Bahkan dalam kisah hadits ini, gadis ini tetap memainkan rebananya ketika Abu Bakar, Utsman, dan Ali Radhiallahu ‘Anhum datang. Namun ketika Umar Radhiallahu ‘Anhu datang, maka gadis ini melempar rebananya karena ketakutan.
Jadi, dalam hadits ini banyak sekali pelajaran berharga. Di antaranya:
Pertama. Menjadi dalil yang kuat kebolehan Al Ma’azif, yakni Ad Duf (rebana). Sebab, jika seandainya itu perbuatan terlarang dan maksiat tentu nabi akan melarang gadis itu bernadzar dengan sesuatu yang terlarang dan maksiat. Justru nabi memerintahkannya untuk memukul rebana itu. Imam Asy Syaukani Rahimahullah menjelaskan:
وَأَمَّا الْمُجَوِّزُونَ فَيَسْتَدِلُّونَ بِهِ عَلَى مُطْلَقِ الْجَوَازِ لِمَا سَلَفَ. وَقَدْ دَلَّتْ الْأَدِلَّةُ عَلَى أَنَّهُ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ، فَالْإِذْنُ مِنْهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لَهَذِهِ الْمَرْأَةِ بِالضَّرْبِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ مَا فَعَلَتْهُ لَيْسَ بِمَعْصِيَة
Ada pun pihak yang membolehkan berdalil dengan hadits ini, bahwa musik dibolehkan secara mutlak sebagaimana pembahasan lalu. Bahwasanya berbagai dalil menyatakan tidak boleh bernadzar dalam hal maksiat kepada Allah, maka izin Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kepada wanita ini untuk memukul rebana menunjukkan bahwa apa yang dilakukannya bukanlah maksiat. (Nailul Authar, 8/199)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَإِنَّهُ لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اَللَّهِ
Sesungguhnya tidak boleh memenuhi nadzar dalam hal maksiat kepada Allah. (HR. Abu Daud No. 3313. Dishahihkan oleh Imam Ibnu Hajar, Imam Ibnu Abdil Hadi, Imam Ibnul Mulaqqin, dan lainnya)
Ada pun ucapan nabi, “jika tidak bernadzar maka tidak usah dipukul rebananya”, karena memang tidak ada tuntutan untuk memukulnya jika tidak bernadzar, ucapan ini bukan berarti rebana adalah haram.
Kedua. Bahkan rebana itu pun didengarkan pula oleh Abu Bakar, Utsman, dan Ali Radhiallahu ‘Anhum.
Ketiga. Peristiwa ini pun bukan terjadi pada saat hari raya, bukan pernikahan, bukan pula khitanan, ... oleh karenanya golongan ini menjadikannya sebagai dalil bolehnya musik pada waktu kapan pun secara mutlak sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy Syaukani.
Keempat. Hadits ini menjadi dalil bolehnya laki-laki mendengarkan wanita bernyanyi jika aman dari fitnah. Imam Ali Al Qari Rahimahullah mengatakan:
دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ سَمَاعَ صَوْتِ الْمَرْأَةِ بِالْغِنَاءِ مُبَاحٌ إِذَا خَلَا عَنِ الْفِتْنَةِ
Ini merupakan dalil bahwa mendengarkan suara wanita yang bernyanyi adalah mubah jika tidak ada fitnah. (Mirqah Al Mafatih, 9/3902)
Hadits kesepuluh dan kesebelas ini, dijadikan dalil oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah kebolehan musik dan nyanyian yang baik-baik, hanya saja Beliau menegaskan kehalalan musik bisa berubah jika diarahkan pada perkara-perkara yang tidak halal pula. Beliau berkata:
فإذا عرض له ما يخرجه عن دائرة الحلال كأن يهيج الشهوة أو يدعو إلى فسق أو ينبه إلى الشر أو اتخذ ملهاة عن الطاعات، كان غير حلال. فهو حلال في ذاته وإنما عرض ما يخرجه عن دائرة الحلال. وعلى هذا تحمل أحاديث النهي عنه.
Jika dia diarahkan untuk keluar dari lingkup kehalalan, seperti membangkitkan syahwat, atau ajakan kepada kefasikan, atau menumbuhkan kepada keburukan, atau menjadikannya lalai dari ketaatan, maka itu tidak halal.
Maka, musik halal secara dzatnya, dia hanyalah telarang jika diarahkan untuk keluar dari lingkup kehalalan. Untuk ini, banyak hadits-hadits bermakna demikian yang melarangnya. (Fiqhus Sunnah, 3/57)
Hadits Kedua belas:
Ar Rubayyi binti Mu’awidz Radhiallahu ‘Anha bercerita:
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عُرْسِي، فَقَعَدَ فِي مَوْضِعِ فِرَاشِي هَذَا، وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تَضْرِبَانِ بِالدُّفِّ، وَتَنْدُبَانِ آبَائِي الَّذِينَ قُتِلُوا يَوْمَ بَدْرٍ، فَقَالَتَا فِيمَا تَقُولَانِ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا يَكُونُ فِي الْيَوْمِ وَفِي غَدٍ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَمَّا هَذَا، فَلَا تَقُولَاهُ "
Pada hari pernikahanku Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang, dia duduk di permadaniku ini, aku memiliki dua jariyah (budak wanita remaja) yang sedang memainkan rebana, mereka menyanyikan lagu tentang ayah-ayah kami ketika terbunuh dalam perang Badar, maka mereka berkata: “Di tengah kita ada seorang nabi yang mengetahui apa yang terjadi hari ini dan esok.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Ucapan yang ini, janganlah kalian berdua ucapkan.” (HR. Ahmad No. 27021. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih sesuai syarat Imam Muslim. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, 44/570)
Kisah dalam hadits ini menjadi salah satu dalil kebolehan rebana di saat pernikahan. Bahkan hadits kesebelas dan keduabelas menjadi dasar sebagian mereka kebolehan mendengarkan wanita bernyanyi jika tidak mengandung fitnah.
Hadits ketiga belas:
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ
“Umumkanlah pernikahan ini dan lakukanlah di dalam masjid, dan pukul-lah rebana. “ (HR. At Tirmidzi No. 1089, katanya: hasan gharib. Ad Dailami No. 335)
Hadits ini menjadi salah satu dalil juga kebolehan rebana di pernikahan. Tapi telah terjadi perbedaan pendapat ulama tentang status hadits ini. Sebagian ulama mendhaifkannya, sebagian lain menshahihkannya.[2]
Hadits keempat belas:
Dari Nafi’, katanya:
سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ، مِزْمَارًا قَالَ: فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ عَلَى أُذُنَيْهِ، وَنَأَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَقَالَ لِي: يَا نَافِعُ هَلْ تَسْمَعُ شَيْئًا؟ قَالَ: فَقُلْتُ: لَا، قَالَ: فَرَفَعَ إِصْبَعَيْهِ مِنْ أُذُنَيْهِ، وَقَالَ: «كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمِعَ مِثْلَ هَذَا فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا»
Ibnu Umar mendengar suara seruling, lalu dia menutup kedua telinganya dengan jarinya, lalu dia menjauh dari jalan dan berkata kepadaku: “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suaranya?” Aku menjawab: “Tidak.” Lalu Ibnu Umar melepaskan jarinya dari kedua telinganya. Lalu Ibnu Umar berkata: Dulu aku bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia mendengar suara ini, dan dia melakukan seperti ini (maksudnya menutup telinga, pen).” (HR. Abu Daud No. 4924)
Hadits ini, dijadikan alasan oleh pihak yang mengharamkan, namun disanggah oleh pihak yang membolehkan pada dua sisi:
Pertama. Hadits ini dhaif, sebagaimana kata Imam Abu Daud sendiri bahwa hadits ini munkar. Imam Al Mundziri dalam Mukhtashar Lis Sunan juga menyetujui munkar-nya sanad hadits ini.[3]
Kedua. Justru hadits ini –jikalau shahih- menjadi dalil bagi pihak yang membolehkan. Imam Ibnu Qudamah mengatakan:
وَقَدْ احْتَجَّ قَوْمٌ بِهَذَا الْخَبَرِ عَلَى إبَاحَةِ الْمِزْمَارِ، وَقَالُوا: لَوْ كَانَ حَرَامًا لَمَنَعَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - ابْنَ عُمَرَ مِنْ سَمَاعِهِ، وَمَنَعَ ابْنُ عُمَرَ نَافِعًا مِنْ اسْتِمَاعِهِ
Segolongan kaum berdalil dengan kisah ini tentang kebolehan seruling. Menurut mereka, seandainya haram niscaya Nabi juga akan melarang Ibnu Umar mendengarkannya, dan Ibnu Umar juga akan melarang Nafi’ mendengarkannya. (Al Mughni, 10/154)
Sedangkan Imam Ibnu Qudamah sendiri mengoreksi alasan pihak yang membolehkan, menurutnya yang dilakukan oleh Nafi’ saat itu adalah mendengar tidak sengaja (As Samaa’) sebagaimana bunyi teksnya, bukan sengaja mendengarkan (Al Istimaa’), dan kedua hukum ini berbeda, As Samaa’ (mendengar tidak sengaja) dimaafkan dan yang Al Istimaa’ (sengaja mendengar) tidak boleh. (Ibid)
Dengan kata lain, menurut Imam Ibnu Qudamah, kisah ini menunjukkan keharamannya dan sikap Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma menunjukkan dia mengharamkannya.
Tetapi, kita mendapatkan dalam kisah yang lain bahwa Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu justru membolehkannya. Berikut ini kisahnya:
وَرَوَى صَاحِبُ الْعِقْدِ الْعَلَّامَةُ الْأَدِيبُ أَبُو عُمَرَ الْأَنْدَلُسِيُّ: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ دَخَلَ عَلَى ابْنِ جَعْفَرٍ فَوَجَدَ عِنْدَهُ جَارِيَةً فِي حِجْرِهَا عُودٌ ثُمَّ قَالَ لِابْنِ عُمَرَ: هَلْ تَرَى بِذَلِكَ بَأْسًا؟ قَالَ: لَا بَأْسَ بِهَذَا
Pengarang kitab Al ‘Iqdu, Al ‘Allamah Abu Umar Al Andalusi, meriwayatkan: “Bahwa Abdullah bin Umar masuk ke rumah Abdullah bin Ja’far. Dia dapati di rumahnya itu ada seorang jariyah yang dikamarnya terdapat ‘Uud (kecapi). Lalu Beliau bertanya kepada Ibnu Umar: “Apakah pendapatmu ini boleh-boleh saja?” Beliau menjawab: “Tidak apa-apa.” (Nailul Authar, 8/113)
VIII.Para Ulama Yang Membolehkan
Berikut ini beragam keterangan tentang para ulama, sejak masa sahabat dan tabi’in yang membolehkan musik. Kami kutip dari berbagai rujukan, yang saling melengkapi satu sama lain.
Hujjatul Islam, Imam Al Ghazali Rahimahullah [4] menceritakan:
ونقل أبو طالب المكي إباحة السماع من جماعة فقال سمع من الصحابة عبد الله بن جعفر وعبد الله بن الزبير والمغيرة بن شعبة ومعاوية وغيرهم وقال قد فعل ذلك كثير من السلف الصالح صحابي وتابعي بإحسان وقال لم يزل الحجازيون عندنا بمكة يسمعون السماع في أفضل أيام السنة وهى الايام المعدودات التي أمر الله عباده فيها بذكره كأيام التشريق ولم يزل أهل المدينة مواظبين كأهل مكة على السماع إلى زماننا هذا فأدركنا أبا مروان القاضي وله جوار يسمعن الناس التلحين قد أعدهن للصوفية قال وكان لعطاء جاريتان يلحنان فكان إخوانه يستمعون إليهما قال وقيل لأبي الحسن بن سالم كيف تنكر السماع وقد كان الجنيد وسرى السقطى وذو النون يستمعون فقال وكيف أنكر السماع وقد أجازه وسمعه من هو خير مني فقد كان عبد الله بن جعفر الطيار يسمع وإنما أنكر اللهو واللعب في السماع
Abu Thalib Al Makki menukil tentang kebolehan mendengarkan (nyanyian dan musik) dari segolongan manusia. Dia mengatakan, dari golongan sahabat adalah Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Az Zubeir, Al Mughirah bin Syu’bah, Mu’awiyah, dan lainnya. Dia juga mengatakan bahwa hal ini juga dilakukan oleh banyak salafush shalih, baik sahabat, dan yang mengikuti mereka dengan baik. Katanya: Orang-orang Hijaz –menurut kami Mekkah- senantiasa mendengarkannya di hari-hari yang memiliki keutamaan, yaitu hari-hari tertentu yang Allah Ta’ala perintahkan untuk ibadah dan berdzikir kepadaNya, seperti hari-hari tasyriq, penduduk Madinah –sebagaimana penduduk Mekkah- juga begitu semangat melakukannya hingga zaman kita sekarang. Saya jumpai Abu Marwan Al Qadhi memiliki tetangga yang suka mendengarkan manusia yang menggubah nyanyian dan menyiapkannya untuk para sufi. Dia juga berkata, dahulu ‘Atha memiliki dua jariyah yang suka menggubah nyanyian dan saudara-saudaranya mendengarkan mereka berdua. Dia juga berkata, bahwa ditanyakan kephiada Abul Hasan bin Salim, bagaimana engkau mengingkari As Samaa’ padahal dulu Al Junaid, Sari As Suqthi, dan Dzun Nuun juga mendengarkannya? Maka dia berkata: “Bagaimana aku mengingkarinya padahal orang yang lebih baik dariku telah membolehkan dan mendengarkannya? Sesungguhnya Abdullah bin Ja’far Ath Thayyar Radhiallahu ‘Anhuma telah mendengarkannya, yang aku ingkari adalah jika mendengarkannya untuk tujuan melalaikan dan permainan saja. (Ihya ‘Ulumddin, 2/269)
Khadimus Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah[5] menceritakan bahwa banyak para sahabat nabi dan tabi’in pernah mendengarkan nyanyian dan memainkan musik. Berikut ini keterangannya:
ما صح عن جماعة كثيرين من الصحابة والتابعين أنهم كانوا يسمعون الغناء والضرب على المعازف. فمن الصحابة: عبد الله بن الزبير، وعبد الله بن جعفر وغيرهما. ومن التابعين: عمر بن عبد العزيز، وشريح القاضي، وعبد العزيز بن مسلمة، مفتي المدينة وغيرهم.
Telah shahih dari segolongan banyak dari sahabat nabi dan tabi’in, bahwa mereka mendengarkan nyanyian dan memainkan musik. Di antara sahabat contohnya Abdulah bin Az Zubeir, Abdullah bin Ja’far, dan selain mereka berdua. Dari generasi tabi’in contohnya: Umar bin Abdul ‘Aziz, Syuraih Al Qadhi, Abdul ‘Aziz bin Maslamah mufti Madinah, dan selain mereka. (Fiqhus Sunnah, 3/57-58)
Mirip dengan yang disampaikan Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, berikut ini penjelasan Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah:[6]
وأباح مالك والظاهرية وجماعة من الصوفية السماع ولو مع العود واليراع. وهو رأي جماعة من الصحابة (ابن عمر، وعبد الله بن جعفر، وعبد الله بن الزبير، ومعاوية، وعمرو بن العاص وغيرهم) وجماعة من التابعين كسعيد بن المسيب.
Imam Malik, golongan zhahiriyah, dan segolongan sufi, membolehkan mendengarkan nyanyian walau pun dengan kecapi dan klarinet. Itu adalah pendapat segolongan sahabat nabi seperti Ibnu Umar, Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Az Zubeir, Mu’awiyah, Amr bin Al ‘Ash, dan selain mereka, dan segolongan tabi’in seperti Sa’id bin Al Musayyib. (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/2665)
Sementara Imam Abu Hanifah Radhiallahu ‘Anhu, dari pendapatnya mengisyaratkan bahwa Beliau tidak menganggap alat-alat musik adalah haram, hal itu bisa terlihat keterangan Imam Al Kisani berikut ini:
وَيَجُوزُ بَيْعُ آلَاتِ الْمَلَاهِي مِنْ الْبَرْبَطِ، وَالطَّبْلِ، وَالْمِزْمَارِ، وَالدُّفِّ، وَنَحْوِ ذَلِكَ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ
Dibolehkan menjual alat-alat musik seperti Al Barbath, gendang, seruling, rebana, dan lainnya, menurut Imam Abu Hanifah. (Bada’i Ash Shana’i, 5/144)
Para ahli bahasa menjelaskan Al Barbath adalah alat musik orang ‘ajam (non Arab), yang ter-Arabkan. (Abu Manshur Al Harawi Al Azhari, Tahdzibul Lughah, 14/42). Ada juga yang menyebut ‘Uud (kecapi), dan itu adalah bahasa Persia. (Abu Abdillah Al Balkhi Al Khawarizmi, Mafatih Al ‘Ulum, 1/260). Ada juga yang menyebut alat musik menyerupai kecapi, berasal dari Persia yang ter-Arabkan. (Ibnul Atsir, Nihayah fi Gharibil Hadits, 1/112)
Tentunya hanya benda-benda halal yang boleh diperjual belikan, maka ketika alat-alat musik dibolehkan diperjualbelikan oleh Imam Abu Hanifah, itu mengisyaratkan begitulah pendapat Imam Abu Hanifah. Wallahu A’lam
Hal ini dipertegas lagi dalam keterangan dalam Al Mausu’ah berikut ini:
وذهب بعض الفقهاء إلى إباحتها إذا لم يلابسها محرم، فيكون بيعها عند هؤلاء مباحا . والتفصيل في مصطلح (معازف) .ومذهب أبي حنيفة - خلافا لصاحبيه - أنه يصح بيع آلات اللهو كله
Sebagian ahli fiqih berpendapat, bolehnya menjual alat-alat musik bila tidak dicampuri dengan hal-hal yang haram, maka menjual hal tersebut bagi mereka mubah. Rinciannya terdapat dalam pembahasan Al Ma’azif. Imam Abu Hanifah berpendapat –berbeda dengan dua sahabatnya- bahwa sah memperjualbelikan alat-alat musik seluruhnya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 9/157)
Imam Abu Muhammad bin Hazm Rahimahullah juga menegaskan kebolehan jual beli alat-alat musik, katanya:
وبيع الشطرنج، والمزامير، والعيدان، والمعازف، والطنابير: حلال كله، ومن كسر شيئا من ذلك ضمنه
Menjual catur, seruling, alat pesta, alat musik, tamburin, semuanya halal, dan barang siapa yang menghancurkannya maka dia wajib mengganti rugi. (Al Muhalla, 7/599)
Lalu Imam Ibnu Hazm menjelaskan alasannya:
قال - تعالى -: {خلق لكم ما في الأرض جميعا} [البقرة: 29] ، وقال - تعالى -: {وأحل الله البيع} [البقرة: 275] ، وقال - تعالى -: {وقد فصل لكم ما حرم عليكم} [الأنعام: 119] ، ولم يأت نص بتحريم بيع شيء من ذلك، ورأى أبو حنيفة الضمان على من كسر شيئا من ذلك. واحتج المانعون بآثار لا تصح، أو يصح بعضها، ولا حجة لهم فيها
Allah Ta’ala berfirman: “Dia telah menciptakan apa-apa yang ada di bumi semuanya buat kalian” (QS. Al Baqarah: 29), firmanNya: “Allah telah halalkan jual beli” (QS. Al Baqarah: 275), firmanNya: “Dia telah menjelaskan untuk kalian apa-apa yang diharamkan atas kalian” (QS. Al An’am: 119), dan tidak ada satu pun nash yang mengharamkannya. Pendapat Abu Hanifah adalah wajib ganti rugi bagi yang menghancurkan alat-alat itu. Orang-orang yang melarang alat musik telah berhujjah dengan berbagai atsar yang tidak shahih, atau sebagiannya shahih, tetapi tidak bisa dijadikan hujjah (alasan). (Ibid)
Imam Asy Syaukani Rahimahullah [7] juga menceritakan dengan panjang lebar tentang siapa-siapa saja para imam kaum muslimin yang pernah mendengarkan dan membolehkannya, berikut penjelasannya:
وَقَدْ اُخْتُلِفَ فِي الْغِنَاءِ مَعَ آلَةٍ مِنْ آلَاتِ الْمَلَاهِي وَبِدُونِهَا. فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إلَى التَّحْرِيمِ مُسْتَدِلِّينَ بِمَا سَلَفَ. وَذَهَبَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ وَمَنْ وَافَقَهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ الظَّاهِرِ وَجَمَاعَةٍ مِنْ الصُّوفِيَّةِ إلَى التَّرْخِيصِ فِي السَّمَاعِ وَلَوْ مَعَ الْعُودِ وَالْيَرَاعِ. وَقَدْ حَكَى الْأُسْتَاذُ أَبُو مَنْصُورٍ الْبَغْدَادِيُّ الشَّافِعِيُّ فِي مُؤَلَّفِهِ فِي السَّمَاعِ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَعْفَرٍ كَانَ لَا يَرَى بِالْغِنَاءِ بَأْسًا وَيَصُوغُ الْأَلْحَانَ لِجَوَارِيهِ وَيَسْمَعُهَا مِنْهُنَّ عَلَى أَوْتَارِهِ، وَكَانَ ذَلِكَ فِي زَمَنِ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عَلِيٍّ وَحَكَى الْأُسْتَاذُ الْمَذْكُورُ مِثْلَ ذَلِكَ أَيْضًا عَنْ الْقَاضِي شُرَيْحٍ وَسَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ وَعَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ وَالزُّهْرِيِّ وَالشَّعْبِيِّ وَقَالَ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ فِي النِّهَايَةِ وَابْنُ أَبِي الدَّمِ: نَقَلَ الْإِثْبَاتَ مِنْ الْمُؤَرِّخِينَ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ كَانَ لَهُ جِوَارٍ عَوَّادَاتٍ، وَأَنَّ ابْنَ عُمَرَ دَخَلَ عَلَيْهِ وَإِلَى جَنْبِهِ عُودٌ فَقَالَ: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فَنَاوَلَهُ إيَّاهُ، فَتَأَمَّلَهُ ابْنُ عُمَرَ فَقَالَ: هَذَا مِيزَانٌ شَامِيٌّ، قَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ: يُوزَنُ بِهِ الْعُقُولُ
وَرَوَى الْحَافِظُ أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ حَزْمٍ فِي رِسَالَتِهِ فِي السَّمَاعِ بِسَنَدِهِ إلَى ابْنِ سِيرِينَ قَالَ: إنَّ رَجُلًا قَدِمَ الْمَدِينَةَ بِجَوَارٍ فَنَزَلَ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَفِيهِنَّ جَارِيَةٌ تَضْرِبُ، فَجَاءَ رَجُلٌ فَسَاوَمَهُ فَلَمْ يَهْوَ مِنْهُنَّ شَيْئًا، قَالَ: انْطَلِقْ إلَى رَجُلٍ هُوَ أَمْثَلُ لَكَ بَيْعًا مِنْ هَذَا؟ قَالَ مَنْ هُوَ؟ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ، فَعَرَضَهُنَّ عَلَيْهِ،فَأَمَرَ جَارِيَةً مِنْهُنَّ فَقَالَ لَهَا: خُذِي الْعُودَ، فَأَخَذَتْهُ فَغَنَّتْ فَبَايَعَهُ، ثُمَّ جَاءَ إلَى ابْنِ عُمَرَ إلَى آخِرِ الْقِصَّةِ وَرَوَى صَاحِبُ الْعِقْدِ الْعَلَّامَةُ الْأَدِيبُ أَبُو عُمَرَ الْأَنْدَلُسِيُّ: أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ دَخَلَ عَلَى ابْنِ جَعْفَرٍ فَوَجَدَ عِنْدَهُ جَارِيَةً فِي حِجْرِهَا عُودٌ ثُمَّ قَالَ لِابْنِ عُمَرَ: هَلْ تَرَى بِذَلِكَ بَأْسًا؟ قَالَ: لَا بَأْسَ بِهَذَا وَحَكَى الْمَاوَرْدِيُّ عَنْ مُعَاوِيَةَ وَعَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّهُمْ سَمِعَا الْعُودَ عِنْدَ ابْنِ جَعْفَرٍ وَرَوَى أَبُو الْفَرَجِ الْأَصْبَهَانِيُّ أَنَّ حَسَّانَ بْنَ ثَابِتٍ سَمِعَ مِنْ عَزَّةَ الْمَيْلَاءِ الْغِنَاءَ بِالْمِزْهَرِ بِشِعْرٍ مِنْ شِعْرِهِ. وَذَكَرَ أَبُو الْعَبَّاسِ الْمُبَرِّدُ نَحْوَ ذَلِكَ، وَالْمِزْهَرُ عِنْدَ أَهْلِ اللُّغَةِ: الْعُودُ وَذَكَرَ الْإِدْفَوِيُّ أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدَ الْعَزِيزِ كَانَ يَسْمَعُ مِنْ جَوَارِيهِ قَبْلَ الْخِلَافَةِ.
وَنَقَلَ ابْنُ السَّمْعَانِيِّ التَّرْخِيصَ عَنْ طَاوُسٍ وَنَقَلَهُ ابْنُ قُتَيْبَةَ وَصَاحِبُ الْإِمْتَاعِ عَنْ قَاضِي الْمَدِينَةِ سَعْدِ بْنِ إبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الزُّهْرِيِّ مِنْ التَّابِعِينَ. وَنَقَلَهُ أَبُو يَعْلَى الْخَلِيلِيُّ فِي الْإِرْشَادِ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ الْمَاجِشُونِ مُفْتِي الْمَدِينَةِ وَحَكَى الرُّويَانِيُّ عَنْ الْقَفَّالِ أَنَّ مَذْهَبَ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ إبَاحَةُ الْغِنَاءِ بِالْمَعَازِفِ. وَحَكَى الْأُسْتَاذُ أَبُو مَنْصُورٍ وَالْفُورَانِيُّ عَنْ مَالِكٍ جَوَازَ الْعُودِ. وَذَكَرَ أَبُو طَالِبٍ الْمَكِّيُّ فِي قُوتِ الْقُلُوبِ عَنْ شُعْبَةَ أَنَّهُ سَمِعَ طُنْبُورًا فِي بَيْتِ الْمِنْهَالِ بْنِ عَمْرٍو الْمُحَدِّثِ الْمَشْهُورِ. وَحَكَى أَبُو الْفَضْلِ بْنُ طَاهِرٍ فِي مُؤَلَّفِهِ فِي السَّمَاعِ أَنَّهُ لَا خِلَافَ بَيْنَ أَهْلِ الْمَدِينَةِ فِي إبَاحَةِ الْعُودِ.
قَالَ ابْنُ النَّحْوِيِّ فِي الْعُمْدَةِ: قَالَ ابْنُ طَاهِرٍ: هُوَ إجْمَاعُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ قَالَ ابْنُ طَاهِرٍ: وَإِلَيْهِ ذَهَبَتْ الظَّاهِرِيَّةُ قَاطِبَةً. قَالَ الْأُدْفُوِيُّ: لَمْ يَخْتَلِفْ النَّقَلَةُ فِي نِسْبَةِ الضَّرْبِ إلَى إبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ الْمُتَقَدِّمِ الذِّكْرِ، وَهُوَ مِمَّنْ أَخْرَجَ لَهُ الْجَمَاعَةُ كُلُّهُمْ. وَحَكَى الْمَاوَرْدِيُّ إبَاحَةَ الْعُودِ عَنْ بَعْضِ الشَّافِعِيَّةِ. وَحَكَاهُ أَبُو الْفَضْلِ بْنُ طَاهِرٍ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ الشِّيرَازِيِّ وَحَكَاهُ الْإِسْنَوِيُّ فِي الْمُهِمَّاتِ عَنْ الرُّويَانِيِّ وَالْمَاوَرْدِيِّ وَرَوَاهُ ابْنُ النَّحْوِيِّ عَنْ الْأُسْتَاذِ أَبِي مَنْصُورٍ وَحَكَاهُ ابْنُ الْمُلَقِّنِ فِي الْعُمْدَةِ عَنْ ابْنِ طَاهِرٍ وَحَكَاهُ الْأُدْفُوِيُّ عَنْ الشَّيْخِ عِزِّ الدِّينِ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ وَحَكَاهُ صَاحِبُ الْإِمْتَاعِ عَنْ أَبِي بَكْرِ بْنِ الْعَرَبِيِّ، وَجَزَمَ بِالْإِبَاحَةِ الْأُدْفُوِيُّ هَؤُلَاءِ جَمِيعًا قَالُوا بِتَحْلِيلِ السَّمَاعِ مَعَ آلَةٍ مِنْ الْآلَاتِ الْمَعْرُوفَةِ.
Telah diperselisihkan tentang nyanyian dengan alat musik dan tanpa alat musik. Mayoritas ulama mengharamkannya berdasarkan dalil yang telah lalu. Sedangkan penduduk Madinah, dan golongan yang sepakat dengan mereka dari kalangan ulama zhahiriyah, dan segolongan sufi, memberikan keringanan mendengarkannya walau memakai kecapi dan klarinet.
Al Ustadz Abu Manshur Al Baghdadi Asy Syafi’i menceritakan dalam karyanya, As Samaa’, bahwasanya Abdullah bin Ja’far memandang nyanyian tidak apa-apa, Beliau pernah menciptakan bait nyanyian untuk para tetangganya lalu diperdengarkan dari mereka dengan diiringi dawainya (semacam gitar). Hal itu terjadi pada masa Amirul Mu’minin Ali Radhiallahu ‘Anhu. Al Ustadz (Abu Manshur) juga menceritakan yang seperti ini juga berasal dari Al Qadhi Syuraih, Sa’id bin Al Musayyib, ‘Atha bin Abi Rabah, Az Zuhri, Asy Sya’bi.
Imam Al Haramain berkata dalam An Nihayah, juga Ibnu Abi Ad Dam: bahwa telah dinukil kepastian dari para sejarawan, bahwa Abdullah bin Az Zubeir Radhiallahu ‘Anhu dahulu memiliki tetangga para pemain kecapi. Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘Anhuma pernah masuk ke rumahnya dan di sisi Abdullah bin Az Zubeir terdapat ‘Uud (kecapi), lalu Ibnu Umar bertanya: “Apa ini wahai sahabat Nabi?” Ibnu Umar menghampirinya dan terus memperhatikan benda itu, dan bertanya: “Apakah ini timbangan negeri Syam?” Ibnu Az Zubeir menjawab: “Ini untuk menimbang akal.”
Al Hafizh[8] Abu Muhammad bin Hazm meriwayatkan dalam risalahnya tentang As Samaa’ dengan sanadnya, dari Ibnu Sirin, katanya: Ada seorang laki-laki datang ke Madinah bersama tetangganya, mereka berhenti di tempatnya Abdullah bin Umar, pada mereka terdapat jariyah yang sedang main rebana, lalu datang laki-laki yang menawarkannya dan dia sedikitpun tidak tertarik kepadanya. Beliau (Ibnu Umar) berkata: “Pergilah ke laki-laki yang bisa membeli dengan harga lebih dibanding seperti kepunyaanmu dan jual-lah.” Laki-laki itu bertanya: “Siapa dia?” Beliau menjawab: “Abdullah bin Ja’far. Lalu mereka membawanya kepadanya (Abdullah bin Ja’far), lalu salah satu jariyah itu diperintahkan: “Ambil-lah ‘Uud (kecapi).” Lalu dia mengambilnya lalu bernyanyi. Maka laki-laki itu menjualnya. Kemudian dia datang lagi ke Ibnu Umar sampai akhir kisah ini.
Pengarang kitab Al ‘Iqdu, Al ‘Allamah Abu Umar Al Andalusi, meriwayatkan: “Bahwa Abdullah bin Umar masuk ke rumah Abdullah bin Ja’far Radhiallahu ‘Anhuma. Dia dapati di rumahnya itu ada seorang jariyah yang dikamarnya terdapat ‘Uud (kecapi). Lalu Beliau bertanya kepada Ibnu Umar: “Apakah pendapatmu ini boleh-boleh saja?” Beliau menjawab: “Tidak apa-apa.”
Imam Al Mawardi menceritakan bahwa dahulu Mu’awiyah dan Amr bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma mendengarkan kecapi dari Ibnu Ja’far.
Abul Faraj Al Ashbahani meriwayatkan bahwa dahulu Hassan bin Tsabit Rahiallahu ‘Anhu mendengarkan dari ‘Azzah Al Maila nyanyian dengan menggunakan Al Miz-har (kecapi), dengan menggunakan syair yang dibuatnya. Abul ‘Abbas Al Mubarrad juga meriwayatkan yang seperti itu. Al Miz-har menurut ahli bahasa adalah Al ‘Uud (kecapi).
Al Udfuwi meriwayatkan bahwa dahulu Umar bin Abdul Aziz Radhiallahu ‘Anhu mendengarkan jariyahnya bermain kecapi, sebelum beliau menjadi khalifah.
Ibnu As Sam’ani menukil dari Thawus tentang adanya rukhshah (keringanan) mendengarkan musik (kecapi). Ibnu Qutaibah dan pengarang kitab Al Imta’ menukil hal itu juga dari seorang Qadhi kota Madinah, Sa’d bin Ibrahim bin Abdurrahman, seorang generasi dari tabi’in. Abu Ya’la Al Khalili dalam Al Irsyad juga menukil hal itu dari Abdul Aziz bin Abu Salamah Al Majisyun, mufti kota Madinah.
Ar Ruyani meriwayatkan dari Al Qaffal, bahwa madzhab-nya Imam Malik bin Anas membolehkan bernyanyi dengan menggunakan alat musik (Al Ma’azif).
Al Ustadz Abu Manshur Al Furani menceritakan bahwa Imam Malik membolehkan kecapi (Al ‘Uud).
Abu Thalib Al Makki menceritakan dalam Qutul Qulub dari Syu’bah, bahwa dia (Syu’bah) mendengarkan tamburin di rumah Al Minhal bin Al Amr seorang ahli hadits terkenal.
Abu Al Fadhl Ibnu Thahir menceritakan dalam karyanya, As Samaa’, bahwa tidak ada perbedaan pendapat bagi penduduk kota Madinah tentang kebolehan alat musik kecapi.[9]
Ibnu An Nahwi mengatakan dalam Al ‘Umdah: berkata Ibnu Thahir: itu adalah ijma’ penduduk kota Madinah (kebolehan alat musik kecapi, pen). Ibnu Thahir berkata: ini adalah madzhab golongan zhahiriyah seluruhnya.
Al Udfuwi meriwayatkan: bahwa tidak ada perbedaan pendapat tentang nukilan penisbatan kepada Ibrahim bin Sa’ad bahwa Beliau memukul rebana sebelum berdzikir.
Imam Al Mawardi menceritakan tentang kebolehan kecapi menurut sebagian Syafi’iyah. Abul Fadhl bin Thahir menceritakan dari Abu Ishaq Asy Syirazi, dan Al Isnawi menceritakan dalam Al Muhimmat dari Ar Ruyani dan Al Mawardi, dan Ibnu An Nahwi meriwayatkan dari Al Ustadz Abu Manshur, dan Ibnul Mulaqqin menceritakan dalam Al ‘Umdah dari Ibnu Thahir, dan Al Udfuwi menceritakan dari Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam, dan pengarang kitab Al Imta’ meriwayatkan dari Abu Bakar bin Al ‘Arabi, dan Al Udfuwi memastikan kebolehan (Al ‘Uud) dari mereka semua. Mereka mengatakan: “Halalnya mendengarkan permainan musik dengan alat-alat musik yang telah dikenal.” (Nailul Authar, 8/113-114)
IX. Kesimpulan
Dari uraian Imam Al Ghazali, Imam Asy Syaukani, Syaikh Sayyid Sabiq, dan Syaikh Wahbah Az Zuhaili di atas, kita bisa mengambil kesimpulan:
Perselisihan pendapat tentang musik di antara ulama besar kaum muslimin memang benar-benar terjadi. Bahkan sudah terjadi sejak masa-masa sebelum lahirnya imam empat madzhab, walaupun imam empat madzhab disebut telah sepakat atas keharamannya.
Menurut keterangan di atas, sebagaian sahabat nabi ada yang membolehkan bahkan pernah mendengarkan seperti Abdullah bin Umar dalam salah satu riwayatnya, Abdullah bin Az Zubeir, Abdullah bin Ja’far, Al Mughirah bin Syu’bah, Hassan bin Tsabit, Amr bin Al ‘Ash, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan selainnya.
Menurut keterangan di atas pula, sebagaian kibarut tabi’in (tabi’in senior) juga ada yang membolehkan seperti Umar bin Abdul Aziz dalam salah satu riwayat tentang dirinya sebelum menjadi khalifah, Syuraih Al Qadhi, Abdul Aziz bin Al Maslamah, Sa’id bin Al Musayyib, Syu’bah, Ibrahim bin Sa’ad, Thawus, dan selainnya.
Pembolehan ini juga menjadi pendapat golongan zhahiriyah (tekstualist) seluruhnya, sufiyah seperti Al Junaid, Dzun Nuun Al Mishri, As Sari As Suqthi, dan sebagian Malikiyah seperti Imam Abu Bakar bin Al ‘Arabi, Syafi’iyah seperti Imam Al Ghazali, Imam Al Mawardi, dan Hanafiyah seperti Imam Ibnu ‘Abidin. Ada riwayat dari Imam Malik bahwa Beliau membolehkan kecapi sebagaimana disebutkan oleh Al Qaffal.
Pembolehan ini juga menjadi pendapat penduduk Madinah, bahkan diklaim oleh Ibnu Thahir bahwa penduduk Madinah telah Ijma’ atas kebolehannya. Namun, klaim ini dikritik keras Al Adzra’i dan nilainya sebagai kedustaan dari Ibnu Thahir, sebagaimana dikutip Imam Ibnu Hajar Al Haitami dalam Az Zawajir.
Data-data di atas bukan berarti tanpa sorotan, pihak yang mengharamkan meragukan keshahihan sebagian riwayat tentang para sahabat, tabi’in, dan imam kaum muslimin yang membolehkan. Di antara yang meragukan adalah Imam Ibnul Qayyim, Imam Al Azdra’i, dan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani.
Sebagian ulama yang membolehkan keukeuh mengatakan kebalikannya, bahwa tidak ada ayat dan hadits shahih dan sharih sedikitpun tentang pengharaman musik, seperti yang dinyatakan oleh Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnul ‘Arabi, dan Imam Al Fakihani.
X. Rambu-Rambu dan Adab
Para ulama yang membolehkan tetap memberikan rambu-rambu, yang jika dilanggar maka musik tetaplah terlarang dan mesti ditinggalkan.
Tinjauan musiknya, apakah terasosiakan sebagai musik ahli maksiat dan fasiq? Jika ya, maka hendaknya ditinggalkan karena itu merupakan tasyabbuh (penyerupaan). Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum (barangsiapa yang menyerupai sebuah kaum maka dia termasuk kaum tersebut). Hr. Abu Daud, Ahmad, dan lainnya.
Tinjaun pemain dan pendengar, yakni penampilannya; apakah meniru orang kafir? Apakah pakaiannya pamer aurat. Adakah tarian dan jogetnya? Jika ya tinggalkan, karena ini maksiat dan kedurhakaan.
Tinjauan waktu, jika musik dapat memalingkan manusia dari kewajiban agama dan dunia maka wajib ditinggalkan. Termasuk musik yang akhirnya menyita waktu, atau berlebihan, maka wajib ditinggalkan. Setiap manusia, dia yang paling tahu tentang keadaan dirinya, saat bagimanakah sudah layak disebut melampaui batas, dan mesti jujur atas keadaan itu.
Tinjauan tempat, jika di dalamnya terdapat kemunkaran seperti khamr, wanita, judi, seperti di bar dan diskotik, atau ikhtilath laki-laki dan perempuan.
Dari dampaknya, ini tolok ukurnya masing-masing individu. Jika ternyata mendengar nyanyian dan musik membuatnya lahir rasa takut dan cemas tak berdasar, atau lahir syahwat, atau lahir keinginan untuk melakukan perbuatan maksiat dan haram, maka haramlah itu, dan langsunglah ia menjauhi lagu dan nyanyian.
Berlebih-lebihan dalam hal mubah tetaplah terlarang dan itu merupakan talbis iblis untuk memalingkan manusia dari hal-hal yang lebih penting dan utama.
XI. Menyikapi Perbedaan Pendapat dalam Masalah Fiqih
Sikap terbaik dalam menghadapi perselisihan di antara ulama adalah sebagaimana ayat berikut:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An Nisa: 59)
Ini adalah prinsip agung yang mesti diikuti oleh setiap muslim, yaitu mengembalikan kepada Allah dan RasulNya. Apa maksudnya?
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menjelaskan:
قَالَ مُجَاهِدٌ وَغَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ السَّلَفِ: أَيْ: إِلَى كِتَابِ اللَّهِ وَسَنَةِ رَسُولِهِ.
وَهَذَا أَمْرٌ مِنَ اللَّهِ، عَزَّ وَجَلَّ، بِأَنَّ كُلَّ شَيْءٍ تَنَازَعَ النَّاسُ فِيهِ مِنْ أُصُولِ الدِّينِ وَفُرُوعِهِ أَنْ يَرُدَّ التَّنَازُعَ فِي ذَلِكَ إِلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ} [الشُّورَى:10] فَمَا حَكَمَ بِهِ كِتَابُ اللَّهِ وَسُنَّةُ رَسُولِهِ وَشَهِدَا لَهُ بِالصِّحَّةِ فَهُوَ الْحَقُّ، وَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلَّا الضَّلَالُ
Mujahid dan lebih dari satu orang salaf berkata: yaitu kembalikan kepada kitabullah dan sunah RasulNya. Ini adalah perintah dari Allah ‘Azza wa Jalla bahwa semua hal yang diperselisihkan manusia, baik perkara pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya, maka hendaknya perselisihan itu dikembalikan menurut keterangan Al Quran dan As Sunnah. Sebagaimana firmanNya: tentang sesuatu apapun kamu berselisih, Maka putusannya (terserah) kepada Allah. (QS. Syura:10). Maka, apa-apa yang dihukumi oleh kitabullah dan sunah RasulNya, dan hal tersebut dinyatakan benar oleh keduanya, maka itulah al haq (kebenaran), dan selain itu adalah kesesatan. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 2/345)
Ini yang pertama. Kemudian, jika kedua pihak merasa pendapatnyalah yang lebih sesuai dengan Al Quran dan As Sunnah dengan penelitian masing-masing, tanpa hawa nafsu dan fanatik, maka hendaknya mereka memegang dan meyakini pendapatnya itu, tanpa mengingkari pendapat saudaranya, apalagi meremehkannya, dan menyerang pihak yang berbeda.
Oleh karenanya, perlu nampaknya kita perhatikan nasihat dan contoh baik dari para imam terdahulu dalam menyikapi perselisihan ini.
Imam Abu Nu’aim mengutip ucapan Imam Sufyan Ats Tsauri, sebagai berikut:
سفيان الثوري، يقول: إذا رأيت الرجل يعمل العمل الذي قد اختلف فيه وأنت ترى غيره فلا تنهه.
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau melarangnya.” (Imam Abu Nu’aim Al Asbahany, Hilyatul Auliya’, 3/133)
Berkata Imam an Nawawi Rahimahullah:
وَمِمَّا يَتَعَلَّق بِالِاجْتِهَادِ لَمْ يَكُنْ لِلْعَوَامِّ مَدْخَل فِيهِ ، وَلَا لَهُمْ إِنْكَاره ، بَلْ ذَلِكَ لِلْعُلَمَاءِ . ثُمَّ الْعُلَمَاء إِنَّمَا يُنْكِرُونَ مَا أُجْمِعَ عَلَيْهِ أَمَّا الْمُخْتَلَف فِيهِ فَلَا إِنْكَار فِيهِ لِأَنَّ عَلَى أَحَد الْمَذْهَبَيْنِ كُلّ مُجْتَهِدٍ مُصِيبٌ . وَهَذَا هُوَ الْمُخْتَار عِنْد كَثِيرِينَ مِنْ الْمُحَقِّقِينَ أَوْ أَكْثَرهمْ . وَعَلَى الْمَذْهَب الْآخَر الْمُصِيب وَاحِد وَالْمُخْطِئ غَيْر مُتَعَيَّن لَنَا ، وَالْإِثْم مَرْفُوع عَنْهُ
“Dan Adapun yang terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya, mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari dalam perkara yang disepati para imam. Adapun dalam perkara yang masih diperselisihkan, maka tidak boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar. Ini adalah sikap yang dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu, dan yang salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah terangkat dosanya.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 1/131. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Jadi, yang boleh diingkari hanyalah yang jelas-jelas bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona ijtihadiyah, maka hendaknya menerima dengan lapang dada dan tidak saling mengingkari.
Imam As Suyuthi Rahimahullah berkata dalam kitab Al Asybah wa An Nazhair:
الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ وَالثَّلَاثُونَ ” لَا يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيهِ ، وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ
Kaidah yang ke-35, “Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yang masih diperselisihkan. Seseungguhnya pengingkaran hanya berlaku pada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.” (Imam As Suyuthi, Al Asybah wa An Nazhair, 1/285)
Berkata Asy Syaikh Dr. Umar bin Abdullah Kamil:
فالاجتهاد إذا كان وفقًا لأصول الاجتهاد ومناهج الاستنباط في علم أصول الفقه يجب عدم الإنكار عليه ، ولا ينكر مجتهد على مجتهد آخر ، ولا ينكر مقلد على مقلد آخر وإلا أدى ذلك إلى فتنة .
“Ijtihad itu, jika dilakukan sesuai dengan dasar-dasar ijtihad dan manhaj istimbat (konsep penarikan kesimpulan hukum) dalam kajian ushul fiqh (dasar-dasar fiqih), maka wajib menghilangkan sikap pengingkaran atas hal ini. Tidak boleh seorang mujtahid mengingkari mujtahid lainnya, dan tidak boleh seorang muqallid (pengekor) mengingkari muqallid lainnya, jika tidak demikian maka akan terjadi fitnah.” (Dr. Umar bin Abdullah Kamil, Adab Al Hiwar wal Qawaid Al Ikhtilaf, hal. 43. Mauqi’ Al Islam)
Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah menjelaskan -setelah Beliau menerangkan sebab-sebab perselisihan fiqih di antara umat Islam:
كل هذه أسباب جعلتنا نعتقد أن الإجماع على أمر واحد في فروع الدين مطلب مستحيل، بل هو يتنافى مع طبيعة الدين، وإنما يريد الله لهذا الدين أن يبقى ويخلد ويساير العصور، ويماشي الأزمان، وهو لهذا سهل مرن هين، لين، لا جمود فيه ولا تشديد.
“Bahwa sebab-sebab itu membuat kita berkeyakinan bahwa upaya penyatuan dalam masalah furu’ adalah pekerjaan mustahil, bahkan bertentangan dengan tabiat agama ini. Allah menghendaki agar agama ini tetap terjaga dan abadi, dan dpat mengiringi kemajuan zaman. Untuk itu agama ini harus muncul dalam warna yang mudah, fleksibel dan lentur, tidak jumud atau keras.” (Majmu’ah Ar Rasa-il, hal. 26)
Dalam Risalah Al Khamis beliau juga berkata:
أن الخلاف في الفرعيات أمر ضروري لابد منه، إذ إن أصول الإسلام آيات وأحاديث وأعمال تختلف في فهمها وتصورها العقول و الأفهام ، لهذا كان الخلاف واقعاً بين الصحابة أنفسهم ومازال كذلك، وسيظل إلى يوم القيامة، وما أحكم الإمام مالك ـ رضي الله عنه ـ حين قال لأبي جعفر وقد أراد أن يحمل الناس على الموطأ: "إن أصحاب رسول الله ص تفرقوا في الأمصار وعند كل قوم علم، فإذا حملتهم على رأي واحد تكون فتنة"، وليس العيب في الخلاف ولكن العيب في التعصب للرأي والحجر على عقول الناس وآرائهم، هذه النظرة إلى الأمور الخلافية جمعت القلوب المتفرقة على الفكرة الواحدة، وحسب الناس أن يجتمعوا على ما يصير به المسلم مسلماً كما قال زيد ـ رضي الله عنه
“Bahwa perselisihan dalam masalah furu’ (cabang) merupakan masalah yang mesti terjadi. Hal itu karena dasar-dasar Islam dibangun dari ayat-ayat, hadits-hadits dan amal, yang kadang difahami beragam oleh banyak pikiran. Karena itu, maka perbedaan pendapat pun tetap terjadi pada masa sahabat dulu. Kini masih terjadi dan akan terus terjadi sampai hari kiamat. Alangkah bijaknya Imam Malik ketika berkata kepada Abu Ja’far, tatkala Ia ingin memaksa semua orang berpegang pada Al Muwatha’ (himpunan hadits karya Imam Malik): “Ingatlah bahwa para sahabat Rasulullah telah berpencar-pencar di beberapa wilayah. Setiap kaum memiliki ahli ilmu. Maka apabila kamu memaksa mereka dengan satu pendapat, yang akan terjadi adalah fitnah sebagai akibatnya.”
Bukanlah aib dan cela manakala kita berbeda pendapat. Tetapi yang aib dan cela adalah sikap fanatik (ta’ashub) dengan satu pendapat saja dan membatasi ruang lingkup berpikir manusia. Menyikapi khilafiyah seperti inilah yang akan menghimpun hati yang bercerai berai kepada satu pemikiran. Cukuplah manusia itu terhimpun atas sesuatu yang menjadikan seorang muslim adalah muslim, seperti yang dikatakan oleh Zaid Radhiallahu ‘Anhu. (Ibid, hal. 187)
XII. Penutup
Demikianlah pembahasan tentang Halal dan Haram Tentang Musik. Semoga menjadi salah satu sumbangsih pemikiran yang kecil untuk menambah kekayaan khazanah Islam yang sangat luas. Inilah yang sejauh kami ketahui, semoga Allah Ta’ala memaafkan apa-apa yang tidak kami ketahui. Semoga pembaca memberikan maklum dan maaf atas apa-apa yangAdab Al Hiwar wal Qawaid Al Ikhtilaf menjadi kesalahan kami. Semoga Allah Ta’ala menjadikannya sebagai amal shalih yang bermanfaat dan memiliki nilai di sisiNya. Amiin.
Demikian. Wallahu A’lam
Wa Shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘Ala Alihi wa Shahbihi ajma’in
Catatan kaki:
[1] Lima koreksi Imam Ibnul Qayyim atas Imam Ibnu Hazm tersebut adalah:
1. Bahwasanya Imam Bukhari telah berjumpa dengan Hisyam bin Ammar, dan mendengarkan hadits ini darinya. Jika Imam Bukhari mengucapkan: “Berkata Hisyam (Qaala Hisyam) ” itu sama halnya dengan ucapannya: “Dari Hisyam (‘An Hisyam).”
2. Kalaupun Imam Bukhari tidak mendengarkan langsung dari Hisyam maka memang tidak boleh memastikan darinya, tetapi yang benar adalah bahwa Beliau mendengarkan hadits ini darinya. Hal ini ditunjukkan begitu banyaknya riwayat yang berasal darinya (Hisyam), dan dia adalah seorang Syaikh (guru) yang begitu tenar. Sedangkan Imam Bukhari merupakan hamba Allah yang sangat jauh dari sikap tadlis (suka menggelapkan sanad dan matan hadits).
3. Imam Bukhari memasukan hadits ini dalam kitab Shahih-nya, dan ini sebagai hujjah bahwa seandainya tidak shahih maka Beliau tidak akan mencantumkan di dalamnya.
4. Hadits ini oleh Imam Bukhari diriwayatkan secara mu’allaq namun dengan bentuk kata jazm (pasti dan tegas yaitu qaala –telah berkata, pen) bukan dengan bentuk kata tamridh (adanya cacat). Biasanya Imam Bukhari jika belum memutuskan sebuah hadits shahih atau tidak atau menurutnya hadits itu tidak sesuai standar yang dia tetapkan, maka dia akan menggunakan kata: Yurwa ‘an Rasulillah (diriwayatkan dari Rasulullah), yudzkaru ‘anhu (disebutkan darinya), dan semisalnya. Ada pun jika Beliau mengatakan: “Qaala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ..” maka Beliau telah memastikan bahwa hadits tersebut benar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
5. Seandainya alasan-alasan yang kami (Ibnul Qayyim) sampaikan di atas sama sekali tidak berpengaruh, maka cukuplah kami katakan bahawa hadits ini shahih dan bersabung sanadnya karena dikuatkan oleh berbagai riwayat lainnya. (Ighatsatul Lahfan, 1/260)
[2] Sebagian ulama mendhaifkan, lantaran kedhaifan yang parah dari salah satu perawinya yaitu ‘Isa bin Maimun, mereka seperti Imam Ibnul Jauzi yang berkata: dhaif Jiddan – sangat lemah. (Al ‘Ilal Mutanahiyah, 2/627, No. 1034), Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: sanaduhu dhaif – sanadnya lemah. (Fathul Bari, 9/226). Syaikh Al Albani juga mendhaifkannya. (Dhaiful Jami’ No. 966)
[3] Sementara Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4924). Begitu pula Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr, menurutnya semua perawi hadits ini (Ahmad bin ‘Ubaidillah, Al Walid bin Muslim, Sa’id bin Abdul ‘Aziz, Sulaiman bin Musa, dan Nafi’) antara tsiqah (terpercaya) dan shaduq (jujur). Dia tidak menemukan di sisi mana munkar-nya sanad hadits ini. (Syarh Sunan Abi Daud, 560/15)
[4] Imam Al Ghazali, dia adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghazali Ath Thusi. Dijuluki hujjatul Islam (hujjahnya Islam), seorang filsuf, teolog, ahli tashawuf, ahli manthiq (ilmu logika), ahli fiqih, ushul fiqih, zahid (orang yang zuhud), wira’i (orang yang wara’), ‘abid (ahli ibadah), ahli debat, dan sebagainya. Lahir 450H (1058M) di Thusi, daerah Khurasan, wafat di situ juga tahun 505H (1111M). Nama “Al Ghazali” di ambil dari Al Ghazalah, nama desa kelahirannya. Mengembara menuntut ilmu ke berbagai negeri, ke Naisabur, lalu Baghdad, lalu Hijaz, lalu Syam, lalu Mesir, lalu kembali ke kampung halamannya. Sepanjang hayatnya memiliki kaya sekitar 200 judul, seperti Ihya ‘Ulumuddin, Al Basith, Al Mustashfa, Al Munqidz minadh Dhalal, Al Farq bainash Shalih wa Ghairush Shalih, Tahafut Al Falasifah, Al Iqtishad fil I’tiqad, Al Ma’arif Al ‘Aqliyah, Jawahirul Quran, Fadhaa-ih Al Bathiniyah, dan sebagainya. Di antara gurunya adalah Imam Abul Ma’ali Al Juwaini, yang biasa disebut Imam Al Haramain, yang memujinya: “Al Ghazali adalah luatan ilmu yang sangat luas (Bahrun Mughriq).” Beliau salah satu ulama yang paling berpengaruh di dunia Islam, bahkan dunia Barat. Karya-karyanya tentang filsafat dan kepiawaiannya meruntuhkan dominasi filsafat Yunani di zamannya telah dikaji oleh para sarjana di Barat, dan mereka mengenalnya dengan nama Al Gazell.
[5] Beliau adalah Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, ulama Mesir alumnus Al Azhar. Wafat tahun 1420H. Hidupnya dihabiskan untuk ilmu, tarbiyah, dan jihad bersama jama’ahnya, Al Ikhwan Al Muslimun. Banyak karyanya di antaranya Fiqhus Sunnah, Islamuna, Al ‘Aqaid Al Islamiyah, Mashadir Al Quwwah fil Islam, dan lainnya. Ada pun Fiqhus Sunnah adalah kitab fiqih produk abad 20 yang paling banyak penyebarannya di dunia Islam. Hampir-hampir dikatakan tidak ada lembaga pendidikan Islam dan masjid, melainkan pasti memiliki kitab Fiqhus Sunnah. Oleh karena itu, Beliau mendapatkan penghargaan King Faishal Award pada tahun 1993M dari kerajaan Arab Saudi, bersama salah satu murid terbaiknya Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullah. Kitab Fiqhus Sunnah disusun atas permintaan Syaikhnya, yakni Al Ustadz Hasan Al Banna Rahimahullah sebagai pedoman fiqih bagi jama’ah Al Ikhwan. Lalu kitab tersebut ditakhrij haditsnya oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah dan diberikan kata pengantar oleh gurunya (Syaikh Al Banna) tersebut.
[6] Beliau adalah Syaikh Wahbah bin Mushthafa Az Zuhaili Hafizhahullah. Lahir tahun 1932M, di pinggir kota Damaskus, Siria. Orang tuanya adalah penghapal Al Quran dan sangat dekat dengan sunah, selain itu keluarganya adalah petani dan pedagang. Beliau merupakan alumnus Al Azhar, pernah juga belajar di Universitas Ainusy Syams, dan Universitas Damaskus, fakultas Syariah. Kompentensinya adalah bahasa Arab, Ushul Fiqih, dan Fiqih, dan mendapat gelar Doktor tahun 1963M. Dia berguru ilmu usul fiqih, fiqih, tafsir, dan hadits, kepada banyak ulama baik di Syam mau pun Mesir. Murid-muridnya pun sangat banyak dan telah menjadi ulama besar seperti Syaikh Muhamamd Az Zuhaili dan Syaikh Muhamamd Na’im Yasin, dan lainnya. Karya-karyanya di antaranya: Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Aatsarul Harb fi Fiqhil Islami, Takhrij wa Tahqiq ahaadits, Al Wasith fi Ushulil Fiqhil Islami, dan lainnya.
[7] Dia adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdillah Asy Syaukani Al Yamani (1173 – 1250H/1759-1834M). Seorang ahli fiqih, ulama besar, mujtahid, luas ilmunya, baik tafsir, hadits, ushul fiqih, fiqih, dan banyak karyanya seperti Nailul Authar, Irsyadul Fuhul, Sailul Jarar, Fathul Qadir, Tuhfah Adz Dzakirin, Syarh Ash Shudur, Al Qaul Al Mufid fi Adillatil Ijtihad wat Taqlid, dan lainnya. Beliau berguru kepada banyak ulama di negerinya, Yaman, mengkaji kitab mereka dan menyimak hadits dari mereka. Banyak santri berguru kepadanya dari berbagai penjuru dunia. Kesibukannya adalah menulis, berfatwa, berda’wah pada gerakan pembaharuan dan ishlah. Menolak taklid buta kepada siapa pun, dan ketika syarat-syarat menjadi mujtahid sudah terpenuhi sempurna, maka dia telah mencapai derajat itu, dan ulama pun mengakuinya.
[8] Imam Asy Syaukani menyebut Imam Ibnu Hazm sebagai Al Hafizh, sebuah gelar kehormatan bagi ulama yang menguasai hadits dan ilmu-ilmunya. Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani dalam Fathul Bari-nya juga menyebut Imam Ibnu Hazm dengan sebutan Al Hafizh. Maka, ini menunjukkan kemampuannya dalam bidang hadits, dan pengakuan ulama atas Imam Ibnu Hazm. Ini sekaligus koreksi atas pihak yang meremehkan kemampuan Imam Ibnu Hazm dalam bidang ilmu hadits. Gelar Al Hafizh ini diberikan kepada ahli hadits yang sudah mampu menghapal 100.000 hadits, dan juga mampu melakukan jarh wa ta’dil, mengetahui perawi yang salah, melakukan tash-hih (penshahihan) dan tadh’if (pendhaifan) terhadap hadits, menguasai ilmu sanad dan matan sekaligus. Para ulama yang sudah sampai derajat ini adalah Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Imam Zainuddin Al ‘Iraqi, Imam Ibnu Daqiq Al ‘Id, Imam Al Mundziri, dan sebagainya.
[9] Pernyataan Imam Ibnu Thahir Rahimahullah telah dikritik keras oleh Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki Rahimahullah dalam kitab Az Zawajir, katanya: “Ada pun cerita dari Ibnu Thahir, Beliau mengambil dari penyusun At Tanbih, bahwa Beliau membolehkan mendengarkan kecapi, dan dia mendengarkannya, dan itu masyhur darinya. Beliau adalah salah satu ulama pada masanya dan itu tidak diingkari. Ada pun penghalalannya dan itu kesepakatan penduduk Madinah, maka pernyataan Ibnu Thahir ini telah dibantah oleh mereka. Mereka mengatakan dia adalah petualang, pembohong, kotor dan najis aqidahnya. Oleh karena itu Al Adzra’i mengomentari pernyataan Ibnu Thahir: Ini adalah spekulasinya Ibnu Thahir, sesungguhnya yang memainkan musik di Madinah adalah orang-orang gila dan pelaku kebatilan. Penyandaran Ibnu Thahir bahwa hal itu dikatakan oleh penyusun kitab At Tanbih –seperti yang dikatakannya dalam kitab As Sama’- adalah penyandaran yang batil secara pasti.” (Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Az Zawajir ‘an Iqtirafil Kabaa-ir , 2/339)
Maraji’ (referensi):
Al Quran Al Karim
Kitab-kitab tafsir:
Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Quran, Imam Abu Ja’far bin Jarir Ath Thabari
Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Imam Abu Abdillah Al Qurthubi
Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Imam Ibnu Abi Hatim
Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Imam Abu Fida bin Katsir
Mafatihul Ghaib, Imam Abu Abdillah Fakhruddin Ar Razi
Ad Durul Mantsur, Imam Jalaluddin As Suyuthi
Fathul Qadir, Imam Asy Syaukani
Al Muharrar Al Wajiz, Imam Abu Muhammad bin ‘Athiyah Al Andalusi
Tafsir Al Quran, Imam Abu Muzhaffar As Sam’ani At Tamimi
At Tashil Li ‘Ulumit Tanzil, Imam Abul Qasim bin Juzi Al Kalbi
Ahkamul Quran, Imam Abu Bakar bin Al ‘Arabi
Kitab-kitab hadits:
Jami’ush Shahih, Imam Al Bukhari
Jami’ush Shahih, Imam Muslim
Sunan At Tirmidzi, Imam At Tirmdzi
Sunan Abi Daud, Imam Abu Daud
Sunan Ibni Majah, Imam Ibnu Majah
Sunan Ad Darimi, Imam Ad Darimi
Musnad Ahmad, Imam Ahmad
Musnad Abi Ya’la, Imam Abu Ya’la
As Sunan Al Kubra, Imam An Nasa’i
As Sunan Al Kubra, Imam Al Baihaqi
Syu’abul Iman, Imam Al Baihaqi
Al Adab, Imam Al Baihaqi
Al Mu’jam Al Kabir, Imam Ath Thabarani
Musnad Al Bazzar, Imam Al Bazzar
Kanzul ‘Ummal, Imam Alauddin Al Muttaqi Al Hindi
Al Ahadits Al Mukhtarah, Imam Dhiya’uddin Al Maqdisi
Musnad Abi Daud Ath Thayalisi, Imam Abu Daud Ath Thayalisi
Al Mushannaf, Imam Ibnu Abi Syaibah
Musnad Ar Ruyani, Imam Ar Ruyani
Al Jami’ Al Ushul, Imam Jalaluddin As Suyuthi
Kitab-kitab Syarah Hadits:
Fathul Bari, Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Imam An Nawawi
Kasyful Musykil, Imam Abul Faraj bin Al Jauzi
Nailul Authar, Imam Asy Syaukani
At Taisir bi Syarhi Al Jami’ Ash Shaghir, Imam Al Munawi
Faidhul Qadir, Imam Al Munawi
Tuhfah Al Ahwadzi, Imam Abul ‘Ala Al Mubarkafuri
‘Aunul Ma’bud, Imam Abu Thayyib Syamsul ‘Azhim Abadi
Mirqah Al Mafatih, Imam ‘Ali Al Qari
Syarh Sunan Abi Daud, Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr
Kitab-kitab takhrij dan tahqiq hadits:
Al Badrul Munir, Imam Ibnul Mulaqqin
Tuhfatul Muhtaj Ila Adillatil Minhaj, Imam Ibnul Mulaqqin
Mukhtashar As Sunan, Imam Al Mundziri
Al Maqashid Al Hasanah, Imam Abul Khair Syamsuddin As Sakhawi
Al ‘Ilal Mutanahiyah, Imam Abul Faraj bin Al Jauzi
Kasyful Khafa, Imam Al ‘Ajluni
Ta’liq Musnad Ahmad, Syaikh Syuaib Al Arnauth
Shahih Kunuz As Sunnah An Nabawiyah, Syaikh Baari ‘Irfan Taufiq
Silsilah Ahadits Ash Shahihah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
Ghayatul Maram, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
Miyskah Al Mashabih, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
Shahihul Jami’ Ash Shaghir, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
Kitab-kitab fiqih dan fatwa:
Madzhab Hanafi
Tabyinul Haqaiq, Imam Az Zaila-i Al Hanafi
Bahrur Raa-iq, Imam Ibnu Nujaim Al Hanafi
Bada’i Ash Shana’i, Imam Al Kisani Al Hanafi
Al Muhith Al Burhani, Imam Abul Ma’ali Al Bukhari Al Hanafi
Tuhfatul Muluk, Imam Abu Muhammad Abdul Qadir Al Hanafi
Madzhab Maliki
Hasyiah Ad Dasuqi ‘Alasy Syarhil Kabir, Imam Ad Dasuqi Al Maliki
Al Muqaddimat, Imam Ibnu Rusyd Al Maliki
Ar Risalah, Imam Abu Muhammad Al Qairuwani Al Maliki
Madzhab Syafi’i
Al Umm, Imam Asy Syafi’i
Al Lubab fi Fiqhisy Syafi’i, Imam Abul Hasan Al Muhamili Asy Syafi’i
Nihayatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, Imam Syihabuddin Ar Ramli Asy Syafi’i
Hasyiah Asy Syubramalisi, Imam Asy Syubramalisi Asy Syafi’i
Raudhatuth Thalibin, Imam An Nawawi Asy Syafi’i
Minhajuth Thalibin , Imam An Nawawi Asy Syafi’i
Al Hawi Al Kabir, Imam Abul Hasan Al Mawardi Asy Syafi’i
Al Wasith fil Madzhab, Imam Al Ghazali Asy Syafi’i
Nihayatul Mathlab fi Dirayatil Madzhab, Imam Al Haramain Al Juwaini
Al Asybah wan Nazha-ir, Imam Jalaluddin As Suyuthi
Madzhab Hambali
Al Mughni, Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi Al Hambali
Majmu’ Al Fatawa, Imam Ibnu Taimiyah Al Hambali
Syarh Adab Al Musti, Syaikh Ibrahim bin Muhammad Alu Asy Syaikh Al Hambali
Madzhab Zhahiri
Al Muhalla, Imam Abu Muhammad bin Hazm Azh Zhahiri
Fiqih Umum
Fiqhus Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq
Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Dept Waqaf Kuwait
Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, Syaikh Wahbah Az Zuhaili
Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
Tahrim Alatith Tharb, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
Kitab-kitab sejarah dan biografi:
Siyar A’lamin Nubala, Imam Syamsuddin Adz Dzahabi
Mizanul I’tidal, Imam Syamsuddin Adz Dzahabi
Kitab Kamus dan Bahasa:
Tahdzibul Lughah, Abu Manshur Al Harawi Al Azhari
Mafatih Al ‘Ulum, Abu Abdillah Al Balkhi Al Khawarizmi
Nihayah fi Gharibil Hadits, Imam Ibnul Atsir
Gharibul Hadits, Imam Abu ‘Ubaid
Kitab-kitab umum:
Ighasatul Lahfan fi Mashayyidisy Syaithan, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah
Az Zawajir ‘an Iqtirafil Kabaa-ir, Imam Ibnu Hajar Al Haitami Al Makki
Ihya ‘Ulumuddin, Imam Abu Hamid Al Ghazali
Hilyatul Auliya, Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani
Majmu’ah Ar Rasail, Imam Hasan Al Banna
Adab Al Hiwar wal Qawaid Al Ikhtilaf, Syaikh Dr. Umar bin Abdullah Kamil
Post a Comment