Benarkah Ruki pengkhianat KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat dikatakan sedang menanti ajal. Bagaimana tidak, DPR sedang getol menggalakkan revisi UU KPK yang dinilai akan membunuh lembaga antirasuah. Dalam Pasal 14 Ayat (1) huruf a tertulis bahwa KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan setelah ditemukan bukti permulaan yang cukup dengan izin dari ketua pengadilan negeri.
Padahal, lewat penyadapan membuat KPK mampu membongkar kasus-kasus besar. Parahnya, ternyata Plt KPK Taufiequrachman Ruki menyetujui usulan revisi tersebut.
Dia justru melontarkan pernyataan yang sama dengan DPR bahwa mengklaim revisi justru memperkuat bukan memperlemah. Namun, nyatanya pernyataan itu hanyalah pernyataan sepihak. Sebab, empat pimpinan KPK menolak dengan tegas UU KPK direvisi.
“Menurut saya tidak semua pimpinan KPK menyetujui adanya revisi UU KPK. Jadi revisi itu seolah diambil suatu suara dan diklaim bahwa seluruh Pimpinan KPK setuju,” kata pimpinan KPK nonaktif Bambang Widjojanto di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Senin (14/12).
Bahkan berdasarkan informasi dari salah satu pimpinan KPK Adnan Pandu Praja, Bambang menjelaskan hanya Plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki saja yang menyetujui revisi UU KPK tersebut.
“Menurut informasi Pak Adnan, hanya Pak Ruki yang setuju. Dan ternyata belum ada naskah akademisnya tentang revisi. Bagaimana bisa revisi Undang-undang sudah disetujui padahal naskah akademisnya saja belum ada? Lalu nalarnya di mana?” ungkapnya.
“Kalau pimpinan KPK-nya tidak paham problem di luar dan kenapa perlu atau tidak perlu revisi, apa pantas dia jadi pimpinan KPK? Tinggal dua hari lagi soalnya kan,” tambahnya.
Bambang menegaskan, sebenarnya revisi UU KPK tak perlu, karena revisi untuk melengkapi bukan memperbaiki. “Ini kaya penyakit kanker. Misalnya kanker udah tersebar, tapi dibahasnya pencegahan. Kanker korupsi menyebar di mana-mana, revisinya pencegahan. Ini cocok apa enggak?” cetusnya.
Tak hanya itu, mantan pimpi Mantan pimpinan KPK Busyro Muqoddas menyatakan bahwa telah terjadi pelemahan di internal KPK. Bahkan menurutnya ada perbudakan dalam perkembangan KPK di Indonesia.
“Agenda pelemahan terhadap KPK itu begitu terasa sistematis. Bahkan model pelemahannya bukan hanya pelemahan hukum, tapi ada budak royal yang dimasukkan ke dalam KPK, walaupun kami yakin beberapa ada juga yang tak seperti itu,” kata Busyro di Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jakarta Pusat, Senin (14/12).
Busyro menjelaskan, KPK dan upaya pemberantasan korupsi pada umumnya tak bisa lagi dihadapi dengan cara lugu. Menurutnya kita sudah tak bisa lagi menggunakan prasangka baik, seperti mengenai revisi UU KPK yang menurutnya harus ditolak.
“Maka secara politik harus suudzon (bersangka buruk). Setop revisi UU KPK, setop pemaksaan menggolkan mengenai rancangan undang-undang mengenai Tax Amnesty (pengampunan pajak), dan setop Rancangan Undang-undang Contempt of Court (penghinaan terhadap persidangan),” ungkapnya.
Lanjutnya, akan UU KPK tersebut, kini banyak tingkah-tingkah yang mendorong sejenis pengaturan penyadapan oleh pihak-pihak tertentu. Banyak keputusan-keputusan yang diambil justru merugikan banyak pihak.
“Seperti banyak penyidik yang diganti. Terasa sekali pelemahan yang seolah-olah berusaha memberikan gambaran kepada publik kalau KPK ini tak efektif. Oleh sebab itulah, penting adanya penjelasan bahwa kpk bukan tak aktif, tapi adanya pelemahan dari dalam maupun luar KPK. Di sini pentingnya suara publik untuk menghindari persepsi KPK tak efektif. Oleh sebab itu, revisi UU KPK harus ditolak, revisi UU sangat tidak strategis untuk menggerakkan strategis Indonesia. Revisi UU justru akan jadi pintu masuk melemahkan KPK itu sendiri,” tutupnya.
Busyro juga menyatakan bahwa Ruki merupakan pemimpin yang otoriter dengan sering melakukan pemecatan secara sepihak. “Pak Ruki itu sangat otoriter dan antikritik terhadap penyidik dan staf di KPK. Lihat berapa banyak yang sudah di-skors dan dipecat oleh dia,” kata Busyro.
Busyro menjelaskan, sikap Ruki yang seperti itu sangat tak pantas dan tak baik dalam suatu institusi apalagi dalam ruang KPK. Padahal menurutnya, KPK itu harus dipimpin oleh seorang yang mampu menerima masukan dan mampu berkomunikasi baik dengan siapapun.
“Dan sebenarnya pimpinan KPK sering menerima kritik keras dari pegawai dan penyidik KPK. Namun itu semua justru masukan untuk kinerja ke depannya. Agar bisa memimpin KPK lebih baik. Masukan itu penting,” tuturnya.
Busyro pun tak segan-segan membenarkan bahwa ia bersama dengan beberapa orang lainnya mempunyai sebuah group untuk kritik Ruki. Sejumlah pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terancam mendapat sanksi lantaran mengkritik kinerja lembaga antirasuah di bawah kepemimpinan Taufiequrachman Ruki.
Kritikan itu disampaikan setelah, Ruki dan jajarannya enggan turun tangan dalam upaya pelemahan KPK. Pegawai yang merasa Ruki tidak sejalan dengan tujuan KPK dalam perjuangan pemberantasan korupsi mengirimkan tiga buah karangan bunga ke kantor KPK pada Senin, 4 Mei 2015.
Melalui karangan bunga itu, pegawai KPK ini menuliskan kritikan keras yang ditujukan kepada para pimpinan KPK. Berikut tulisan yang tercantum dalam karangan bunga tersebut, “Terima kasih pimpinan KPK atas aksi panggungnya. Kalian pahlawan sinergitas. Kami menunggu dagelan selanjutnya.”
Pada karangan bunga kedua tertulis, “Kami bangga pada AS, BW dan Novel. Kalian orang berani! KPK bukan pengecut yang cuma bisa kompromi!” Kemudian pada karangan bunga terakhir dituliskan, “Teruntuk pimpinan KPK para pemberani yang selalu (tidak) menepati janji.”
Atas kritik pedas itu, salah satu pegawai KPK yang enggan menyebutkan namanya ikut diperiksa oleh pengawas internal (PI) KPK. Bahkan, pegawai yang terlibat dalam aksi pengiriman bunga kritikan juga terancam mendapat sanksi pemecatan.
Pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua KPK, Johan Budi SP tak membantah adanya pegawai KPK yang diperiksa oleh PI terkait kiriman bunga tersebut. “Waktu itu ada kiriman bunga yang tidak bernama yang mengejek Pimpinan KPK. Lalu PI menelusuri siapa pengirim bunga itu. Ternyata ada beberapa pegawai KPK, lalu dilakukan pemanggilan kepada pegawai KPK, ditanyakan apa maksudnya,” kata Johan saat dikonfirmasi, Senin (15/6).
Kendati demikian, saat disinggung hasil pemeriksaan itu Johan mengaku tidak tahu. Apalagi, saat ditanya apa pihaknya memberikan sanksi pemecatan Johan tak memberikan jawaban yang jelas. “Belum tahu saya,” tandas Johan.
“Saya ada group namanya Alumni C1. Saya mengkritik di sana sekitar tanggal 23 September lalu. Ya isi grup itu mengkritik kepemimpinan Pak Ruki. Saya bilang Pak Ruki itu sudah tua dan harus menunjukkan ketuaannya itu,” tutupnya.
Post a Comment