Tidak Mendahulukan Makhluk dari Sang Khalik

Pemateri: Ust. DR. Wido Suparaha

Materi ini membahas satu tema penting bahwa di antara konsekuensi logis syahadatain, seorang mukmin TIDAK BOLEH MENDAHULUKAN   makhluk daripada Sang Khalik.

Mendahulukan Allah atas segala urusan kita adalah bagian dari adab yang tidak boleh terlepas. Kalaupun ada ketaatan kepada makhluk, maka ketaatan itu harus dalam rangka ketaatan kepada Allah, sehingga tidak boleh bertentangan dengan ketaatan kepada Allah.

Allah Swt. berfirman dalam Surat Al-Hujurat/49 ayat 1,

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasulnya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Ayat yang mulia ini mengawali surat Al-Hujurat, surat yang diturunkan di Kota Madinah, dan berisi 18 ayat.

Rangkaian 5 ayat pertama surat ini sesungguhnya berisi taujih rabbani terkait tata cara bergaul dan berhubungan dengan Rasulullah Saw saat beliau masih hidup. Namun ayat pertama ini menjadi jauh lebih penting, karena memuat kandungan aqidah yang sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk menjaganya.

📗Ibnu Katsir mengutip pendapat Ali bin Abi Thalhah yang meriwayat kan dari Ibnu ‘Abbas r.a., bahwa maksud ayat (لا تقدموا بين يدي اللّه و رسوله) adalah,
“Janganlah kalian mengucapkan hal-hal yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.”

Mujahid juga menafsirkan, “Janganlah kalian mendahului Rasulullah Saw dalam sesuatu (hal), sehingga Allah Swt. menetapkannya melalui lisan beliau.”

Adh-Dhahhak mengatakan jangan memutuskan suatu perkara tanpa mengikuti petunjuk Allah dan Rasulnya dari seluruh syari’at-syari’at dalam agama Islam,

Sufyan ats-Tsauri mengingatkan untuk tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya dalam bentuk ucapan maupun perbuatan.[1]

Imam Jalaluddin mengatakan bahwa kalimat (لا تقدّم) berasal dari kata kerja (قدّم) yang berarti (تقدّم) yang maksudnya, ‘janganlah kalian mendahului dengan perbuatan maupun perkataan’.[2]

Sementara Imam Syafi’i mengatakan bahwa kata (تقدّم) ,(قدّم) dan (استقدام) memiliki makna yang satu. [3]

Ibn Hajar al-Atsqalani mengutip pendapat Ath-Thabari yang meriwayatkan dari Sa’id, dari Qatadah, “Disebutkan kepada kami bahwa sebagian orang berkata, ‘Sekiranya diturunkan tentang ini’, maka Allah pun menurunkan ayat itu.”

Imam Ath-Thabari juga berkata, “Al-Hasan berkata, ‘Mereka adalah sebagian kaum muslimin.
Mereka menyembelih (kurban) sebelum shalat, maka Nabi Saw memerintahkan mereka menyembelih kembali.”[4]

Ketika cara kita dalam melihat Surat Al-Hujurat ini ditingkatkan lebih global lagi, maka akan kita dapati adanya fokus bahasan tentang adab Mukmin kepada Nabi Saw, sebagai rangkaian utuh yang telah dimulai sejak Surat Muhammad.

Surat Muhammad menjelaskan bahwa mengikuti Nabi Saw. adalah bukti diterimanya amal.

Surat Al-Fath menjelaskan sifat-sifat orang yang mendapatkan kemenangan.

Sedangkan Surat ini, Surat Al-Hujurat, memberikan pesan, “Wahai orang yang akan mendapatkan kemenangan, hiasilah diri dengan adab-adab sosial, terutama adab kepada Nabi Saw.”

Seakan-akan beberapa sifat yang disebutkan di akhir Surat Al-Fath, pengorbanan dan kesungguhan, serta keseimbangan antara ibadah dan keberhasilan dalam kehidupan, masih membutuhkan penyempurnaan.

Adapun penyempurnaan nya adalah sifat-sifat yang terkait dengan moral dan adab yang disebutkan dalam Surat Al-Hujurat. Maka ayat pertama dari Surat Al-Hujurat ini berkata kepada para sahabat Nabi Saw., ” Janganlah kalian tergesa-gesa meminta turunnya wahyu, beradablah terhadap syariat, terhadap Allah dan Rasul-Nya.”

Sementara penerapan ayat ini dalam kehidupan kita adalah dengan tunduk pada syariat Allah Swt., dan sunnah Nabi-Nya, tanpa melakukan pelanggaran terhadap keduanya.[5]

Ayat tersebut diakhiri dengan perintah agar bertakwa kepada Allah Swt., sebagai pertanda bahwa jika seorang mukmin meninggalkan adab yang telah dibahas di atas, maka tidak sempurnalah keimanannya.
Dalam makna berkebalikan dapat disebutkan bahwa seorang yang bertakwa pastilah pandai dalam menjaga adab terhadap Allah dan Rasul-Nya, sebagai adab yang harus diprioritaskan dan ditempatkan pada tempat yang paling tinggi.

Esensi dari ayat ini sesungguhnya adalah agar mukmin sentiasa menjaga ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan berhukum dengan hukum yang telah ditetapkan untuknya.

Maka dalam banyak ayat Al-Qur’an, esensi yang sama semakin dikuatkan dengan ragam redaksi, untuk terus mengingatkan sifat kemanusiaan yang terkadang mudah tersimpangkan karena faktor-faktor yang dapat menyimpangkannya.

Firman Allah Swt. dalam Surat An-Nisa/4 ayat 60-61,

"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ?
Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.

Apabila dikatakan kepada mereka :
“Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu."

Firman Allah Swt. dalam Surat Al-Anfal/8 ayat 24,

"Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan."

Firman Allah Swt. dalam Surat An-Nur/24 ayat 51-52,

"Sesungguhnya jawaban oran-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka [1046] ialah ucapan. “Kami mendengar, dan kami patuh”.

Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan."

Firman Allah Swt. dalam Surat Al-Ahzab/33 ayat 36,

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.

Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.

Maraji’

1] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Mukhtashar Tafsir Ibn Katsir, Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, hlm. 357. Menurut Ibn Hajar dalam Fathul Bari, pendapat Mujahid dinukil oleh Abd bin Humaid melalui sanad yang maushul dari Ibn Abi Najih, dari Mujahid. Ibn Hajar meriwayatkan dalam kitab Dzammul Kalam dari jalur ini.

2] Jalaluddin Muhammad al-Mahalli dan Jalaluddin Abdurrahman as-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Jilid 3, Surabaya: Pustaka eLBA, Tanpa Tahun, hlm. 470.

3] Asy-Syafi’i, Tafsir Al-Imam Asy-Syafi’i, Saudi Arabia: Dar at-Tadmiriyyah, 2006, hlm. Maktabah Syamilah.

4] Ibn Hajar al-Atsqalani, Fathul Bari Jilid 24, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, hlm. 97.

5] Amru Khalid, Khowathir Qur’aniyyah, Nazharat fi Ahdafi Suwaril Qur’an, Jakarta: Al-I’tishom, Cetakan ke-3, 2012, hlm. 621.

Dipersembahkan oleh grup WA - MANIS - MAJELIS IMAN ISLAM

No comments

Powered by Blogger.