Ketakutan dan Kesedihan di Daerah Dominan Muslim di Paris


Fear and Mourning in Paris’s Muslim Suburbs
-Newsweek-

Diseluruh Paris pada Sabtu (14/11) malam, orang-orang sedang bersedih. Kekacauan dan kesedihan pada Jumat malam telah berkurang, memberi jalan pada kesedihan mendalam saat dampak penuh dari serangan tersebut muncul. Di daerah banlieue(pinggiran), suasananya tegang dan tak menentu. Di wilayah-wilayah ini adalah tempat tinggal bagi banyak imigran muslim yang sekarang terkena dampak serangan teroris lainnya dan ketakutan bahwa keyakinan mereka (Islam) akan dibuat bertanggungjawab.

Di banlieue diluar Porte de la Vilette, sekelompok imigran muslim dari Mauritania duduk di trotoar membakar jagung dan daging. Salah satu dari mereka –yang menolak memberikan nama atau umur karena khawatir akan keselamatannya- menyebut dia dapat mendengar serangan di Stade de France melalui jendelanya. “Polisi ada dimana-mana,” sebutnya. “Saya sungguh takut, saya hanya mengunci diri didalam rumah.” Sama seperti orang Perancis lainnya, ia tak dapat mengetahui motif sang penyerang. “Saya adalah seorang Perancis,” sebutnya. “Saya terkejut.”

Banlieue tersebut, seperti sebagian besar Paris, terlihat kosong. Sebagian besar toko dan restoran tutup, bagian depan toko mereka tertutup penutup besi. Disalah satu tepi jalan, sebuah convenience store tetap buka. Anak pemiliknya, seorang Perancis-Maroko bernama Mustapha Lamouz, menyebut ia mengecam serangan tersebut. “Ini akan terus terjadi,” sebutnya, “Kami telah menghadapi serangan Charlie Hebdo disaat yang sama tahun lalu. Hal seperti ini (ketakutan) akan terus terjadi di seluruh Perancis.”

Seperti sang pria dari Mauritania, Lamouz, 24 tahun, mendengar ledakan dari stadion tersebut. Dia tinggal dengan orangtuanya didekatnya. Meski ketakutan oleh bom tersebut, dia juga marah terhadap perancis. “Perancis seperti keju -penuh lubang dan orang-orang dapat keluar masuk sekehendak hati mereka,” sebutnya.

Hakan Yilmaz, 32, pemilik sebuah toko kebab Turki didekatnya, setuju. “Ada banyak jiwa yang hilang, banyak pemuda yang hilang di Perancis,” sebutnya. Tapi Yilmaz, meski bukan seorang muslim yang relijius, juga jijik dengan cara Perancis memperlakukan orang-orang yang beragama islam. “Masalahnya sama dengan yang dilakukan Amerika terhadap orang-orang berkulit hitam (diskriminasi),” sebutnya. “Pemerintah Perancis mendukung sekolah yahudi dan Israel, mereka membayar untuk mendukung sekolah-sekolah tersebut. Tapi mereka tidak mendukung sekolah-sekolah muslim, yang harus mencari dana sendiri.” Tidak semuanya tepat, namun ini merepresentasikan bagaimana beberapa muslim Perancis, terutama yang berada di pemukiman seperti ini, merasa didiskriminasikan dan tidak dianggap oleh masyarakat Perancis.

Saat Yilmaz berbicara, kemarahannya meningkat. “Serangan itu adalah hal yang memalukan,” sebutnya, “tetapi Perancis mengalaminya karena mereka masuk ke Suriah. Rusia masuk dan mereka kehilangan sebuah pesawat (meledak di Sinai Mesir -red), Turki masuk dan mereka mengalami serangan teroris (bom Ankara -red).” Yilmaz menyebut dia sedih tetapi tidak terkejut.

Saat dia bersiap menutup tokonya, diujung jalan puluhan pria tiba di Masjid de Fraternite untuk solat zuhur. Ibadahnya singkat dan penuh harapan- seringkali seruan “Allahu Akbar” terdengar dari balik pintu yang tertutup.

Saat orang-orang itu pergi, seorang pria dalam pakaian yang semuanya hitam memisahkan diri dari kerumunan. Telah menyaksikan serangan di Stade de France, Felix Mehdi, 36, seorang pemimpin komunitas yang sesekali memberi ceramah, segera menjelaskan bahwa teror Paris tersebut tidak merepresentasikan keimanannya. “Ada jutaan muslim di Perancis, tetapi ada berapa yang melakukan serangan?” sebutnya. “Ini bukan islam. Bukan atas nama saya.”

Mehdi, seperti si pemilik toko kebab, percaya bahwa Negara Perancis harus bertanggungjawab atas keterlibatan mereka dalam perang sipil suriah. “Setiap kali Perancis memasuki perang yang bukan untuk kita, kita mengalami serangan,” sebutnya. “Jika kamu ingin membuat perang, perang akan datang kepadamu.”

Tapi untuk Mehdi, akar dari masalah tersebut terletak lebih dalam- “ kebencian dan ketakutan terhadap islam di perancis.” Saat orang-orang islam semakin diasingkan dari komunitas Perancis yang lebih luas, Mehdi menyebut radikalisme tak akan terhindarkan. Dan hingga Perancis, menghadapi ketakutannya terhadap islam, tambahnya, serangan seperti ini akan terus terulang.

Mereka yang menderita paling banyak, tambahnya, adalah orang-orang islam. “Setelah Charlie hebdo,” sebutnya, “terdapat peningkatan tajam serangan islamophobic pada komunitas kami. Serangan-serangan ini hanya menyiram bensin ke api.”

Dua pintu setelahnya di sebuah toko yang menjual alquran, abaya dan sajadah, Amina Kaima yang berusia 24 tahun juga memiliki ketakutan sama seperti Mehdi. “Meski saya tak memakai hijab, ibu dan saudari saya memakai.” Sebutnya. “Saat mereka pergi keluar, orang-orang mengidentifikasi mereka sebagai seorang muslim. Mereka akan berada dalam bahaya.”

Serangan tersebut, tambahnya, akan membelah dua Perancis: mereka yang menyalahkan islam dan mereka yang tidak. “ Islam adalah sebuah agama damai,” tambahnya. “Kami berharap bahwa orang-orang tidak menyamakan kami dengan ISIS. Hari ini kami harus menjadi lebih cerdas dan tidak menjawab dengan kekerasan. Hari ini yang paling penting adalah persatuan di Perancis -orang-orang harus berperang bersama dan tidak terbelah.”

Saat kegelapan mulai turun di banlieue, udara menjadi dingin. Sang pria Mauritania masih memanggang jagung, meski beberapa mulai mengepak barang-barang mereka. Ini sudah malam dan mereka lelah, terlelahkan dengan pengetahuan bahwa Perancis sekali lagi menjadi korban terror dan pengetahuan bahwa islam secara keseluruhan akan sekali lagi disalahkan.*

*Sumber: http://www.newsweek.com/fear-and-mourning-among-paris-muslims-394504

No comments

Powered by Blogger.