SIKAP BIJAK PARA IMAM AHLUS SUNNAH MENGHADAPI PERSOALAN QUNUT SHUBUH

Illustrasi
Oleh : Ust. FARID NU'MAN HASAN SS. 

Persoalan membaca doa qunut pada shalat shubuh ketika i’tidal kedua, merupakan perselisihan fiqih sejak zaman para sahabat Nabi. 

Ini termasuk perselisihan yang paling banyak menyita waktu, tenaga, fikiran, bahkan sampai memecahkan barisan kaum muslimin.

Sebenarnya, bagaimanakah sebenarnya masalah ini? 

Benarkah para Imam Ahlus Sunnah satu sama lain saling mengingkari secara keras, sebagaimana perilaku para penuntut ilmu dan orang awam yang kita lihat hari ini dari kedua belah pihak?

Kali ini, saya tidak akan membahas qunut pada posisi, “Mana yang lebih benar, qunut atau tidak qunut?” yang justru kontra produktif dengan tema yang sedang saya bahas. 

Walau dalam keseharian saya lebih sering berqunut subuh karena begitulah kebiasaan di daerah saya tinggal sejak kecil sampai sekarang. 

Mereka yang berqunut dan juga yang tidak berqunut adalah saudara seiman yang harus dijaga perasaannya dan dipelihara hubungannya.

Tidak saling mengingkari, lantaran keduanya berpijak pada pendapat para Imam Ahlus Sunnah, yang masing-masing memiliki sejumlah dalil dan alasan yang dipandang kuat oleh mereka. 

Sedangkan para imam kita telah menegaskan kaidah, 

💬“Al Ijtihad Laa Yanqudhu bil Ijtihad (Suatu Ijtihad tidak bisa dimentahkan oleh Ijtihad lainnya), ” dan 

“Laa inkara fi masaail ijtihadiyah (tidak ada pengingkaran dalam masalah ijtihadiyah).”💬 

📚 Qunut Shubuh Benar-Benar Perselisihan Eksis Sejak Dahulu 📚

Kita lihat peta perbedaan ini, sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama sebagai berikut:

📗Berkata Imam At Tirmidzi dalam Sunan-nya sebagai berikut:

وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الْقُنُوتِ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ فَرَأَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ الْقُنُوتَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ و قَالَ أَحْمَدُ وَإِسْحَقُ لَا يُقْنَتُ فِي الْفَجْرِ إِلَّا عِنْدَ نَازِلَةٍ تَنْزِلُ بِالْمُسْلِمِينَ فَإِذَا نَزَلَتْ نَازِلَةٌ فَلِلْإِمَامِ أَنْ يَدْعُوَ لِجُيُوشِ الْمُسْلِمِينَ


“Para Ahli ilmu berbeda pendapat tentang qunut pada shalat fajar (shubuh),

🔹Sebagian Ahli ilmu dari sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan lainnya berpendapat bahwa qunut ada pada shalat shubuh, dan ini adalah pendapat Malik dan Asy Syafi’i. 

🔹Sedangkan, Ahmad dan Ishaq berpendapat tidak ada qunut pada shalat shubuh kecuali saat nazilah (musibah) yang menimpa kaum muslimin. Jika turun musibah, maka bagi imam berdoa untuk para tentara kaum muslimin.” (Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401) 

📗 Berkata Imam Ibnu Rusyd Al Maliki Rahimahullah :

اختلفوا في القنوت، فذهب مالك إلى أن القنوت في صلاة الصبح مستحب، وذهب الشافعي إلى أنه سنة وذهب أبو حنيفة إلى أنه لا يجوز القنوت في صلاة الصبح، وأن القنوت إنما موضعه الوتر وقال قوم: بيقنت في كل صلاة، وقال قوم: لا قنوت إلا في رمضان، وقال قوم: بل في النصف الاخير منه وقال قوم: بل في النصف الاول منه.


“Mereka berselisih tentang qunut, 
🔹Malik berpendapat bahwa qunut dalam shalat shubuh adalah sunah, dan Asy Syafi’i juga mengatakan sunah, dan 

🔹Abu Hanifah berpendapat tidak boleh qunut dalam shalat shubuh, sesungguhnya qunut itu adanya pada shalat witir. 

🔹Ada kelompok yang berkata: berqunut pada setiap shalat. 
🔹Kaum lain berkata: tidak ada qunut kecuali pada bulan Ramadhan. 
🔹Kaum lain berkata: Adanya pada setelah setengah bulan Ramadhan. 🔹Ada juga yang mengatakan: bahkan pada setengah awal Ramadhan.”

(Imam Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Juz. 1, Hal. 107-108. Darul Fikr)

Juga diterangkan di dalam kitab Al Mausu’ah sebagai berikut:

ذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلَى مَشْرُوعِيَّةِ الْقُنُوتِ فِي الصُّبْحِ . قَال الْمَالِكِيَّةُ : وَنُدِبَ قُنُوتٌ سِرًّا بِصُبْحٍ فَقَطْ دُونَ سَائِرِ الصَّلَوَاتِ قَبْل الرُّكُوعِ ، عَقِبَ الْقِرَاءَةِ بِلاَ تَكْبِيرٍ قَبْلَهُ .
وَقَال الشَّافِعِيَّةُ : يُسَنُّ الْقُنُوتُ فِي اعْتِدَال ثَانِيَةِ الصُّبْحِ ، يَعْنِي بَعْدَ مَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ ، وَلَمْ يُقَيِّدُوهُ بِالنَّازِلَةِ .
وَقَال الْحَنَفِيَّةُ ، وَالْحَنَابِلَةُ : لاَ قُنُوتَ فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ إِلاَّ فِي النَّوَازِل وَذَلِكَ لِمَا رَوَاهُ ابْنُ مَسْعُودٍ وَأَبُو هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا - : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ ثُمَّ تَرَكَهُ ، وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : - أَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ إِلاَّ أَنْ يَدْعُو لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ وَمَعْنَاهُ أَنَّ مَشْرُوعِيَّةَ الْقُنُوتِ فِي الْفَجْرِ مَنْسُوخَةٌ فِي غَيْرِ النَّازِلَةِ


🔹“Kalangan Malikiyah (pengikut Imam Malik) dan Asy Syafi’iyah (pengikut Imam Asy Syafi’i) berpendapat bahwa doa qunut pada shalat shubuh adalah disyariatkan. 🔹Berkata Malikiyah: Disunnahkan berqunut secara sirr (pelan) pada shalat shubuh saja, bukan pada shalat lainnya. Dilakukan sebelum ruku setelah membaca surat tanpa takbir dulu.

🔹Kalangan Asy Syafi’iyah mengatakan: qunut disunahkan ketika i’tidal kedua shalat shubuh, yakni setelah mengangkat kepala pada rakaat kedua, mereka tidak hanya mengkhususkan qunut nazilah saja.

🔹Kalangan Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah) dan Hanabilah (pengikut Imam Ahmad bin Hambal) mengatakan: Tidak ada qunut dalam shalat shubuh kecuali qunut nazilah. 

Hal ini karena telah diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut selama satu bulan, mendoakan qabilah di antara qabilah Arab, tsumma tarakahu ( kemudian beliau meninggalkan doa tersebut).” (HR. Muslim dan An Nasa’i). 

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu: “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berqunut pada shalat shubuh, kecuali karena mendoakan atas sebuah kaum atau untuk sebuah kaum.” (HR. Ibnu Hibban). 

Artinya, syariat berdoa qunut pada shalat shubuh telah mansukh (dihapus), selain qunut nazilah.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 27/321-322. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah)

Sedikit saya tambahkan, bahwa hadits Ibnu Mas’ud yang dijadikan hujjah oleh golongan Hanafiyah dan Hanabilah, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berqunut selama satu bulan, mendoakan qabilah di antara qabilah Arab, lalu beliau meninggalkan doa tersebut. 
Merupakan hadits shahih, diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya, Kitab Al Masajid wa Mawadhi’ Ash Shalah Bab Istihbab Al Qunut fi Jami’ish Shalah Idza Nazalat bil Muslimina Nazilah, No. 677. 

Ada pun hadits Abu Hurairah, yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berqunut pada shalat shubuh, kecuali karena mendoakan atas sebuah kaum atau untuk sebuah kaum. 

Disebutkan oleh Imam Az Zaila’i, bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban, dan penulis At Tanqih mengatakan, hadits ini shahih. (Al Hazifh Az Zaila’i, Nashbur Rayyah fi Takhrij Ahadits Al Hidayah, 3/180. Mawqi’ Al Islam)

Sedangkan dalil pihak yang menyunnahkan qunut shubuh, yang digunakan oleh kalangan Asy Syafi’iyah dan Malikiyah adalah riwayat dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa melakukan qunut shubuh sampai faraqad dunia (meninggalkan dunia/wafat). 

(HR. Ahmad No. 12196. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 2/201. Abdurrazzaq, Al Mushannaf, No. 4964. Ath Thabarani, Tahdzibul Atsar, No. 2682, 2747, katanya: shahih. Ad Daruquthni No. 1711. 
Al Haitsami mengatakan: rijal hadits ini mautsuq (bisa dipercaya). Majma’ Az Zawaid, 2/139) 

📗 Sementara Al Hafizh Az Zaila’i menyebutkan riwayat dari Ishaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya, lafaznya dari Rabi’ bin Anas: 

Ada seorang laki-laki datang kepada Anas bin Malik dan bertanya:

“Apakah Rasulullah berqunut selama satu bulan saja untuk mendoakan qabilah?” 

Anas pun memberikan peringatan padanya, dan berkata: “Rasulullah senantiasa berqunut shubuh sampai beliau meninggalkan dunia.” 

Ishaq berkata: hadits yang berbunyi: tsumma tarakahu (kemudian beliau meninggalkannya) maknanya adalah beliau meninggalkan penyebutan nama-nama qabilah dalam qunutnya.” (Nashbur Rayyah, 3/183) 

Jadi, bukan meninggalkan qunutnya, tetapi meninggalkan penyebutan nama-nama qabilah yang beliau doakan dalam qunut nazilah.

📗Imam Asy Syaukani, menyebutkan dari Al Hazimi tentang siapa saja yang berpendapat bahwa qunut shubuh adalah masyru’ (disyariatkan), yakni:

👉 kebanyakan manusia dari kalangan sahabat, tabi’in, orang-orang setelah mereka dari kalangan ulama besar, sejumlah sahabat dari khalifah yang empat, hingga sembilan puluh orang sahabat nabi, Abu Raja’ Al ‘Atharidi, Suwaid bin Ghaflah, Abu Utsman Al Hindi, Abu Rafi’ Ash Shaigh, dua belas tabi’in, juga para imam fuqaha seperti Abu Ishaq Al Fazari, Abu Bakar bin Muhammad, Al Hakam bin ‘Utaibah, Hammad, Malik, penduduk Hijaz, dan Al Auza’i. 

Dan, kebanyakan penduduk Syam, Asy Syafi’i dan sahabatnya, dari Ats Tsauri ada dua riwayat, lalu dia (Al Hazimi) mengatakan: kemudian banyak manusia lainnya. 

Al ‘Iraqi menambahkan sejumlah nama seperti Abdurraman bin Mahdi, Sa’id bin Abdul ‘Aziz At Tanukhi, Ibnu Abi Laila, Al Hasan bin Shalih, Daud, Muhammad bin Jarir, juga sejumlah ahli hadits seperti Abu Hatim Ar Razi, Abu Zur’ah Ar Razi, Abu Abdullah Al Hakim, Ad Daruquthni, Al Baihaqi, Al Khathabi, dan Abu Mas’ud Ad Dimasyqi. (Nailul Authar, 2/345-346). 

Itulah nama-nama yang meyetujui qunut shubuh pada rakaat kedua.

🔑 Nah, demikian peta perselisihan mereka, dan juga sebagian kecil dalil-dalil kedua kelompok. 


⚠ Pastinya, sekuat apapun seorang pengkaji meneliti masalah ini, dia tidak akan mampu menyelesaikan masalah ini, bahwa memang KHILAFIYAH ini benar-benar wujud (ada). ⚠

Maka, yang lebih esensi dan krusial pada saat ini adalah:
"🔎 Bagaimana mengelola perbedaan ini menjadi kekayaan yang bermanfaat, bukan warisan pemikiran yang justru membahayakan 🔍"

Selanjutnya, kita akan lihat bagaimana sikap para Imam Ahlus Sunnah menyikapi perselisihan qunut shubuh ini.


🍃1⃣ Imam Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu

Beliau adalah salah satu dari imam empat madzhab terkenal di dunia Islam, khususnya Ahlus Sunnah, yang memiliki jutaan pengikut di berbagai belahan dunia Islam.

Beliau termasuk yang menyatakan kesunahan membaca doa qunut ketika shalat shubuh.

Beliau sendiri memiliki sikap yang amat bijak ketika datang ke jamaah yang tidak berqunut shubuh.

Diceritakan dalam Al Mausu’ah sebagai berikut:

الشَّافِعِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَرَكَ الْقُنُوتَ فِي الصُّبْحِ لَمَّا صَلَّى مَعَ جَمَاعَةٍ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ فِي مَسْجِدِهِمْ بِضَوَاحِي بَغْدَادَ . فَقَال الْحَنَفِيَّةُ : فَعَل ذَلِكَ أَدَبًا مَعَ الإِْمَامِ ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ بَل تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي ذَلِكَ الْوَقْتِ .
“Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu meninggalkan qunut dalam shubuh ketika Beliau shalat bersama jamaah  kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka, di pinggiran kota Baghdad.

Berkata Hanafiyah: “Itu merupakan adab bersama imam.” Berkata Asy Syafi’iyyah (pengikut Asy Syafi’i): “Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya pada waktu itu.” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/302. Wizarah Al Awqaf Asy Syu’un Al Islamiyah)

🍃2⃣ Imam Ahmad bin Hambal Radhiallahu ‘Anhu

Pada sebagian riwayat, disebutkan bhwa Imam Ahmad bin Hambal termasuk yang membid’ahkan qunut dalam shubuh, namun Beliau memiliki sikap yang menunjukkan ketajaman pandangan, keluasan ilmu, dan kedewasaan bersikap.

Hal ini dikatakan oleh Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah sebagai berikut:

  فقد كان الإمام أحمدُ رحمه الله يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض.
“Adalah Imam Ahmad Rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (shubuh) adalah bid’ah.
Dia mengatakan: “Jika aku shalat di belakang imam yang berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian antara satu dengan yang lainnya.” (Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, Syarhul Mumti’, 4/25. Mawqi’ Ruh Al Islam)

🍃3⃣Imam Sufyan Ats Tsauri Radhiallahu ‘Anhu

Beliau mengatakan, sebagaimana dikutip Imam At Tirmidzi sebagai berikut:

قَالَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ فَحَسَنٌ
“Berkata Sufyan Ats Tsauri: “Jika berqunut pada shalat shubuh, maka itu  bagus, dan jika tidak berqunut itu juga bagus.” (Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401)

🍃4⃣Imam Ibnu Hazm Rahimahullah

Beliau berpendapat, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Asy Syaukani:

وقال الثوري وابن حزم : كل من الفعل والترك حسن
“Berkata Ats Tsauri dan Ibnu Hazm:  “Siapa saja yang yang melakukannya dan meninggalkannya, adalah baik.” (Nailul Authar, 2/346)

🍃5⃣Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah

Beliau memiliki pandangan yang jernih dalam hal qunut shubuh ini. Walau beliau sendiri lebih mendukung pendapat yang tidak berqunut.

Berikut ini ucapannya:

وَكَذَلِكَ الْقُنُوتُ فِي الْفَجْرِ إنَّمَا النِّزَاعُ بَيْنَهُمْ فِي اسْتِحْبَابِهِ أَوْ كَرَاهِيَتِهِ وَسُجُودِ السَّهْوِ لِتَرْكِهِ أَوْ فِعْلِهِ وَإِلَّا فَعَامَّتُهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى صِحَّةِ صَلَاةِ مَنْ تَرَكَ الْقُنُوتَ وَأَنَّهُ لَيْسَ بِوَاجِبِ وَكَذَلِكَ مَنْ فَعَلَهُ
“Demikian juga qunut subuh, sesungguhnya perselisihan di antara mereka hanyalah pada istihbab-nya (disukai) atau makruhnya (dibenci).

Begitu pula perselisihan seputar sujud sahwi karena  meninggalkannya atau melakukannya, jika pun  tidak qunut, maka kebanyakan mereka sepakat atas sahnya shalat yang meninggalkan qunut, karena itu bukanlah wajib.

Demikian juga orang yang melakukannya (qunut, maka tetap sah shalatnya –pen).”   (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 5/185. Mauqi’ Al Islam)

Beliau juga mengatakan bahwa para ulama sepakat berqunut atau tidak, shalat subuh adalah shahih.

Perbedaan terjadi pada mana yang lebih utama. Katanya:

اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ إذَا فَعَلَ كُلًّا مِنْ الْأَمْرَيْنِ كَانَتْ عِبَادَتُهُ صَحِيحَةً، وَلَا إثْمَ عَلَيْهِ: لَكِنْ يَتَنَازَعُونَ فِي الْأَفْضَلِ.
وَفِيمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ، وَمَسْأَلَةُ الْقُنُوتِ فِي الْفَجْرِ وَالْوِتْرِ، مِنْ جَهْرٍ بِالْبَسْمَلَةِ، وَصِفَةِ الِاسْتِعَاذَةِ وَنَحْوِهَا، مِنْ هَذَا الْبَابِ.
فَإِنَّهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى أَنَّ مَنْ جَهَرَ بِالْبَسْمَلَةِ صَحَّتْ صَلَاتُهُ، وَمَنْ خَافَتْ صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَعَلَى أَنَّ مَنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ صَحَّتْ صَلَاتُهُ، وَمَنْ لَمْ يَقْنُتْ فِيهَا صَحَّتْ صَلَاتُهُ، وَكَذَلِكَ الْقُنُوتُ فِي الْوِتْرِ.
Ulama sepakat bahwa melakukan salah satu di antara dua hal maka ibadahnya tetap shahih (sah), dan tidak berdosa atasnya, tetapi mereka berbeda pendapat tentang mana yang utama.

Pada apa yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, masalah qunut pada subuh dan witir, mengeraskan basmalah, bentuk isti’adzah, dan hal semisalnya yang termasuk pembahasan ini.

Mereka sepakat bahwa orang yang mengeraskan basmalah adalah sah shalatnya, dan yang menyembunyikan juga sah shalatnya, yang berqunut subuh sah shalatnya, begitu juga yang berqunut pada witir. (Al Fatawa Al Kubra, 2/116, Cet. 1,  1987M-1408H. Darul Kutub Al ’Ilmiyah)

🍃6⃣Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah

Beliau termasuk yang melemahkan pendapat qunut shubuh sebagaimana beliau uraikan dalam Zaadul Ma’ad, dan baginya adalah hal mustahil Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merutinkannya pada shalat shubuh.

Tetapi, tak satu pun kalimat darinya yang menyebut bahwa qunut shubuh adalah bid’ah, walau dia mengutip beberapa riwayat sahabat yang membid’ahkannya.

Bahkan Beliau sendiri mengakui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, kadang melakukan qunut dalam shalat shubuh.

Berikut ini ucapannya:

كَانَ تَطْوِيلَ الْقِرَاءَةِ فِي الْفَجْرِ وَكَانَ يُخَفّفُهَا أَحْيَانًا وَتَخْفِيفَ الْقِرَاءَةِ فِي الْمَغْرِبِ وَكَانَ يُطِيلُهَا أَحْيَانًا وَتَرْكَ الْقُنُوتِ فِي الْفَجْرِ وَكَانَ يَقْنُتُ فِيهَا أَحْيَانًا وَالْإِسْرَارَ فِي الظّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْقِرَاءَةِ ِكَانَ يُسْمِعُ الصّحَابَةَ الْآيَةَ فِيهَا أَحْيَانًا وَتَرْكَ الْجَهْرِ بِالْبَسْمَلَةِ وَكَانَ يَجْهَرُ بِهَا أَحْيَانًا .
“Dahulu Nabi memanjangkan bacaan pada shalat shubuh dan kadang meringankannya, meringankan  bacaan dalam shalat maghrib dan kadang memanjangkannya, beliau meninggalkan qunut dalam shubuh dan kadang dia berqunut, beliau  tidak mengeraskan bacaan dalam shalat  ashar dan kadang beliau memperdengarkan bacaannya kepada para sahabat, beliau tidak mengeraskan bacaan basmalah dan kadaang Beliau mengkeraskannya.

Beliau juga berkata:

وقنت في الفجر بعد الركوع شهراً، ثم ترك القنوت ولم يكن مِن هديه القنوتُ فيها دائماً، ومِنْ المحال أن رسولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كان في كل غداة بعد اعتداله من الركوع يقول: "اللَّهُمَ اهْدِني فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ وَلَّيْتَ..." الخ ويرفعُ بذلك صوته، ويؤمِّن عليه أصحابُه دائماً إلى أن فارق الدنيا
“(Beliau) Qunut dalam shubuh setelah ruku selama satu bulan, kemudian meninggalkan qunut. Dan, bukanlah petunjuk beliau melanggengkan qunut pada shalat shubuh, dan termasuk hal mustahil bahwa Rasusulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setiap paginya setelah i’tidal dari ruku mengucapkan: “Allahumahdini fiman hadait wa tawallani fiman tawallait ... dst” dengan meninggikan suaranya, dan selalu diaminkan oleh para sahabatnya sampai meninggalkan dunia. (Ibid, 1/271)

Lalu Ibnul Qayyim mengutip pertanyaan Sa’ad bin Thariq Al Asyja’i kepada ayahnya, di mana ayahnya pernah shalat dibelakang Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, Apakah mereka pernah qunut shubuh?
Ayahnya menjawab: Anakku, itu adalah muhdats (perkara yang diada-adakan). (HR. Ahmad, At tirmidzi, dan lainnya, At Tirmidzi mengatakan: hasan shahih)

Beliau juga mengutip    dari Said bin Jubair, dia berkata: aku bersaksi bahwa aku mendengar,  dari Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata, “Qunut yang ada pada shalat subuh adalah bid’ah.” (HR. Ad Daruquthni No. 1723)

Tetapi riwayat ini dhaif (lemah). (Nashbur Rayyah, 3/183). Imam Al Baihaqi mengatakan: tidak shahih. (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 2/345. Maktabah Ad Da’wah Al Islamiyah) Karena di dalam sanadnya ada periwayat bernama Abdullah bin Muyassarah dia adalah seorang yang  dhaiful hadits (hadits darinya dhaif).  (Imam Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib,  6/ 44. Lihat juga Imam Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 16/197)

Imam Ibnul Qayyim juga memaparkan adanya kelompok yang menolak qunut secara mutlak termasuk qunut nazilah, yakni para penduduk Kufah.
Beliau pun tidak menyetujui pendapat ini, hingga akhirnya Beliau menempuh jalan pertengahan, yakni jalannya para ahli hadits.

Katanya:

فأهلُ الحديث متوسطون بين هؤلاء وبين من استحبه عند النوازل وغيرها، وهم أسعدُ بالحديث من الطائفتين، فإنهم يقنُتون حيثُ قنت رسولُ اللّه صلى الله عليه وسلم، ويتركُونه حيث تركه، فيقتدون به في فعله وتركه،ويقولون: فِعله سنة، وتركُه لسنة، ومع هذا فلا يُنكرون على من داوم عليه، ولا يكرهون فعله، ولا يرونه بدعة، ولا فاعِلَه مخالفاً للسنة، كما لا يُنكِرون على من أنكره عند النوازل، ولا يرون تركه بدعة، ولا تارِكه مخالفاً للسنة، بل من قنت، فقد أحسن، ومن تركه فقد أحسن
“Maka, ahli hadits adalah golongan pertengahan di antara mereka (penduduk Kufah yang membid’ahkan) dan golongan yang menyunnahkan qunut baik nazilah atau selainnya, mereka telah dilapangkan oleh hadits dibandingkan dua kelompok ini.

Sesungguhnya mereka berqunut karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melakukannya, mereka juga meninggalkannya ketika Rasulullah meninggalkannya, mereka mengikutinya baik dalam melakukan atau meninggalkannya.

Mereka (para ahli hadits) mengatakan: melakukannya adalah sunah, meninggalkannya juga sunah, bersamaan dengan itu mereka tidak mengingkari orang-orang yang merutinkannya, dan tidak memakruhkan perbuatannya, tidak memandangnya sebagai bid’ah, dan tidaklah pelakunya dianggap telah berselisih dengan sunnah, sebagaimana mereka juga tidak mengingkari orang-orang yang menolak qunut ketika musibah, mereka juga tidak menganggap meninggalkannya adalah bid’ah, dan tidak pula orang yang meninggalkannya  telah  berselisih dengan sunnah, bahkan barang siapa yang berqunut dia telah berbuat baik, dan siapa yang meninggalkannya juga baik.” (Ibid, 1/274-275)

Syaikh ‘Athiyah Shaqr menilai pendapat pertengahan Imam Ibnul Qayyim ini adalah pendapat yang terbaik dalam masalah qunut. (Fatawa Al Azhar, 5/9)

🍃7⃣Para Ulama Lajnah Daimah Kerajaan Saudi Arabia

Mereka  saat itu diketuai oleh Syaikh Al ‘Allamah  Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah. Sebenarnya secara resmi Lajnah Daimah membid’ahkan prilaku merutinkan qunut pada shubuh, sebagaimana fatwa No. 2222. Namun, pada fatwa lainnya – yang ditanda tangani oleh Syaikh Ibnu Baz, Syaikh  Abdullah bin Mani’, Syaikh Abdullah bin Ghudyan, dan Syaikh Abdurrazzaq ‘Afifi-   mereka pun memberikan pandangan bijak, sebagai berikut:

وبالجملة فتخصيص صلاة الصبح بالقنوت من المسائل الخلافية الاجتهادية، فمن صلى وراء إمام يقنت في الصبح خاصة قبلالركوع أو بعده فعليه أن يتابعه، وإن كان الراجح الاقتصار في القنوت بالفرائض على النوازل فقط.
“Maka, secara global mengkhususkan doa qunut pada shalat shubuh merupakan masalah khilafiyah ijtihadiyah.

Barang siapa yang shalat di belakang imam yang berqunut shubuh, baik sebelum atau sesudah ruku, maka hendaknya dia mengikutinya.

Walau pun pendapat yang paling kuat adalah membatasi qunut hanya ada pada nazilah saja.”  (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyah wal Ifta’,  No. 902)

🍃8⃣Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin Rahimahullah

Beliau ditanya:

عندنا إمام يقنت في صلاة الفجر بصفة دائمة فهل نتابعه ؟ وهل نؤمن على دعائه ؟
Kami memiliki imam yang berqunut pada shalat subuh yang melakukannya secara terus menerus, apakah kami mesti mengikutinya? Dan apakah kami mesti mengaminkan doanya?

Beliau menjawab:

من صلى خلف إمام يقنت في صلاة الفجر فليتابع الإمام في القنوت في صلاة الفجر ، ويؤمن على دعائه بالخير ، وقد نص على ذلك الإمام أحمد رحمه الله تعالى
Barangsiapa yang shalat di belakang imam yang berqunut pada shalat subuh, maka hendaklnya dia mengikuti imam berqunut pada shalat subuh, dan mengaminkan doanya dengan baik.

Telah ada riwayat seperti itu dari Imam Ahmad Rahimahullah. (Syaikh Ibnu Al ‘Utsaimin, Majmu’ Fafatwa, 14/177)

🍃9⃣Syaikh Abdurrahman bin Abdullah Al Jibrin Rahimahullah

Beliau berpendapat jika qunut dilakukan tanpa sebab  maka itu makruh, namun dia tetap menasihati agar jika ada yang melakukan karena mengikuti pendapat madzhab Syafi’i maka itu jangan iingkari.

Katanya:

وبكل حال فمن قنت تبعاً للشافعية فلا يُنكر عليه ، ولكن الصحيح أنه لا يشرع . ولم يثبت عنه صلى الله عليه وسلم ، الاستمرار عليه . فالأظهر أنه مكروه بلاسبب والله علم .
Bagaimana pun juga, bagi siapa saja yang berqunut karena mengikuti syafi’iyah maka jangan diingkari, tetapi yang benar adalah itu tidak disyariatkan.

Tidak ada yang pasti dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau merutinkannya.

Maka, yang nampak adalah hal itu makruh dilakukan tanpa sebab. Wallahu A’lam. (Fatawa Islamiyah, 1/454. Dikumpulkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz Al Musnid)

Demikian.
Pemaparan ini bukanlah dalam rangka mengaburkan permasalahan, tetapi dalam rangka – sebagaimana kata Imam Ahmad- MENYATUKAN KALIMAT, MELEKATKAN HATI dan MENGHAPUSKAN KEBENCIAN sesama kaum muslimin.

Sebab, para imam yang berselisih pendapat pun memiliki sikap yang tidak melampaui batas-batas akhlak dan adab Islam dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam fiqih.

Sudah selayaknya kita mengambil banyak pelajaran dari para A’immatil A’lam (imam-imam dunia) ini.

Wa akhiru da’wana an alhamdulillahi rabbail ‘alamin.

Wallahu A’lam

🌿🌺🍂🍀🌼🍄🌷🍁🌹

🌼Dipersembahkan oleh grup WA - MANIS - MAJELIS IMAN ISLAM 🌼

- Twitter: @GrupMANIS
- Blog: www.grupmanis.blogspot.com

💼 Sebarkan! Raih pahala...

No comments

Powered by Blogger.