Sabar, Akhlak Orang Beriman
Pemateri: Dr. Wido Supraha
Sabar merupakan pancaran (dhiyaa-un, lihat Shahih Muslim No. 223) keshalihan kaum beriman, keunikan yang tidak ditemukan kecuali pada kaum beriman saja. Oleh karenanya, sabar bukanlah karakter yang bisa hadir secara instan, akan tetapi buah dari ikatan iman yang tinggi dan latihan ibadah yang terus menerus. Maka kualitas kesabaran pun akan terus meningkat seiring semakin istiqomah-nya frekuensi interaksi manusia kepada Sang Pencipta.
Berkata Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, bahwa sabar hukumnya wajib berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’ Ulama, begitupun akal sehat manusia, dalam kitabnya ash-Shabrul Jamiil fii Dhau-il Kitaab was Sunnah. Dalam pendapat yang senada, Syaikh Yusuf al-Qaradhawy menghubungkan sabar dengan nilai spiritual tertinggi dalam Islam, sehingga dengannya Al-Qur’an begitu memuji kedudukan dan status orang-orang yang sabar, bahkan menegaskan kaitannya sabar sebagai prasyarat kebaikan dunia dan akhirat, dalam kitabny ash-Shabru fil Qur’an.
Ketika Allah Swt memerintahkan kaum beriman untuk bersabar dan meneguhkan kesabarannya (Q.S. 3:200), maka sesungguhnya Allah Swt mewajibkan kaum beriman untuk sabar dalam keta’atan hanya kepadaNya, sabar dalam menjaga diri dari kemaksiatan yang tampak indah di dunia, sabar dalam wujud ridha atas qadha dan qadar-Nya, bahkan lebih jauh dari itu, kualitas sabar dalam upaya yang sungguh-sungguh untuk menjadi pemenang atas musuh-musuh mereka. Jangan sampai musuh-musuh mereka justeru lebih sabar daripada kaum beriman. Sabar yang seperti inilah yang akan membawa kaum beriman kepada keberuntungan. Ibn Katsir menjelaskan bahwa keberuntungan di dunia dan di akhirat akan diperoleh oleh mereka.
Kaum beriman belum layak mendapatkan kabar gembira dari Allah Swt. manakala begitu mudahnya mereka berputus asa dari kasih sayang Allah, padahal Allah baru sedikit saja memberikan rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan hasil usahanya atas diri mereka (Q.S. 2:155). Padahal Allah Swt. tidak suka dengan kaum yang cepat berputus asa, bahkan menyiapkan siksaan sebagai balasannya. Maka manakah yang akan dipilih oleh kaum beriman, apakah pahala Allah yang tidak memiliki batas (Q.S. 39:10) ataukah siksaNya. Sampai disini, kaum beriman diajarkan untuk terus optimis dalam hidupnya, terus berfikir positif untuk masa depan kaumnya.
Mintalah pertolongan Allah agar dimudahkan berkarakter sabar, dan iringi do’a tersebut dengan shalat (Q.S. 2:153), niscaya Allah akan bersama mereka senantiasa dalam suka dan dukanya. Kemampuan kaum beriman untuk sabar dalam seluruh dimensi kehidupan mereka dan seluruh pengalaman kehidupan mereka akan disaksikan oleh Allah Swt. dengan jelas sebagai bukti keberhasilan Allah menguji mereka siapa yang benar-benar berjihad dalam hidupnya dan sabar (Q.S. 47:31).
Keseriusan kaum beriman untuk memperhatikan kualitas sabar dalam diri mereka harus menjadi keniscayaan, karena Allah Swt pun tidak mengulang-ulang satu perkara dalam Al-Qur’an lebih sering kecuali ketika menyebut masalah sabar. Lebih dari 90 tempat dapat kita temukan dalam lembaran-lembaran suci tersebut. Oleh karenanya bekal kesabaran adalah bekal terbaik dalam mengarungi kehidupan yang sebentar ini.
Para Nabi dengan tingkat keshalihan jauh di atas kaum beriman adalah sosok-sosok yang paling berat tatkala mendapatkan cobaan begitupun tatkala sakaratul maut mereka. Begitupun di kalangan kaum beriman, semakin kuat keimanan seseorang, ujian untuk mereka jauh lebih berat. Seakan Allah ingin memastikan apakah layak setiap manusia menempati posisi terbaik di sisiNya dengan cara menguji keimanannya.
Ketika sakit Nabi Saw. merasakan panas tinggi dua kali lipat keumuman di masanya (lihat kesaksian Ibn Mas’ud dalam Shahih Bukhari dan Muslim (No. 2571). Ketika menjelang sakaratul maut pun, Anas dan Fathimah menyaksikan bagaimana Nabi Saw. beberapa kali tidak sadarkan diri merasakan begitu beratnya sakit yang dirasa (Fathul Bari VIII/149). Namun begitu, seorang Nabi hanya memikirkan satu hal dalam setiap penderitaan yang dialaminya, yakni bagaimana kualitas sabar kaum beriman di kemudian hari? Bahkan kebanyakan para Nabi memberikan teladan mereka menghadapi kebodohan dengan maaf dan toleransi, bahkan tatkala darah membasahi wajah mereka akibat perlakuan kaumnya, mereka bermunajat kepada Allah, “Allaahummaghfir li qaumii, fa innahum laa ya’lamuun). Lihat Shahih Muslim No. 1792.
Menurut Nabi Saw., sejak masa dahulu, kaum beriman senantiasa sabar dalam mempertahankan kehormatan iman mereka meski nyawa mereka harus menjadi balasannya (Shahih Muslim No. 3005). Tidak hanya Nabi Isa a.s. yang diberikan keutamaan oleh Allah Swt. untuk dapat berbicara ketika bayi, akan tetapi seorang bayi dari kalangan Bani Israil pernah tercatat dalam sejarah mampu berbicara kepada ibunya, ketika ibunya ragu apakah harus menjaga kehormatan imannya dengan cara menerima hukuman raja berupa masuk ke dalam kubangan api, ataukah melepaskan keimanannya. Bayi itu berkata, “Yaa ummahushbirii fa innaki ‘alal haqqi”. Ia termasuk satu dari tiga bayi yang ditetapkan Allah dapat berbicara semasa buaian.
Allah begitu memuliakan praktik sabar kaum beriman, khususnya sabar pada kesempatan pertama kali mereka harus menentukan antara sabar atau putus asa. Ash-shabru ‘inda shadmatil uula (lihat Shahih Muslim No. 926). Sabar seperti inilah yang akan membawa kaum beriman sebagai kaum terpuji, sabar yang hadir pada waktu yang tepat, sebagai wujud keikhlasan. Maka meninggalkan kesabaran berarti meninggalkan ketaqwaan.
Bagaimana respon kaum beriman ketika mendapatkan kenikmatan? Apakah ia langsung syukur? Bagaimana respon kaum beriman ketika mendapatkan kesusahan? Apakah ia langsung sabar?
Sebuah musibah tidak serta merta menyebabkan kaum beriman mendapatkan pahala, karena musibah bukanlah aktivitas manusia. Akan tetapi respon awal kaum beriman terhadap musibahlah, bersama kebaikan niat, keteguhan, kesabaran, dan keridhaannya, yang akan mengundang respon balik dari Allah Swt. Nabi Saw. menginginkan cara pandang penderitaan menjadi nikmat dan ujian menjadi anugerah untuk kandungan pahala dan kesudahan yang luar biasa. Lihat Shahih Muslim No. 2999.
Tatkala kaum beriman mendapatkan musibah, menangis, duka cita, adalah wujud kasih sayang yang diciptakan Allah Swt untuk setiap hamba-Nya yang lembut, dan tidak menafikan kesabaran seseorang. Kata Nabi Saw. terkait air mata yang mengalir di pipinya melihat cucunya, Ali bin Abu Al-‘Ash, dari putri tertuanya, Zainab, sekaligus anak gadis Khadijah, sedang sakit keras dan berada dalam sakaratul maut, “Hadzihi rahmatun ja’alahallaahu ta’aala fii quluubi ‘ibaadihi”, “fii quluubi man syaa-a min ‘ibaadihi, wa innamaa yarhamullaahu min ‘ibaadihirruhamaa-a.” Namun, menangis sembari meratap, menjadi terlarang bagi kaum beriman, seakan mereka tidak ridha dengan ketetapan Allah Swt.
Surga menjadi janji Allah Swt. kepada kaum beriman yang mampu sabar tatkala yang dicintainya lepas dari sisinya, apakah kekasihnya selama di dunia, penglihatan matanya, sampai kesabarannya dalam menderita penyakit menular di suatu negeri (hingga harus dikarantina), hingga kalaupun ia mati, Allah menganugerakan syahid baginya, karena senantiasa sabar mengharapkan ridha Allah Swt. (Lihat Fathul Bari VI/513).
Terkadang manusia menganggap bahwa penyakit yang ditimpakan kepada mereka adalah wujud bahwa Allah Swt. tidak sayang kepada mereka, padahal bagi kaum beriman justeru sebaliknya, penyakit justeru nikmat dari Allah Swt., karena dengan penyakit yang diturunkan Allah Swt. mereka mendapatkan kesempatan untuk dihapuskan segala kesalahan mereka (lihat Shahih Muslim No. 2573), bahkan dosa-dosa mereka akan digugurkan Allah Swt. laksana gugurnya dedaunan pohon (lihat Shahih Muslim No. 2571). Maka kita saksikan bagaimana Nabi Ayub a.s. dalam do’anya ia tidak meminta kesembuhan atas penyakit yang begitu berat ia derita, justeru ia menguatkan kasih sayang Allah Swt. dalam do’anya. (Q.S. 38:41-44).
Justeru bagi kaum beriman mereka akan merasa gundah gulana manakala tidak pernah ditimpakan cobaan di dunia, karena mereka mengetahui bahwa ciri seseorang itu dikehendaki kebaikan oleh Allah Swt. adalah dengan ditimpakannya cobaan atas mereka. Allah akan menyegerakan hukuman di dunia bagi hamba yang dikehendakinya kebaikan dan akan menahan kepada mereka yang akan memikul hukumanNya di akhirat. Dengan ujian tersebut kaum beriman akan semakin tinggi derajat, akan semakin terangkat posisinya, dan terhapus segala dosanya. Taqwa dan sabar pula yang telah membawa Nabi Ya’qub a.s. dan Nabi Yusuf a.s. mendapatkan balasan kebahagiaan dalam hidupnya. Bahkan sebagian ulama mengakui bahwa kualitas kesabaran Nabi Yusuf a.s. lebih tinggi dari Nabi Ya’qub a.s. dan Nabi Ayub a.s. karena kesabaran Nabi Yusuf a.s. bersifat ikhtiari (ada pilihan tatkala bersama isteri al-Aziz pada waktu dan tempat yang sangat mendukung untuknya bermaksiat kepada Allah Swt.), sementara yang lainnya bersifat idhthirari (tiada jalan lain kecuali menerimanya).
Kaum beriman pun dilarang mengharapkan kematian tatkala merasa tidak mampu menghadapi ujian kehidupan dan da’wah. Kalaupun terpaksa yang diizinkan adalah berdo’a mengharapkan keputusan terbaik dari Allah Swt. dengan bermunajat “Allaahumma ahyinii maa kaanatil hayaatu khairan lii wa tawaffanii idzaa kaanatil wafaatu khairan lii.” (Lihat Shahih Muslim No. 2680). Khabbab bin al-Aratt pun tidak berani meminta kematian karena teringat larangan Nabi Saw. ini, meskipun pada saat itu ia disiksa dengan besi panas hingga tujuh kali. Nabi Saw. pun menceritakan bagaimana siksaan atas kaum beriman di masa sebelumnya jauh lebih berat lagi, dimana ada yang digergaji kepalanya menjadi dua bagian, ada yang yang disisir di bagian bawah kulit dan tulangnya dengan sisir besi, namun itu tidak menggoyahkan sabar-nya kaum beriman, karena kelak akan ada masa dimana kaum beriman tidak akan pernah khawatir berjalan dari Shan’a di Damaskus menuju Hadramaut, dalam arti kemenangan dakwah kaum beriman.
Harapan untuk tetap hidup adalah baik bagi kaum beriman karena dengannya ia tetap dalam melanjutkan amal-amal shalihnya, dan hal ini bukan berarti kaum beriman benci bertemu Allah Swt. dengan kematiannya. Justeru dengan kehidupan, kaum beriman belajar untuk terus optimis menata kehidupan dunia bersama seruan-seruan suci mereka mengajak lebih banyak pengikut ke dalam golongan kaum beriman dengan sabar sebagai karakter dasar.
Dengan sabar, kaum beriman pun semakin cerdas dalam menata amarahnya agar tidak tercampuri godaan syiathan. Nabi Saw. berpesan kepada orang yang berada dalam kemarahan untuk mengucapkan A’udzubillaahi minasysyaithaanirrajiim (Lihat Shahih Muslim No. 2610 yang merujuk Q.S. 7:200). Mereka yang berhasil menata amarahnya sehingga bernilai kebaikan, kelak akan dipanggil Allah Swt. di hadapan sekalian makhluk, sembari dipersilahkan memilih bidadari Surga sekehendak hatinya. Subhanallah. ‘Janganlah marah’ menjadi satu nasihat penting Rasulullah dalam beberapa kesempatan beliau,
Dengan demikian pada akhirnya kaum beriman tersadarkan bahwa ternyata semua bentuk ujian dan cobaan di dunia ini pada akhirnya bertujuan mensucikan kaum beriman sehingga menghadap Allah Yang Maha Tinggi kelak tanpa membawa dosa (Lihat H.R. at-Tirmidzi No. 2399) dan bertemu dengan Rasulullah di al-Haudh (Lihat Shahih Muslim No. 1845).
Allaahumma munzilal kitaabi, wa mujriyassahaabi, wa hazimal ahzaabi, ihzimhum wanshurnaa ‘alaihim.
(wido@supraha.com)
Dipersembahkan oleh grup WA - MANIS - MAJELIS IMAN ISLAM
Post a Comment