Hukum dan Pelajaran di bulan Muharam Dan Hari Asyuro

Pemateri: Ust. ABDULLAH HAIDIR Lc.

Ibnu Abbas ra berkata, “Ketika Rasulullah saw tiba di Madinah, beliau menyaksikan orang-orang Yahudi ber-puasa pada hari ‘Asyuro, maka dia berkata, “(Hari) apa ini?”

Mereka menjawab, “Ini adalah hari istimewa, karena pada hari ini Allah selamatkan Bani Isra’il dari musuhnya, karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini.” Rasulullah saw bersabda:

« فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ »

“Saya lebih berhak mengikuti Musa daripada kalian.”

Maka beliau berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.” 

(Shahih Bukhari, Kitab Ash-Shaum, no. 2004,  redaksi dari beliau, dan Shahih Muslim, Kitab Ash-Shiyam, no. 127-(1130), redaksinya: “Kita lebih layak terhadap musa dari kalian.")

1. Umat Muhammad Rasulullah saw adalah Ummatun Marhumah, ummat yang disayang oleh Allah Ta’ala.

Selain bahwa umat ini tidak diazab secara nasal spt umat terdahulu, sebagaimana dinyatakan Rasulullah saw dalam salah satu haditsnya,  di sisi lain kita dapatkan juga kasih sayang Allah kepada umat ini dengan berbagai kesempatan  yang disediakan untuk beramal sebanyak-banyaknya.

Sehingga walaupun ummat ini berusia lebih pendek di banding umat terdahulu, namun seakan-akan mereka diberi usia panjang dengan banyak kesempatan beramal shaleh yang pahalanya Allah lipatgandakan.

Baru saja kemarin kita disibukkan dengan amal ibadah di bulan Ramadhan, kemudian Allah perintahkan kita untuk berpuasa enam hari di bulan Syawwal, lalu setelah itu kita dipertemukan dengan sepuluh hari bulan Dzulhijjah dengan berbagai keutamaan serta ibadah yang Allah sediakan bagi kita, kemudian sete-lah itu di bulan Muharram, kita diperte-mukan dengan hari Asyuro dengan ibadah dan keutamaan di dalamnya.

2. Hubungan berdasarkan keimanan, lebih kuat dan lebih bermanfaat daripada hubungan yang sekedar kekerabatan atau kesukuan.

Hal tersebut tercermin dalam ungkapan Rasulullah saw yang mengomentari sikap orang Yahudi yang mengikuti Nabi Musa berpuasa ‘Asyuro dengan landasan hubungan kekerabatan. Beliau bersabda:

 “Aku lebih berhak mengikuti Musa dibanding kalian.”

Karena hubungannya dengan Nabi Musa adalah hubungan keimanan yang berada di atas hubungan kekerabatan.

3. Hijrah merupakan pelajaran yang sangat berharga dalam kehidupan seorang muslim yang ingin menjaga keimanan dan keyakinannya.

Hari ‘Asyuro mengingatkan kita pada sejarah Nabi Musa tentang  pengorbanan dan perjuangan untuk membela dan melindungi keimanan, apapun resikonya, sampai pada taraf mereka harus angkat kaki dari negerinya untuk membawa dan menyelamatkan keimanannya.

4. Umat Islam seharusnya memiliki jati diri yang nyata dalam kehidupan.

Perintah Rasulullah saw dalam berbagai kesempatan agar kita berbeda dengan orang Yahudi dan Nashrani adalah sebuah ajaran agar kita sebagai seorang muslim memiliki karakteristik khusus sesuai dengan keimanan kita kepada Allah Ta’ala.

Jangan sampai kita menggantungkan kecintaan kita, kebiasaan hidup kita, apalagi dalam masalah ibadah dan keyakinan kita dengan mengikuti ajaran keyakinan lain.

5. Pentingnya melakukan tabayyun (pengecekan) dalam berbagai hal, lalu menyatakan sikap yang tegas untuk mengatasinya.

Ketika Rasulullah saw melihat kaum Yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharram, beliau bertanya dahulu tentang alasan mereka berpuasa, baru setelah itu beliau menyikapinya.

6. Ibadah merupakan realisasi syukur yang paling nyata kepada Allah Ta’ala.

Selamatnya nabi Musa alaihissalam dari  kejaran Fir’aun disikapi dengan beribadah puasa sebagai rasa syukur kepada Allah Ta’ala, bukan dengan berpesta pora plus kemaksiatan, sebagaimana yang sering kita saksikan.

7. Islam selalu menuntut umatnya berada dalam posisi wasathiyah (pertengahan), tentu dengan bimbingan dan landasan syari’ah. Tidak bersikap Ifrath (berlebih-lebihan) dan Tafrith (Sembrono).

Menjadikan hari Asyuro sebagai hari kesedihan di satu pihak ala kaum syiah yang meratapi terbunuhnya Husein ra, sementara pihak lainnya menjadikannya sebagai hari bersuka cita......ini adalah fenomena Ifrath wa Tafrith.

8. Menolak kemungkaran tidak dibenar-kan jika dilakukan dengan kemungkaran yang lain.

Penolakan kaum Nawasib (yang memusuhi ahlul bait) yang bersuka cita pada hari kematian Husein sebagai penolakan terhadap kebatilan orang Syiah yang mengeksploitasi kesedihan pada hari yang sama adalah langkah yang tidak disetujui oleh para ulama.

Wallahu A'lam.

》Dipersembahkan oleh grup WA - MANIS - MAJELIS IMAN ISLAM《

No comments

Powered by Blogger.