Menjawab Tuduhan Islam Tidak Menyayangi Hewan Kala Idul Adha
Oleh Ahmad Sarwat, Lc., MA*
Menyembelih hewan untuk dimakan bukan termasuk menyiksa dan menzalimi, tetapi memang asal mulanya Allah SWT menciptakan hewan-hewan itu sebagai rizki kepada manusia. Yang tidak boleh disembelih itu manusia atau hewan-hewan langka yang ditakutkan kepunahannya. Atau sekedar membunuh untuk kesenangan sehingga hewan-hewan itu mati sia-sia.
Sedangkan kambing, sapi dan unta termasuk jenis ternak yang mudah dikembang-biakkan dengan cepat. Dan sudah sejak zaman dahulu kala, hewan-hewan itu dipelihara untuk dikonsumsi umat manusia.
Di luar Idul Adha, di muka bumi ini setiap hari ada jutaan hewan yang disembelih untuk dimakan dagingnya. Kalau lah umat Islam menyembelih hewan qurban pada Idul Adha, tentu saja tidak boleh dituduh sebagai zalim kepada hewan. Sebab tujuan menyembelih itu bukan semata-mata untuk kesenangan atau hiburan, melainkan untuk dimakan oleh mereka yang membutuhkan.
Tentu tidak adil kalau menuduh Islam itu kejam hanya karena ada syariat menyembelih hewan pada Idul Adha, sementara ada jutaan umat manusia di seluruh dunia yang tiap hari juga menyembelih hewan yang sama. Tetapi mereka tidak dituduh sebagai kejam.
Islam Memerintahkan Kita Menyayangi Hewan
Islam adalah agama yang sempurna, dimana seluruh aspek kehidupan manusia telah diatur sedemikian rapi. Hal ini karena Islam datang membawa kasih sayang dan rahmat bagi alam semesta.
Di antara bentuk rahmat agama ini bahwa syariat Islam telah sejak dahulu menggariskan kepada pemeluknya agar berbuat baik dan menaruh belas kasihan terhadap binatang. Prinsip ini telah ditancapkan jauh sebelum munculnya organisasi atau kelompok pecinta atau penyayang binatang.
Karena menyayangi binatang adalah bagian dari ajaran agama ini, maka sepanjang sejarah umat Islam, mereka menjaga dan menjalankan prinsip ini dengan baik.
Namun ada perbedaan yang mendasar sekali antara keumuman kelompok pecinta binatang dengan kaum muslimin dalam menyayangi binatang. Kaum muslimin melakukannya karena sikap patuh terhadap perintah agama dan adanya harapan mendapatkan pahala dari menyayangi binatang serta takut terhadap azab neraka bila sampai menzalimi binatang. Nabi SAW bersabda:
مَنْ لا يَرْحَمْ لا يُرْحَمْ
“Orang yang tidak menyayangi maka tidak disayangi (oleh Allah SWT).” (HR. Al-Bukhari)
Sahabat Abu Hurairah radhiyallahuanhu meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فَاشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطْشُ فَنَزَلَ بِئْرًا فَشَرِبَ مِنْهَا ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا هُوَ بِكَلْبٍ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطْشِ فَقَالَ: لَقَدْ بَلَغَ هَذَا مِثْلُ الَّذِي بَلَغَ بِـي. فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ ثُمَّ رَقى فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ لَنَـا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا؟ قَالَ: فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطبَةٍ أَجْرٌ
Ketika tengah berjalan, seorang laki-laki mengalami kehausan yang sangat. Dia turun ke suatu sumur dan meminum darinya. Tatkala ia keluar tiba-tiba ia melihat seeokor anjing yang sedang kehausan sehingga menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah yang basah. Orang itu berkata: “Sungguh anjing ini telah tertimpa (dahaga) seperti yang telah menimpaku.” Ia (turun lagi ke sumur) untuk memenuhi sepatu kulitnya (dengan air) kemudian memegang sepatu itu dengan mulutnya lalu naik dan memberi minum anjing tersebut. Maka Allah SWT berterima kasih terhadap perbuatannya dan memberikan ampunan kepadanya.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasullulah, apakah kita mendapat pahala (bila berbuat baik) pada binatang?” Beliau bersabda: “Pada setiap yang memiliki hati yang basah maka ada pahala.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Bila orang yang berbuat baik kepada binatang mendapatkan ampunan dari Allah, maka sebaliknya orang yang menzalimi binatang akan diancam dengan azab. Nabi SAW bersabda:
عُذِّبَتِ امْرَأَةٌ فِي هِرَّةٍ سَجَنَتْهَا حَتَّى مَاتَتْ، فَدَخَلَتْ فِيْهَا النَّارَ لَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا وَسَقَتْهَا إِذْ حَبَسَتْهَا وَلَا هِيَ تَرَكَتْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ
“Seorang wanita disiksa karena kucing yang dikurungnya sampai mati. Dengan sebab itu dia masuk ke neraka, (dimana) dia tidak memberinya makanan dan minuman ketika mengurungnya, dan dia tidak pula melepaskannya sehingga dia bisa memakan serangga yang ada di bumi.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim, dari sahabat Abdullah bin Umar)
Tiada satu kebaikan pun kecuali Rasulullah SAW telah menjelaskan kepada umatnya, sebagaimana tiada kejelekan apapun kecuali umat telah diperingatkan darinya. Kita tahu bahwa Rasulullah n tidaklah diutus kecuali membawa rahmat, sebagaimana firman Allah:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (Al-Anbiya: 107)
Di antara nama Rasulullah n adalah Nabiyurrahmah, yaitu nabi yang membawa kasih sayang. Rahmat beliau tentu tidak khusus untuk manusia bahkan untuk alam semesta, termasuk binatang.
A. Dalil Perintah Menyayangi Hewan
Di antara perintah-perintah agama Islam dalam menyayangi hewan tercermin pada perintah untuk memberi pakan pada hewan, tidak memeras tenaganya, tidak menyiksa dengan memberi cap dengan besi panas, juga tidak menjadikan hewan itu sebagai sasaran dalam memanah.
Kalau pun memang kita butuh untuk memakan dagingnya, maka diwajibkan dengan cara yang sebaik-baiknya, misalnya dengan menyembelihnya dan diusahakan agar pisau yang digunakan adalah pisau yang tajam.
1. Memperhatikan Pemberian Makanan
Ada sebuah hadits Nabi yang barangkali sudah banyak dilupakan orang, padahal bila aktifis penyayang binatang pernah membaca hadits ini, pastilah mereka akan terkagum-kagum pada agama Islam, karena sangat perhatian kepada hewan.
Hadits tersebut terkait dengan perintah untuk memperhatikan makanan buat hewan :
إِذَا سِرْتُمْ فِي أَرْضٍ خصْبَةٍ فَأَعْطُوا الدَّوَابَّ حَظَّهَا وَإِذَا سِرْتُمْ فَي أَرْضٍ مَجْدَبَةٍ فَانْجُوا عَلَيْهَا
“Bila kamu melakukan perjalanan di tanah subur, maka berilah binatang (tunggangan) itu haknya. Bila kamu melakukan perjalanan di bumi yang tandus maka percepatlah perjalanan.” (HR. Al-Bazzar)
Hadits ini memberi petunjuk bila seseorang melakukan perjalanan dengan mengendarai binatang serta melewati tanah yang subur dan banyak rumputnya agar memberi hak hewan dari rumput dan tetumbuhan yang ada di tempat itu.
Nabi SAW memerintahkan kita untuk memberikan kesempatan kepada hewan tunggangan kita, agar bisa menikmati makanannya, baik berupa rumput atau tumbuhan yang ada di sekitarnya.
Namun bila melewati tempat yang tandus sementara dia tidak membawa pakan binatang tunggangannya serta tidak menemukan pakan di jalan, hendaknya dia mempercepat perjalanan agar dia sampai tujuan sebelum binatang itu kelelahan.
Bagaimana mungkin agama Islam bisa sampai dituduh sebagai inspirator terorisme, padahal urusan makanan unta dan kuda saja, segitu besar perhatiannya. Sayangnya, banyak sekali orang yang tidak tahu tentang hal-hal kecil seperti ini, bahkan sedikit sekali umat Islam yang pernah membaca hadits ini.
2. Tidak Memeras Tenaga Binatang Berlebihan
Ada lagi hadits lainnya yang menceritakan kepada kita kisah menarik bak mukjizat Nabi Sulaiman alaihissalam. Ternyata bukan hanya Nabi Sulaiman saja yang bisa berbicara dengan hewan, rupanya dengan izin Allah SWT, ternyata unta pun bisa berbicara dengan Nabi Muhammad SAW sambil mengeluhkan keadaannya.
Dari sahabat Abdullah bin Ja’far radhiyallahuanhu berkata: Nabi SAW pernah masuk pada suatu kebun dari kebun-kebun milik orang Anshar untuk suatu keperluan. Tiba-tiba di sana ada seekor unta. Ketika unta itu melihat Nabi SAW maka unta itu datang dan duduk di sisi beliau SAW dalam keadaan berlinang air matanya. Nabi SAW bertanya, “Siapa pemilik unta ini?” Maka datang (pemiliknya) seorang pemuda dari Anshar. Nabi SAW bersabda,
“Tidakkah kamu takut kepada Allah dalam (memperlakukan) binatang ini yang Allah menjadikanmu memilikinya?. Sesungguhnya unta ini mengeluh kepadaku bahwa kamu meletihkannya dengan banyak bekerja.” (HR. Abu Dawud)
Coba perhatikan sekali lagi, bahkan seekor unta pun bisa berlinang air mata, karena merasa diperas tenaganya oleh tuannya. Dan atas perilaku yang tidak berperi-kebinatangan ini, maka Rasulullah SAW pun menegus shahabatnya itu.
Perilaku menyayangi hewan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW itu berbekas di hati para shahabat beliau, sehingga kita juga menemukan riwayat yang indah tentang hal ini.
Ada sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Saad bahwa Umar bin Al-Khaththab radhiyallahuanhu ketika mengetahui ada seorang mengangkut barang menggunakan unta yang melebihi kemampuan, maka sebagai penguasa beliau pun memukul orang tersebut sebagai bentuk hukuman, sambil menegurnya dan berkata :
“Mengapa kamu mengangkut barang di atas untamu sesuatu yang dia tidak mampu?”
Kita juga mengenal Abu Ad-Darda’ radhiyallahuanhu yang punya unta bernama Dimun. Bila orang-orang meminjam untanya, beliau pun sering meminjamkan, namun sambil berpesan untuk tidak membebaninya kecuali sekian dan sekian, yakni batas kemampuan unta. Karena unta itu tidak mampu membawa yang lebih dari itu.
Maka ketika kematian telah datang menjemput Abud Darda, beliau berkata:
“Wahai Dimun, janganlah kamu mengadukanku besok di hari kiamat di sisi Allah, karena aku tidaklah membebanimu kecuali apa yang kamu mampu.[1]
Seandainya umat Islam, khususnya di Saudi Arabia sekarang ini membaca hadits ini, tentu kita tidak perlu membaca berita duka tentang bagaimana para tenaga kerja Indonesia yang diperas tenaganya, bahkan tidak sedikit yang mengalami penyiksaan.
Kalau unta yang diperas tenaganya bisa berlinang air mata dan mengadukan nasibnya kepada Rasulullah SAW, maka seharusnya para pembantu rumah tangga yang mati disiksa dan diperkosa, harus lebih diperhatikan lagi nasibnya.
Maka bila ada stigmatisasi yang keliru tentang Islam, sebenarnya yang salah adalah umatnya sendiri, yang boleh jadi sangat awam dan asing dengan ajaran agamanya. Padahal, jangankan manusia, hewan sekali pun wajib disayangi, dengan tidak memeras tenaganya.
3. Tidak Memberi Cap Dengan Besi Panas
Kebiasaan buruk yang termasuk menyiksa hewan tapi sering kita jumpai di berbagai negara adalah memberi cap pada bagian tertentu dari tubuh hewan ternak, dengan menggunakan besi panas.
Meski hanya hewan dan bukan manusia, tetap saja mereka bisa merasakan sakit. Meski tujuannya mungkin baik, yaitu untuk memberi tanda, tetapi bila dilakukan dengan cara menempelkan besi panas, tetap saja merupakan bentuk penyiksaan yang dilarang dalam syariat Islam.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa suatu hari Rasulullah SAW melewati seekor keledai yang dicap pada wajahnya dengan besi panas sehingga menjadi tanda yang tidak hilang seumur hidup. Maka kontan beliau SAW menegaskan bahwa perbuatan itu akan melahirkan laknat dari Allah SWT. Beliau SAW bersabda :
لَعَنَ اللهُ الَّذِي وَسَمَهُ
Allah melaknat orang yang memberinya cap.” (HR. Muslim)
Pesan yang kita tangkap dari hadits ini adalah bahwa kita dilarang menyiksa hewan dengan cara apapun, meski untuk tujuan yang baik dan benar.
4. Tidak Menjadikan Sasaran Memanah
Memanah untuk berburu hewan yang memang untuk dimakan huhkumnya halal. Tetapi bila memanah itu hanya untuk iseng-iseng, atau sekedar permainan, sementara yang dijadikan sasaran adalah hewan yang hidup, maka hukumnya haram.
Sebab tujuannya bukan untuk diambil manfaatnya melainkan untuk disiksa. Yang haram dalam hal ini adalah penyiksaannya, bukan memanahnya.
Ibnu Umar radhiyallahuanhu berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW mengutuk orang yang menjadikan sesuatu yang padanya ada ruh sebagai sasaran untuk dilempar.” (HR. Bukhari Muslim)
Inilah sekelumit dari sekian banyak petunjuk Nabi kita SAW. Lalu setelah ini, apakah masih ada orang-orang non-muslim yang mengatakan bahwa Islam menzalimi binatang?! Sungguh keji dan amat besar kedustaan yang keluar dari mulut-mulut mereka!
5. Menajamkan Pisau
Hewan ternak memang Allah SWT ciptakan untuk kepentingan umat manusia. Dan Allah SWT telah mengizinkan kita sebagai manusia, selain untuk ditunggangi juga untuk kita sembelih dan kita makan dagingnya.
Pisau yang tumpul dan tidak tajam akan sulit digunakan untuk menyembelih sehingga binatang yang disembelih tersiksa karenanya. Nabi SAW bersabda:
إِنَّ اللهَ كَتَبَ الإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِّبْحَةَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ وَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ
Sesungguhnya Allah l telah menentukan untuk berbuat baik terhadap segala sesuatu. Bila kamu membunuh maka baguskanlah dalam membunuh dan bila menyembelih maka baguslah dalam cara menyembelih. Hendaklah salah seorang kamu menajamkan belatinya dan menjadikan binatang sembelihan cepat mati.” (HR. Muslim)
Mengasah pisau bukan untuk menyiksa, justru manfaatnya adalah hewan itu tidak perlu terlalu lama mengalami sekarat. Semakin tajam pisau yang digunakan, maka akan semakin baik bagi hewan itu.
Dan menarik untuk diperhatikan, bahwa mengasah pisau untuk menyembelih hewan pun juga dilarang bila dilakukannya di depan hewan itu. Ada hadits yang secara tegas melarangnya.
Dahulu Nabi SAW pernah pernah menegur orang yang melakukan demikian dengan sabdanya:
“Mengapa kamu tidak mengasah sebelum ini?! Apakah kamu ingin membunuhnya dua kali?!” (HR. Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi)
B. Fatwa Ulama
Bimbingan Nabi SAW dan contoh mulia dari salaf umat ini senantiasa membekas pada benak para ulama. Oleh karenanya, ulama fiqih telah memberikan penjelasan hukum seputar menyayangi binatang, sehingga perkara ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena, seseorang tidak bisa berbuat kebajikan yang besar bila yang kecil saja diabaikan.
1. Tidak Menjadikan Hewan Sebagai Kursi
Al-Imam Ibnu Muflih dalam kitabnya ‘Al-Adab Asy-Syar’iyah, menyebutkan pembahasan tentang makruhnya berlama-lama memberdirikan binatang tunggangan dan binatang pengangkut barang melampaui kebutuhannya. [2]
Hal ini berdasarkan hadits Nabi SAW:
“Naikilah binatang itu dalam keadaan baik dan biarkanlah ia dalam keadaan bagus, serta janganlah kamu jadikan binatang itu sebagai kursi.” (HR. Ahmad)
Maksudnya, janganlah salah seorang dari kalian duduk di atas punggung binatang tunggangan untuk berbincang-bincang bersama temannya, dalam keadaan kendaraan itu berdiri seperti kalian berbincang-bincang di atas kursi.
Namun larangan dari berlama-lama di atas punggung binatang ini bila tidak ada keperluan. Sedangkan bila diperlukan seperti di saat perang atau wukuf di padang Arafah ketika haji maka tidak mengapa. [3]
2. Wajib Memberi Makan Hewan
Mar’i Al-Hanbali berkata:
"Wajib atas pemilik binatang untuk memberi makanan dan minumannya. Jika dia tidak mau memberinya maka dipaksa (oleh penguasa) untuk memberinya. Bila dia tetap menolak atau sudah tidak mampu lagi memberikan hak binatangnya maka ia dipaksa untuk menjualnya, menyewakannya, atau menyembelihnya bila binatang tersebut termasuk yang halal dagingnya.
Diharamkan untuk mengutuk binatang, membebaninya dengan sesuatu yang memberatkan, memerah susunya sampai pada tingkatan memudharati anaknya, memukul dan memberi cap pada wajah, serta diharamkan menyembelihnya bila tidak untuk dimakan."
Sebagian ahli fiqih menyebutkan bahwa apabila ada kucing buta berlindung di rumah seseorang, maka wajib atas pemilik rumah itu untuk menafkahi kucing itu karena ia tidak mampu pergi.
Ibnu As-Subki berkata ketika menyebutkan tukang bangunan yang biasa menembok dengan tanah dan semisalnya:
“Termasuk kewajiban tukang bangunan untuk tidak menembok suatu tempat kecuali setelah memeriksanya apakah padanya ada binatang atau tidak. Karena kamu sering melihat kebanyakan pekerja bangunan itu terburu-buru menembok, padahal terkadang mengenai sesuatu yang tidak boleh dibunuh kecuali untuk dimakan, seperti burung kecil dan semisalnya.
Dia membunuh binatang tadi dan memasukannya ke dalam lumpur tembok. Dengan ini ia telah berkhianat kepada Allah SWT dari sisi membunuh binatang ini.
3. Tidak Boleh Mengurung Burung
Asy-Syaikh Abu Ali bin Ar-Rabbal berkata:
“Apa yang disebutkan tentang (bolehnya mengurung burung dan semisalnya) hanyalah bila padanya tidak ada bentuk menyiksa, membikin lapar dan haus meski tanpa sengaja. Atau mengurungnya dengan burung lain yang akan mematuk kepala burung yang sekandang, seperti yang dilakukan oleh ayam-ayam jantan (bila) berada di kurungan, sebagiannya mematuk sebagian yang lain sampai terkadang yang dipatuk mati. Ini semua, menurut kesepakatan ulama, adalah haram.”[4]
Coba cermati ucapan Abu Ali bin Ar-Rahhal, lalu bagaimana dengan orang yang sengaja mengadu ayam jantan, benggala (domba), dan semisalnya?! Apakah tidak lebih haram?!
Wallahu a'lam bishshawab.
[1] Ash-Shahihah, jilid 1 hal. 67-69
[2] Ibnu Muflih,‘Al-Adab Asy-Syar’iyah, jilid 3
[3] Faidhul Qadir, jilid 1 jhal. 611
[4] Dr. Abdul Aziz As-Sadhan, Arba’un Haditsan fit Tarbiyati wal Manhaj hal. 32-33
Post a Comment