Mengingat tentang Kronologis kematian Munir
jabung-online.org - Siapa di Indonesia yang tidak kenal dengan Munir Said Thalib? Seorang sosok aktivis HAM yang namanya tiba-tiba membanjiri banyak media masa pada akhir tahun 2004 karena kematiannya yang begitu misterius. Hasil otopsi jenazah Munir yang yang menyatakan jika Munir telah meninggal karena terdapat kandungan arsenik yang melampaui batas di dalam tubuh Munir. Benarkah Munir dibunuh? Atau justru Munir yang terbunuh?
Berikut ini kronologi kasus kematian mantan koordinator KONTRAS :
6 September 2004 Pukul 21.55 WIB
6 September 2004 malam, di lobi Bandara Soekarno Hatta, Munir Said Thalib akan berpisah dengan istrinya, Suciwati, selama satu tahun. Munir akan melanjutkan studi S2 hukum di Universitas Utrecht, Belanda.
Pollycarpus
Pada saat ingin memasuki pintu pesawat kelas bisnis, Munir bertemu Pollycarpus (anggota pilot senior Garuda Indonesia yang saat itu sedang tidak bertugas). Munir bertanya kepada Polly, “Tempat duduk ini di mana?” Polly menjawab, “Wah, Bapak ini di ekonomi, cuma tempat duduknya di mana saya tidak hafal.”
Ketika melangkah di dalam pesawat, Polly berkata kepada Munir, “Saya duduk di bisnis, kalau Bapak mau di sini, ya Bapak tanya dulu sama pimpinan kabin (purser), kalau diizinkan ya silakan, bila tidak, ya mohon maaf.”
Munir dan Polly pun bertukar tempat duduk. Munir duduk di kursi 3 K kelas bisnis, sedangkan Polly duduk di kursi 40 G kelas ekonomi.
Di depan toilet kelas bisnis, Polly bertemu purser Brahmanie Hastawaty. Polly bertanya kepada Brahmanie, “Mbak, nomor 40 G di mana? Saya bertukar tempat dengan teman saya.” Brahmanie kemudian menganjurkan Polly untuk duduk di kursi 11 B kelas premium karena banyak kursi yang kosong di sana. Brahmanie penasaran untuk mengetahui teman Polly bertukar tempat duduk; dia pun memeriksanya dan mendapati Munir; keduanya kemudian saling bersalaman.
Sebelum pesawat terbang, Yetti Susmiarti dibantu Oedi Irianto (pramugari dan pramugara senior), membagikan welcome drink kepada penumpang. Munir memilih jus jeruk.
Pukul 22.02 WIB, pesawat lepas landas. 15 menit setelah lepas landas, pramugari membagikan makanan dan minuman kepada penumpang. Munir memilih mie goreng dan kembali jus jeruk sebagai minumannya.
Setelah terbang selama 1 jam 38 menit, pesawat transit di bandara Changi, Singapura. Penumpang diberikan kesempatan berjalan-jalan di bandara Changi selama 45 menit. Munir singgah ke Coffee Bean.Polly bersama seluruh kru pesawat menuju ke hotel dengan menggunakan bus.
Setelah selesai, Munir kembali ke pesawat. Di pintu masuk pesawat, Munir bertemu dr. Tarmizi. Keduanya pun saling bercerita; Tarmizi memberikan kartu nama kepada Munir. Keduanya pun berpisah, Tarmizi duduk di kelas bisnis, sedangkan Munir kembali ke tempat duduknya di kursi 40 G kelas ekonomi. Polly tidak lagi melanjutkan perjalanan karena memang memiliki tugas di Singapura.
Pesawat lepas landas pukul 01.53 waktu Singapura. Kali ini awak pesawat semuanya berbeda dari sebelumnya.
Pramugari Tia Dwi Ambara menawarkan makanan kepada Munir, tapi Munir menolaknya dan hanya meminta segelas teh hangat. Tia pun menyajikan teh panas untuk Munir yang dituangkan dari teko ke gelas di atas troli dilengkapi dengan gula satu sachet.
Tiga jam pesawat terbang, Munir mulai sering bolak-balik ke toilet. Ketika dia berpapasan dengan pramugara Bondan, dia mengeluh sakit perut dan muntaber. Dia pun menyuruh Bondan memanggil Tarmizi yang duduk di kelas bisnis sambil memberikannya kartu nama Tarmizi.
Tarmizi pun terbangun dan bertemu dengan Munir. Munir menjelaskan kondisi tubuhnya yang tampak sangat lemah dengan berkata, “Saya sudah muntah dan buang air besar enam kali sejak terbang dari Singapura.” Tarmizi menanyakan kepada Munir tentang makanan yang dimakannya tiga hari terakhir. Munir menjawab, “Biasa saja.” Purser Madjib kemudian berkata, “Pak Munir tadi sempat minum air jeruk, padahal Pak Munir tidak kuat minum jeruk karena sakit maag.” Tarmizi menyanggah, “Kalau sakit maag tidak begini.”
Tarmizi melakukan pemeriksaan umum dengan membuka baju Munir. Dia lalu mendapati bahwa nadi di pergelangan tangan Munir sangat lemah. Tarmizi berpendapat Munir mengalami kekurangan cairan akibat muntaber.
Munir kembali lagi ke toilet untuk muntah dan buang air besar dibantu pramugari dan pramugara. Setelah selesai, Munir ke luar sambil batuk-batuk berat.
Tarmizi menyuruh pramugari untuk mengambilkan kotak obat yang dimiliki pesawat. Kotak pun diterima Tarmizi dalam keadaan tersegel. Setelah dibuka, Tarmizi berpendapat bahwa obat di kotak itu sangat minim, terutama untuk kebutuhan Munir: infus, obat sakit perut mulas dan obat muntaber, semuanya tidak ada. Tarmizi pun mengambil obat di tasnya. Dia memberi Munir dua tablet obat diare New Diatabs; satu tablet obat mual dan perih kembung, Zantacts dan satu tablet Promag.
Tarmizi menyuruh pramugari membuat teh manis dengan tambahan sedikit garam. Namun, setelah lima menit meminum teh tersebut, Munir kembali ke toilet.
Tarmizi menyuntikkan obat anti mual dan muntah, Primperam, kepada Munir sebanyak 5 ml. Hal ini berhasil karena Munir kemudian tertidur selama tiga jam.
Setelah terbangun, Munir kembali ke toilet. Kali ini dia agak lama, sekitar 10 menit. Madjib memberanikan diri mengintipnya, ternyata Munir telah terjatuh lemas di toilet. Madjib kemudian mengangkatnya kembali ke kursi.
Tarmizi kembali memeriksa Munir dengan memukul-mukul perut Munir. “Aduh sakit!”, teriak Munir. Tarmizi kemudian menyuruh Munir beristighfar. Pramugari Titik Murwati menggosok perut Munir dengan balsem.
Munir berkata ingin beristirahat karena capek. Tarmizi menyuntikkan Munir Diazepam sebanyak 5 mg. Setelah disuntik, Munir kembali merasa mulas di perut dan kemudian masuk ke toilet lagi. Ke luar dari toilet, Munir berkata ingin tidur terlentang. Pramugari dan pramugara pun menyiapkannya selimut sebagai alas dan penghangat. Munir tertidur pulas dengan di jaga Madjib, sementara Tarmizi kembali ke kursinya untuk tidur.
Dua jam sebelum pesawat mendarat, Madjib mendatangi Munir. Dia kaget melihat keadaan Munir: mulutnya mengeluarkan air yang tidak berbusa dan kedua telapak tangannya membiru. Madjib pun bergegas membangunkan Tarmizi.
Tarmizi memegang pergelangan tangan Munir sambil menepuk-nepuk pundaknya dan berkata, “Pak Munir… Pak Munir!” Akhirnya, dengan memandangi Madjib, Tarmizi mengatakan, “Purser, Pak Munir meninggal… Kok secepat ini, ya… Kalau cuma muntaber, manusia bisa tahan tiga hari.”
Awak pesawat mengangkat tubuh Munir, memejamkan matanya dan menutupi tubuh Munir dengan selimut. Ya, Munir meninggal dunia di pesawat, di atas langit Negara Rumania.
11 September 2004
Jenazah Munir tiba Pangkalan Udara (Lanud) Abdulrachman Saleh pada Sabtu (11/9) tepat pukul 21.10. Jenazah almarhum dan rombongan pengantar diangkut dengan Boeing 737 Merpati MZ-3300.
12 September 2004
Jenazah Munir, dimakamkan di Taman Pemakaman Umum, Kota Batu, Minggu (12/9). Isak tangis, sedih dan haru ribuan pelayat mewarnai prosesi pemakaman mulai dari rumah duka di Jalan Diponegoro hingga ke pemakaman yang berjarak sekitar 2 km.
Suciwati, istri Munir meminta hasil otopsi terhadap jenazah almarhum. Dia datang bersama Smita Nososusanto, Emmy Hafizd, Usman Hamid dan Bini Buchori. Pihak kepolisian menyatakan dalam tubuh Munir terkandung zat arsenik yang melampui batas normal.
17 November 2004
Kontras, Suciwati dan tim kepolisian akan berangkat ke Belanda meminta akta otentik otopsi terhadap jenazah Munir.
Melihat kronologis di atas, memang akan membuat kematian Munir terlihat begitu ganjil dan otomatis menimbulkan indikasi pembunuhan berencana terhadap Munir. Setidaknya, inilah kronologis kematian Munir versi resmi yang beredar di masyarakat. Salah satu yang menurut saya begitu ganjil, ternyata saat jenazah Munir diturunkan di Amsterdam, polisi dan dokter setempat juga memeriksa Munir, dan kesimpulannya; tidak ada yang ganjil pada kematian Munir (pada awalnya).
Berikut salinan otopsi yang diterima keluarga Munir:
Salinan Dokumen Otopsi Yang Diterima Keluarga alm. Munir
Setelah pihak kelurga alm. Munir menerima salinan dokumen otopsi dari pihak POLRI, perlu kami sampaikan hal-hal berikut ini :
* Proses otopsi berlangsung sejak 7 September 2004. Kesimpulan atas pemeriksaan awal adalah Munir meninggal secara wajar tidak dapat dipastikan 100 % dengan jelas, walaupun tidak ada diperoleh bukti-bukti kelainan. Pemeriksaan kedokteran ini kemudian dilanjutkan oleh Netherland Forensic Institute.
* Pada 8 September 2004 ahli pathologi NFI tidak menemukan sebab spesifik yang menunjukan ketidakwajaran. Sehingga pemeriksaan Toksikologi dan mikrobiologis dilanjutkan. Akibat kekerasan luar atau dalam, tidak terlihat pada hasil operasi kecil (sectio) ini.
Berdasarkan laporan dari verbalisant, berkemungkinan. Munir mengalami hal yang tidak enak selama di dalam pesawat terbang selama dalam perjalanannya ke negeri Belanda, (adanya muntah-muntah dan diare) dan kemudian meninggal.
Pada waktu pemeriksaan saction (operasi kecil) isi lambung usus banyak mengandung air. Tidak ada tanda-tanda peradangan yang mencolok dalam saluran lambung dan anus.
Juga tidak kelainan pada hati, jantung, otak, cairan otak dan jaringan-jaringan otak serta pembuluh paru-paru yang dapat dijadikan sebab yang berarti untuk kematian.
* Pada 1 Oktober 2004, hasil pemeriksaan lanjutan menunjukan :
o Di dalam darah Munir ditemukan zat-zat berupa arsenic, paracetamol, metoclopramide, diazepam, dan mefanic acid. Tidak terlihat adanya alcohol dalam urin dan darah. Juga tidak diperoleh petunjuk-petunjuk reaksi karena alergi sewaktu akan meninggal. Konsentrasi arsenic dalam darah cukup tinggi. Di dalam lambung terdapat dosis arsenic yang cukup fatal.
o Meninggalnya Tn. Munir dapat dijelaskan karena keracunan arsenic.
o Tidak dapat ditentukan kapan dosis arsenic yang atal diminum ataupun diberikan.
o Bentuk chemis dimana arsenic itu diminum atau diberikan bukanlah merupakan suatu bukti yang menentukan.
o Akan diadakan pemeriksaan lanjutan mengenai zat-zat yang ada di dalam lambung secara organis chemis. Juga akan diadakan pemeriksaan yang lebih teliti mengenai konsentrasi arsenic tersebut. Bersama ini akan diadakan laporan pelengkap.
Laporan ditandatangani Lusthof, ahli toksikologi NFI.
* Pada 13 Oktober 2004, pemeriksaan lanjutan yang lebih teliti mengenai zat-zat yang ada di dalam lambung secara organis-chemis yang menyimpulkan bahwa Munir meninggal karena keracunan arsenic. Dari hasil pemeriksaan Toksikologi terdapat konsentrasi yang sangat tinggi dari arsenic di dalam darah, urin serta lambung.
o Darah : 3,1 mg/liter
o Urin : 4,8 mg/liter
o Lambung : 460 mg/liter
* Pada 28 Oktober 2004, Menteri Luar Negeri Belanda menginformasikan kepada Menteri Luar Negeri RI tentang kesimpulan hasil otopsi yang menyatakan bahwa Munir meninggal karena diracun arsenic.
* Pada 4 November 2004, berkas laporan definitif forensik diserahkan oleh E. Vissre, Public Prosecutor Amsterdam kepada Menteri Kehakiman Belanda.
* Meninggalnya Munir dapat ditegaskan karena keracunan arsenic. Tidak dapat ditentukan kapan dosisi yang fatal itu duminum ataupun diberikan bukanlah merupakan suatu bukti yang menentukan.
* Tidak diperoleh petunjuk-petunjuk reaksi karena alergi sewaktu akan meninggal.
Catatan :
Arsenikum ini baru dapat bekerja setelah dua jam sampai dengan satu hari.
* Pada 11 November 2004, pemerintahan Belanda melalui Kedutaan Besar Belanda di Jakarta menyerahkan secara resmi salinan dokumen otopsi kepada Kementrian Luar Negeri RI, melalui Dirjen Amerika dan Eropa Barat, A. Effendi. Pemerintah Beland menyatakan :
o Keputusan apapun selanjutnya adalah tanggung jawab Pemerintah Indonesia.
o Hasil otopsi ini membutuhkan investigasi judicial oleh pihak Indonesia.
o Pihak Belanda bersedia-siap (stand ready) untuk menyediakan bantuan hukum (legal assistance), didasarkan sebuah permintaan resmi (official request for legal assistance).
o Pihak Belanda mengharapkan Pemerintah Indonesia untuk memberitahukan pada keluarga Munir sesegera mungkin mengenai temuan-temuan laporan tersebut.
Selain hal di atas, perlu disampaikan pula bahwa Keluarga alm. Munir bersama dengan kuasa hukum, Imparsial dan Kontras telah bertemu dengan Menteri Hukum dan HAM RI pada 9 Desember 2004.
Keluarga alm. Munir secara resmi menminta Menteri Hukum dan HAM RI meminta Netherland Forensic Institute (NFI) mengestimasi waktu (tempus) masuknya zat arsen ke dalam tubuh almarhum Munir dan menhadirkan para ahli forensik dari NFI yang terlibat dalam proses otopsi, sebagai saski ahli (expert witness) di Pengadilan RI. Selain itu, keluarga Munir juga mendesak Menteri Hukum dan HAM RI agar seluruh dokumen yang masih berada di tangan pemerintahan Belanda, segera diserahkan kepada Pemerintah Indonesia.
Menteri Hukum dan Ham Hamid Awaluddin berjanji akan menyampaikan kepada Presiden secara langsung dan mengambil inisiatif bersama Jaksa Agung untuk mengupayakan diperolehnya dokumen pemeriksaan (BAP) oleh kepolisian Belanda serta meminta dihadirkannya saksi ahli dari Netherland Forensic Institute.
Demikian disampaikan. Terima kasih atas perhatian dan kerjasamanya.
Alm. Munir
Pada April 2008 pasutri asal Madura di Sidoarjo yang juga diduga dibunuh. Dua pasang pasutri ini juga dibunuh menggunakan arsenik, TAPI, mereka lebih terlihat diselidiki secara profesional baik oleh tim kepolisian maupun tim kedokteran. Ketika dua pasang pasutri tersebut belum diotopsi, tim dari Labfor Mabes Polri dan RSUD dr. Soetomo langsung bisa menduga jika korban dibunuh dengan menggunakan arsenik. Disebutkan juga ciri-ciri korban yang keracunan arsenik, antara lain: ada pembengkakan otak, paru paru yg mengalami kerusakan, mulut keluar darah karena indikasi kerusakan sistem pencernaan, bahkan, Kepala Ilmu Kedokteran Forensik RSUD dr. Soetomo, dr. Agus Mochammad Algozi bisa memberikan penjelasan, bahwa ada tiga jenis racun arsenik. Jenis yang dipergunakan untuk meracun termasuk jenis yg sangat halus. Ditambahkannya juga, ketika arsenik masuk kedalam tubuh (dan racun mulai bekerja), biasanya korban mengalami muntaber berat disertai kejang-kejang. Mereka terlihat begitu ahli dan profesional menghadapi dugaan pembunuhan dengan arsenik.
Mari kita bandingkan ketika mereka menghadapi kematian Munir. Saat kematian Munir tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut para dokter, ahli forensik apalagi Labfor Mabes Polri tentang ciri ciri orang yang keracunan arsenik. Mereka terkesan tidak tahu sama sekali mengenai racun-meracun. Tidak ada keterangan mengenai Munir yang muntaber berat terlebih dahulu telah mengindikasikan korban keracunan arsenik.
Semua keterangan dari NFI (Netherland Forensic Institut), yang awalnya berbunyi tidak ada kejanggalan dalam kematian Munir, tiba-tiba berubah menjadi aneh ketika para pihak resmi Indonesia mengeluarkan pernyataan bahwa, ‘ada kandungan racun arsenik 460 mg didalam lambung, 3,1 mg /ltr dalam darah.’ Anehnya, setelah didalami oleh tim otopsi dari RSUD dr. Soetomo, kandungan arsenik di dalam lambung begitu aneh, karena seharusnya kandungan arsenik itu hancur. Ini terkesan mempertegas spekulasi jika kandungan arsenik dalam tubuh Munir baru dimasukkan ketika jenazahnya sudah di Indonesia. Spekulasi ini juga diperkuat dengan permintaan mereka untuk menahan lebih lama organ tubuh Munir. Spontan ini juga menimbulkan indikasi bahwa hal itu dilakukan agar organ tubuh Munir bisa dipersiapkan (dimark-up) agar benar-benar akan terkesan keracunan arsenik ketika diperiksa oleh pihak lain.
Munir dan BIN
Setelah investigasi kematian Munir dilakukan, muncul suatu teori skenario yang mengatakan indikasi keterlibatan BIN dalam pembunuhan BIN. Dikatakan dalam teori itu jika BIN telah ikut andil dalam membunuh sang aktivis HAM itu di dalam pesawat lalu dengan licin mempersiapkan inilah, itulah dan sebagainya.
Dalam teori skenario yang beredar di masyarakat, salah satunya yang paling santer adalah keterlibatan BIN yang disangkutpautkan dengan keterlibatan pihak Garuda Indonesia yang dituduh telah melakukan suatu konspirasi dibalik pembunuhan Munir. Skenario ini mulai terungkap sejak adanya penuturan beberapa saksi yang menyebutkan Pollycarpus pernah terlihat di kantor BIN, juga pengungkapan yang berhasil membuktikan bahwa ternyata Pollycarpus menggunakan surat tugas palsu dengan alasan hanya ingin menginap di hotel Singapura.
Dalam suatu sidang Peninjauan Kembali (PK) kasus pembunuhan Munir yang dihadiri oleh Pollycarpus Budihari Priyanto sendiri, dibeberkan bukti yang menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU) akan semakin membuktikan keterlibatan BIN dalam pembunuhan Munir. Dalam sidang itu yang menjadi bukti adalah kesaksian dari mantan Direktur Utama Garuda, Indra Setiawan dan agen Badan Intelejen Nasional (BIN), Raden Mohamad Patma Anwar alias Ucok.
Menurut Poltak Manulang (kordinator JPU), Indra Setiawan mengaku yang menandatangani surat tugas Polly bertindak atas permintaan tertulis dari Wakil Kepala BIN As’ad. Sementara Ucok, tambahnya, dalam BAP (berita Acara Persidangan) mengaku mendapat tugas dari Deputi II BIN, Manunggal Maladi untuk membunuh Munir sebelum pilpres.
Salah satu upaya yang pernah ditempuh saksi (Ucok) adalah menyantet Munir dengan bantuan Ki Gendeng Pamungkas. “Namun, santet tersebut tidak berhasil karena Munir punya keris,” ujar Poltak diikuti tawa sebagian pengunjung sidang. Sidang itu dijaga aparat keamanan.
Meski mengaku tak kenal Polly, Ucok menjelaskan pernah melihat mantan pilot Garuda itu di tempat parkir kantor BIN dengan menggunakan mobil Volvo hitam.
Selain dua saksi tersebut, dalam bukti baru JPU dalam persidangan tersebut sebenarnya akan menghadirkan beberapa saksi lain, termasuk Asrini Utami Putri. Perempuan yang satu pesawat dengan Munir menuju Belanda tersebut mengaku melihat Munir duduk di Coffee Bean Bandara Changi, Singapura, bersama Polly dan Raymond J.J. Latuihamallo alias Ongen.
Sedangkan kesaksian Ongen, dirinya melihat Polly di Coffee Bean. “Saat saksi (Ongen, Red) masuk Coffee Bean, saksi melihat Pollycarpus baru dari counter pemesanan minuman sambil membawa dua gelas minuman,” ujar Poltak.
Dia menambahkan, Ongen juga mengaku melihat Munir berbincang dengan Pollycarpus sambil minum.
Berbekal keterangan saksi-saksi dan didukung keterangan ahli, JPU mengubah locus delicti (lokasi kejadian perkara, Red) dari pesawat Garuda (dalam penerbangan) yang didakwakan sebelumnya, menjadi Bandara Changi. Walau perbuatan materiil diduga dilakukan di Bandara Changi, tambah Poltak, karena bekerjanya alat di atas pesawat Indonesia, hukum pidana Indonesia dapat diberlakukan dalam kasus ini.
Poltak lantas membeberkan alasan pengajuan Peninjauan Kembali. Menurut dia, ada kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dalam pertimbangan MA sebagai judex jurist. Hal itu menyebabkan Polly bebas dari dakwaan pertama, yakni membunuh Munir dan hanya dikenai hukuman pidana dua tahun atas dakwaan kedua, yakni menggunakan surat tugas palsu dalam penerbangan Jakarta-Singapura.
JPU menganggap MA lalai mempertimbangkan keterkaitan antara surat palsu dan kematian Munir. “Bahwa tidak masuk akal seorang pilot senior seperti terpidana melakukan tindak pidana menggunakan surat palsu hanya untuk dapat menikmati pergi ke Singapura dan tidur di hotel,” ujar Poltak.
Menurut Poltak, surat palsu juga bisa diperlakukan sebagai alat bukti surat dalam pembunuhan berencana terhadap Munir. “Karena menggunakan surat palsu tersebut merupakan sarana atau modus operandi oleh terpidana untuk dapat melakukan pembunuhan terhadap korban,” ujarnya.
Mendengar hal tersebut, Polly yang selama pembacaan memori dakwaan tampak mengeryitkan dahi, langsung dengan emosi berkata, “Bohong… Itu bohong.” Suaranya nyaris tak terdengar ke barisan JPU.
Mungkin saat itu Pollycarpus sama seperti pak Antasari yang hingga menangis karena dituduh si Rani jika mereka pernah melakukan perbuatan tidak senonoh.
Sekarang saya mengajak anda melihat kesaksian dari mantan Direktur Perencanaan dan Pengendalian Operasi (Direktur V.1) BIN, Budi Santoso. Dalam BAP tanggal 27 Maret 2008 yang dibacakan jaksa pada sidang di PN Jakarta Selatan, Kamis (6/11), berdasarkan fakta-fakta yang ada, ia mengatakan bahwa kematian Munir adalah hasil dari kegiatan intelijen. Namun, ia menegaskan operasi tersebut tak ada pada direktorat yang dipimpinnya.
Beberapa fakta yang dimaksud Budi untuk menunjukkan bahwa kematian aktivis HAM tersebut ada kaitannya dengan operasi intelijen. Pertama, adanya surat rekomendasi yang ditujukan kepada Direktur Garuda Indra Setiawan, berisi permintaan agar Polly diperbantukan pada bagian Corporate Secretary. Kedua, adanya pertemuan antara Muchdi dan Polly. Ketiga, pemberian sejumlah uang kepada Polly atas perintah Muchdi. Dan, keempat, status Polly sebagai anggota jejaring non organik BIN yang menurut Budi direkrut oleh Muchdi.
“Yang merekrut Polly adalah Muchdi. Kapan direkrutnya saya tidak tahu. Tapi saya ketemu dia (Polly) di ruang Muchdi saat memberikan uang 10 juta. Orang yang berwenang memberi tugas ke Polly adalah agen handler-nya yaitu Muchdi,” demikian kata Budi Santoso.
“Menurut saya, aktifitas Munir bisa mengganggu kenyamanan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sebenarnya, Munir tidak perlu dijadikan target operasi, tapi tergantung masing-masing individu yang terganggu kepentingannya karena aktifitas Munir,” kata Budi.
Tanggapan Muchdi, hampir sama dengan tanggapannya terhadap BAP yang dibacakan sebelumnya. Mengenai dugaan bahwa Polly merupakan agen jejaring BIN yang direkrutnya, dibantah Muchdi. Ia mengatakan, dalam struktur BIN, sebagai Deputi ia hanya memiliki dua staf. Agen organik dan non organik koordinasinya berada dibawah Kasubdit yang secara struktural dibawah Direktur.
“Setiap agen organik atau jejaring pasti mempunyai surat bahwa dia anggota non organik,” ujar Muchdi dalam tanggapannya. Kesaksian tanggal 27 Maret 2008 ini yang tidak dilakukan dibawah sumpah, diminta Muchdi dijadikan catatan.
JPU juga merasa perlu mengungkapkan dasar hukum pengajuan PK oleh kejaksaan, yang menjadi polemik. Menurut Poltak, meski pasal 263 ayat 1 KUHAP memberi hak kepada terdakwa atau ahli waris untuk mengajukan PK, dalam hukum acara tersebut tidak ada larangan secara eksplisit bagi jaksa untuk mengajukan PK. Apalagi, masih ada korban kejahatan yang belum mendapat kejelasan siapa pembunuh Munir.
Hingga saat ini semua masih menjadi bayang bayanng, semua hanya bisa beranalisa, merangkai cerita; sementara kebenaran tidak pernah terungkap oleh dunia, Intelejen harusnya mengetahui hal tersebut; tapi kini semua seolah sengaja menutup kebenaran dengan begitu banyak teori
Karena ini Munir…
Post a Comment