Pembunuhan Karakter Gubernur Sumut
Oleh Canny Watae
Gubernur Sumatra Utara yang terkena kasus suap itu (salah-benarnya akan ditentukan di pengadilan), karakternya langsung dibunuh oleh beberapa pihak tertentu, termasuk media tertentu, dengan membombardir perihal dua istri dan penekanan pada istri kedua yang diwacanakan sebagai "pembuat suami masuk penjara". Istri pertama diposisikan sebagai "pembuat suami menapak kesuksesan", istri kedua sebagai yang sudah saya sebut di atas.
Padahal, perihal istri-istri tersebut, kaitannya dengan kasus adalah bahwa salah satunya diduga berperan dalam tindakan suap. Hanya itu saja. Tetapi, oleh pihak-pihak tertentu, publik diajak untuk menyoroti dari sudut Poligami, dan publik diseret terus ke pamahaman bahwa istri kedua membawa "bencana". Dan pembunuhan karakter ini, Sukses.
Padahal, selama Negara kita masih menjadikan Pancasila sebagai falsafah Negara, maka persoalan poligami bukanlah persoalan di mata Negara. Sila pertama Pancasila secara tersurat jelas menetapkan bahwa Negara mengakui Agama-agama. Agama yang dianut Gubermur Sumatra Utara yang terkena kasus itu tidak melarang poligami. Titik.
Semestinya siapa pun tidak boleh mengungkit-ungkit soal praktik poligami sang Gubernur. Kecuali apabila praktik poligami tersebut berada dalam ranah melanggar hukum positif Negara, misal: PNS yang berpoligami tanpa izin istri pertama dan atau tidak memenuhi beberapa syarat yang ditentukan oleh Negara (karena si PNS adalah Pegawai Negara. Jika ia tetap ingin berpoligami tanpa terikat syarat Negara, ia hanya perlu melepas status kepegawaiannnya saja, setelah itu go on saja).
Di sisi lain dari kasus ini, pengacara dengan prestasi besar dan merupakan orang terhormat di kalangan koleganya, ternyata mengaku beristri 10. Pihak-pihak tertentu tadi tidak antusias untuk menggali lebih jauh apakah ke-10 orang ini diperistri dalam waktu waktu bersamaan atau tidak. Atau minimal, apakah si pengacara pernah berada dalam status poligami atau tidak dengan ke-10 orang yang dia klaim istri-istrinya. Si pengacara ini hadir dan beribadah dalam kesempatan kebaktian minggu yang diberikan institusi Negara (KPK). Berarti, pengacara ini semestinya tidak boleh melakukan praktik poligami sebagaimana ketetapan dalam agama yang dianutnya. Itu berarti, dia melakukan hal yang bertentangan dengan falsafah Negara. Ia bertentangan dengan Pancasila (!).
Anehnya, kesan yang dibangun untuk si pengacara dalam kaitan jumlah 10 istri adalah: dia hebat(!).
Ck ck ck.... para pihak tertentu, saya mau tanya: sudah "fair"kah anda? Sudah adil kah menempatkan kasus ini di mata publik, yang adalah elemen Negara?
Post a Comment