Antara IMF, Reformasi 1998, Bantuan 43 Milyar Dolar AS dan Harga Diri Bangsa
jabung-online.org - Paket reformasi yang dikehendaki IMF diumumkan oleh Presiden Soeharto pekan ini. Tapi banyak pakar meragukan apakah paket itu akan jadi kenyataan karena begitu drastisnya. Tak ada jangka waktu yang disepakati. Dan apakah birokrat kita yang biasa “menetek” pada sistem yang korup ini bisa “ikhlas” menerima paket “babat habis” itu.
SIAPA yang bisa mengubah anggaran belanja Republik Indonesia? Apakah Dewan Perwakilan Rakyat yang mempunyai hak bertanya (interpelasi)? Jelas bukan. Bahkan, hak itu tak pernah dipakai DPR sepanjang hampir 30 tahun era orde baru. DPR juga menyimpan hak budget yang mereka punyai selama pemerintahan Presiden Soeharto. Maka, pekan ini, untuk pertamakalinya dalam sejarah orba, anggaran belanja RI diubah atas “nasehat” (baca: tekanan) sebuah lembaga luar negeri yaitu International Monetary Fund.
Tak hanya itu “keampuhan” IMF. Berbagai “penyakit” ekonomi Indonesia, yang sudah lama dikritik pakar-pakar ekonomi lokal, juga mulai diberesi pemerintah setelah “nasehat” IMF “didawuhkan”. Mobil nasional (yang kabarnya “sulit menang” di WTO), BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh) yang dipimpin Tommy Soeharto, IPTN, dan juga monopoli Bulog, semua dijanjikan Presiden Soeharto akan segera dibereskan dalam waktu dekat ini.
Ada 50 poin di berbagai sektor yang dijanjikan akan diperbaiki (Lihat Nota Kerjasama IMF-Indonesia). Walau dalam pelaksanaan nanti belum tentu semuanya berjalan mulus, langkah IMF menertibkan ekonomi Indonesia mulai kelihatan “dituruti” pemerintah RI. Tampaknya “kartu truf” IMF, yaitu tak akan mengucurkan dana segar lagi jika pemerintah Indonesia tak melakukan reformasi total seperti keinginan IMF, cukup sakti. IMF memang menjanjikan paket dana sebesar 43 milyar dollar untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia. Dan bilangan inilah yang membuat pemerintah Indonesia seakan tak punya “pilihan lain”.
Tapi apa akibat langkah-langkah koreksi tadi untuk rakyat banyak? Pastilah beban rakyat akan meningkat. Pencabutan subsidi BBM – agar pemerintah mendapat surplus anggaran satu persen — pasti diikuti kenaikan harga BBM, naiknya listrik, dan tentu saja ongkos produksi. Kegiatan ekspor yang tengah “lesu darah” pastilah akan makin “mandeg” dengan kenaikan BBM ini. Kalau sudah begitu, ongkos angkutan akan naik, harga-harga bahan pokok yang kini sudah 50 persen lebih mahal, terus akan membubung tinggi. Dapat dibayangkan bahwa demonstrasi-demonstrasi seperti yang pekan ini terjadi di Jember dan Banyuwangi – menuntut turunnya harga bahan pokok – akan makin marak dengan kenaikan BBM ini.
Dilepasnya monopoli Bulog, tanpa diikuti “aturan main” baru di pasar, hanya berakibat seperti “keluar dari mulut singa, masuk ke mulut buaya”. Dalam kasus tepung terigu, misalnya, kata pengamat Faisal Basri, semua orang tahu bahwa Indofood – milik taipan Liem Sioe Liong – sudah terlalu mapan untuk disaingi. Bahkan Indofood kini mengusai sekitar 80 persen pasar mie instan di Indonesia. Merekalah price leaderdalam soal tepung terigu dan mie instan itu. Harga tepung terigu pastilah akan tergantung banyak kepada Om Liem itulah.
Dalam kasus kedelai atau gula, dilepasnya monopoli Bulog juga akan membuat harga bahan makanan itu naik, seperti dikatakan bekas Kabulog Bustanul Arifin. Konon, komoditi itu juga sejak lama dikuasai aliansi Bulog dan pihak-pihak yang “itu-itu juga”. Jadi, tanpa diikuti pemberlakuan UU Anti-Monopoli, misalnya, pencabutan monopoli Bulog hanya akan membuat harga semakin tinggi dan sekelompok orang semakin diuntungkan
Koreksi atas RAPBN dan “penyakit-penyakit ekonomi Indonesia” tadi sudah lama jadi bahan kritik para pakar ekonomi nasional. Bahkan, agak sulit menghindarkan kesan bahwa pemerintah agaknya lebih mendengar “si asing” ketimbang pakar negeri sendiri (Lihat Anggito Abimanyu). Walau alasannya sebetulnya jelas: di koper “si asing” ada setumpuk dana bantuan.
Begitulah, kesan bahwa pemerintah RI “terpaksa” menuruti IMF dengan reformasi ini, sulit untuk dihindari. Walaupun pada awal November 1997, ketika IMF baru masuk ke mari, Mensesneg Moerdiono mengatakan bahwa IMF tak akan mengucurkan dana bantuan, tapi yang kini terjadi sungguh jauh berbeda. IMF tak hanya mengucurkan dana, tapi juga ikut “membabat halaman Istana Negara Jakarta yang penuh rumput liar”.
Tatkala Stanley Fischer, Wakil Direktur IMF, datang di Jakarta pada awal November, dia masih yakin bahwa pemerintah RI akan mentaati saran-saran pihaknya. Tapi pemerintah RI praktis hanya memberesi 16 bank swasta. Itu pun penuh dengan “buntut tak sedap”, antara lain digugatnya Menkeu RI dan Gubernur Bank Sentral oleh dua keluarga dekat Presiden Soeharto. Dan kurs rupiah pun limbung, melorot, dan pernah mencapai Rp 11.000 per dollar AS.
Itu sebabnya Fischer kemudian mengatakan bahwa yang penting dilakukan adalah menggalang dukungan internasional untuk “meyakinkan” Presiden Soeharto untuk memulai langkah reformasi yang dijanjikannya (Washington Post, 13 Januari 1998). Dan ketika mendarat di Jakarta, Senin pekan ini (12 Januari 1998), Fischer hanya punya satu tujuan: membawa pulang ke Washington sebuah surat pernyataan dari Presiden Soeharto bahwa RI akan melaksanakan langkah-langkah konkrit untuk perbaikan ekonomi.
Begitulah, ketika Fischer bertemu Presiden Soeharto di Jakarta, Kepala Negara RI itu baru saja menerima serangkaian telepon. Antara lain dari Presiden AS Bill Clinton, yang kemudian mengirim Wakil Menhan Lawrence H. Summers. Presiden Soeharto juga menerima telepon dari Kanselir Jerman Helmut Kohl, juga PM Jepang Hashimoto. PM Singapura Goh Chok Tong malah sengaja datang ke Jakarta untuk bertemu Presiden Soeharto.
Semua pembicaraan itu agaknya mengarah pada satu hal: reformasi ekonomi RI tak bisa ditunda lagi, selain tentu saja rasa simpati yang dalam atas krisis ini.
Pejabat seperti Summers, misalnya, menjelaskan setelah bertemu 90 menit dengan Presiden Soeharto bahwa “sangat jelas bahwa Presiden Soeharto mengerti kebutuhan untuk mengambil langkah-langkah pasti setelah berdiskusi dengan IMF.” Harian The Washington Post menulis bahwa pemimpin negara-negara maju itu memberikan “alarm yang jelas” kepada Presiden Soeharto tentang kemungkinan memburuknya kondisi ekonomi dan ancaman gejolak sosial dan mendesak Presiden untuk menerima saran-saran IMF. Semua sudah mafhum bahwa target utama program IMF itu adalah memangkas apa yang disebut sebagai crony capitalism, sistem ekonomi yang menguntungkan keluarga Presiden dan sekutunya.
Setelah Fischer pulang, tinggallah Michel Camdessus yang “mengetok palu”. Orang Perancis itu menyaksikan Presiden Soeharto meneken kesepakatan baru dengan IMF, Kamis lalu di Jakarta. Dan kemudian, hari itu juga Presiden Soeharto mengumumkan 50 langkah koreksi sektor ekonomi dan RAPBN serta mengadakan tanya jawab dengan wartawan secara langsung. Sebuah kesempatan yang hampir tak pernah terjadi.
Apa semua jadi beres?
Pengamat ekonomi Laksamana Sukardi kepada TEMPO Interaktif berkata jelas: pasar bereaksi negatif terhadap 50 poin koreksi itu. “Karena dianggap hanya di atas kertas dan implementasinya akan sulit dilakukan,” ujar bekas orang penting Lippo Group itu. Dia melihat nilai rupiah yang malah turun sampai 1100 poin menjadi Rp 8.150 sedollar pada perdagangan hari Kamis itu. Indeks harga saham bursa juga “stagnan” dan belum kelihatan akan naik secara memuaskan. “Saya kira jawabannya adalah soal kepemimpinan Presiden Soeharto,” kata Laksamana lagi.
Jika apa yang dikatakan Laksamana itu memang “obat mujarab”, pastilah berapa pun besarnya paket bantuan IMF tak akan banyak pengaruhnya untuk memulihkan krisis moneter ini. Sayang memang jika “kedaulatan ekonomi” sudah diserahkan dan krisis tak juga berlalu.
Dan Laksamana agaknya tak sendirian. Prof. Sumitro Djojohadikusumo, yang sering disebut begawan ekonomi Indonesia itu, pekan ini di Jakarta mengatakan bahwa krisis bakal kembali lagi jika sumber masalahnya tidak disentuh. Sumber itu adalah korupsi, kolusi dan nepotisme, beserta para “sekutunya”. Itu berarti mau tak mau “soal politik” juga harus diberesi, seperti dilansir dari media Tempo.co.id
Post a Comment