Gibran-Selvi, PERNIKAHAN REVOLUSIONER

THE JOKO WAY (28): PELAMINAN SELUAS NUSANTARA

Ada tiga tonggak terpenting dalam hidup manusia: kelahiran, pernikahan, kematian. Anda masih ingat bagaimana ketika anda lahir? Tidak mungkin.

Anda tidak mungkin mengingat titik nol perjalanan anda. Anda tidak mungkin mengingat pengalaman eksotis bertapa dalam kegelapan berlapis di perut ibu anda. Apalagi masa-masa sebelumnya..

Kepada Royhan, anak kami yang pertama, aku sering bertanya: "Mengapa ketika abah dan mamah menikah kamu tidak datang, Nak?"

Mungkin itu pertanyaan aneh. Tetapi ilusi waktu itulah yang membuat orang berperilaku tidak waras: dendam kepada segelintir orang yang kita kenal di muka bumi ini, memuji atau memaki manusia secara berlebihan, congkak menggelegak hanya nol berderet di atas kertas, ...

Mati. Itulah saatnya ilusi waktu berhenti. Di akhirat, siapa nanti yang lebih tua: Gajah Mada, Bung Karno atau Jokowi? Siapa yang lebih tua: anda atau bapak anda?

Mati menghapus semua ilusi. Ilusi kesuksesan. Ilusi kegagalan. Ilusi kesedihan. Ilusi kebahagiaan. Ilusi pendengaran, penglihatan, dan bahkan ilusi ruang-waktu. Kita pun bertanya, "Apakah Gajah Mada benar-benar ada? Apakah Walisongo benar-benar ada? Apakah orangtua saya benar-benar pernah ada? Apakah saya benar-benar pernah ada? Apakah anak-cucu saya benar-benar akan ada?"

Almarhumah emak pernah bercerita. Katanya aku sering bertanya, "Emak, mengapa ada orang sedih padahal semua akan menjadi masa lalu? Emak, mengapa ada orang berbuat bodoh seperti itu?"

Seperti kelahiran, kematian adalah pengalaman paling privat. Jika ada yang merayakan atau menangisi pastilah kita tidak tahu. Kita tidak mungkin update status tentang kelahiran kita. Tidak pula foto selfi pada kematian kita. Kelahiran dan kematian kita ternyata urusan orang lain!

Jadi, pernikahan itulah tonggak terbesar, yang kita alami dengan sadar.

TOLERANSI AGUNG

Jokowi tentu saja sadar, bahwa pelaminan Gibran-Selvi adalah seluas nusantara. Akan disaksikan oleh jutaan, miliaran pasang mata. Jutaan perawan Nusantara mungkin menatap layar kacamata dengan harapan membuncah iri pada sosok Selvi.

Inilah pernikahan revolusi mental. Inilah pernikahan super-toleransi. Tidak ada halangan dalam cinta. Anak asal rekyat jelata bersanding dengan anak raja. Pemuda muslim menikahi nasrani. Jokowi menerjemahkan langsung makna toleransi dengan tindakan nyata, yang akan disaksikan ratusan juta mata. Ini lebih nyata daripada masuk ke got atau menaiki mobil esemka. This is ‪#‎thejokoway‬ .

Pernikahan adalah proses membentuk unit sosial terpenting, organisasi yang paling alamiah: keluarga. Kesamaan keyakinan, platform, panduan hidup dan tujuan merupakan hal yang terpenting, karena cepat atau lambat pernikahan akan mengalami turbulensi.

Jadi, agama itu termasuk apa? Keyakinan? Platform? Panduan hidup (way of life) atau tujuan? Mungkin semuanya, tetapi di hadapan "cinta" semua itu bisa nomor dua. Apalagi Selvi katanya sudah masuk Islam. Sama seperti Ustadz Felix, Selvi adalah muallaf. Tentu anda tidak perlu mengecek KTP-nya, kan?

Pertunjukan Jokowi berjudul Gibran-Selvi menjelang bulan suci Ramadhan benar-benar revolusioner. Namun semua menjadi lunak tidak terasa getar dahsyatnya karena semangat revolusi mental mulai mengental. Lihatlah adegan prolog sebelum klimaks cerita di Solo.

Menteri Agama telah mempopulerkan bacaan al-Quran langgam Jawa, yang berkembang kreatif dengan munculnya Qur'an langgam seriosa dsb. Juga sholawat ala dangdut koplo.

Tidak hanya itu, Menteri Agama juga menganjurkan umat Islam untuk menghormati orang yang tidak puasa. Selama ini logika umat Islam terbalik. Kok bisa? Puasa itu setengah sabar. Jadi, sewajarnya yang (sedang berlatih) sabar menghormati yang tidak (secara khusus berlatih) sabar. Lihatlah setiap kegiatan pelatihan. Semakin kuat cobaan semakin berkualitas hasilnya. Jadi, latihan sabar nonsense kalau tidak ada yang membuat kita tidak sabar.

Seketika semua umat Islam pun tercerahkan, kecuali yang tidak.

JK tidak kalah menyumbang anasir revolusi. Suara al-Qur'an itu dari load speaker itu polusi suara, apalagi ketika orang sedang nyenyak tertidur. Betul, tidak semua orang suka pada suara al-Qur'an. Beda dengan Goyang Dumang dari Cita Citata. Siapapun dia, termasuk pak kyai, meski mengatakan tidak suka pasti akan bergoyang juga.

Apapun, tenda biru Gibran-Selvi lebih luas daripada Kota Solo. Ini mungkin akan menjadi tonggak revolusi mental terbesar: apakah itu toleransi ultimat dan cinta agung seorang Jokowi (jika Selvi itu kristiani)-- di mana platform cinta lebih utama daripada agama, ataukah Gibran dan Islam telah membuat hati Selvi bergetar.

Ahmad Thoha Faz

No comments

Powered by Blogger.