Aksi Mahasiswa Jadi Gerakan Sosial
Keprihatinan mahasiswa terhadap kondisi Indonesia mengkristal jadi gerakan kritis. Salah satunya diekspresikan mahasiswa Universitas Hasanuddin, Makassar yang meluncurkan Gerak Rakyat Antikorupsi di Science Building, FMIPA Unhas, Sabtu (16/5).
"Kami prihatin dengan kondisi ekonomi yang memburuk dan aparat penegak hukum saling serang satu sama lain. Kami khawatir para koruptor akan memanfaatkan situasi ini untuk melampiaskan keserakahannya," ujar M. Iqbal Arief, mahasiswa Fakultas Hukum Unhas selaku Koordinator Gerak Makassar.
Gerak Makassar didukung para mahasiswa berbagai jurusan, terutama penerima Beasiswa Rumah Kepemimpinan PPSDMS. Mereka juga menjalin hubungan dengan berbagai kampus di seluruh Indonesia. Sebelum peluncuran dilakukan diskusi publik bersama: Sapto Waluyo (Direktur Centre for Indonesian Reform), Sigit Siswandoyo (Kantor Pajak Makassar), dan Zulfan Hakim (Dosen FH Unhas).
Para pembicara menyambut inisiatif mahasiswa. "Aksi antikorupsi mahasiswa harus menjadi gerakan sosial, jangan elitis. Kasus korupsi menimbulkan dampak serius bagi kehidupan masyarakat, karena itu semua warga harus bergerak," ujar Sapto Waluyo yang pernah menjadi tim perumus RUU KPK tahun 2000.
Sapto mengkritik pendekatan KPK saat ini yang terlalu over penindakan dan penangkapan, sementara melupakan basis sosial pendukung antikorupsi. Padahal dulu pada masa awal KPK bekerja mengungkap kasus penyimpangan Gubernur Aceh dan DPRD Sumatera Barat dengan dukungan masyarakat (LSM antikorupsi daerah).
Sekarang KPK telah menjadi permainan elite dengan kewenangan luas biasa, tapi tak bisa membasmi korupsi dengan tuntas. "Pegawai pajak yang menyimpang, Gayus Tambunan, ditangkap dan diadili. Tapi, pelaku penyuapnya tak ketahuan sampai sekarang. Masyarakat jadi bertanya, masa ada kasus suap tanpa penyuapnya?," ungkap Sigit Siswandoyo, sambil menekankan pentingnya integritas perugas pajak dan pengawasan publik.
Akademisi Unhas menyerukan peran sentral pendidikan dalam membentuk budaya antikorupsi. "Di Finlandia tak butuh komisi independen untuk memberantas korupsi, karena tiap orang malu berlaku curang. Di Korea Selatan, budaya malu menyebabkan pejabat negara mengundurkan diri, apabila terduga melakukan penyimpangan, bahkan ada yang bunuh diri," papar Zulfan Hakim. Penegakan hukum Korsel juga tegas, sehingga pejabat tinggi setingkat Perdana Menteri bisa diadili, bila terbukti melanggar.
Pada akhir diskusi dibacakan Deklarasi Antikorupsi oleh mahasiswa dan sisvitas akademika yang hadir.
Post a Comment