Politikus PKS Ingatkan Pencitraan Tak Mengobati Rasa Lapar
Ketua Komisi I DPR RI, Mahfuz Sidik menyatakan kemiskinan yang terlalu lama dialami oleh sebuah bangsa akan mendorong warga untuk memiliki pemimpin dari kalangan rakyat kebanyakan. Namun, Mahfuz menilai keinginan itu bisa menjadi perangkap bagi rakyat karena bisa-bisa malah hidup lebih sulit.
"Karena sudah terlalu lama hidup dalam kesulitan, muncul hipotesa bahwa kesulitan bersumber dari pemimpin. Lalu ada keyakinan untuk merubah keadaan yakni pemimpin harus dari kalangan ‘kita' sendiri," katanya di Jakarta, Jumat (3/4) seperti dilansir jpnn.com.
Padahal, kata politikus PKS itu, pandangan tersebut tidak seluruhnya benar. Pasalnya, di balik pemikiran ada jebakan yang lebih membahayakan.
"Ketika pemimpin yang dari kalangan 'kita' itu terpenuhi, maka muncul suatu kepuasan bahwa pemimpin sudah dari kalangan 'kita'. Pertanyaannya, apa sosok dari 'kita' yang populis itu bisa memperbaiki keadaan?" ulasnya.
Wakil sekjen PKS itu lantas mencontohkan naiknya Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama sebagai pemimpin. Bagi kelompok masyarakat tertentu, kata Mahfuz, kedua figur itu memang sudah memenuhi keinginan.
Namun, kata Mahfuz, kemampuan berkomunikasi dua figur politikus ternama itu dengan para elite politik justru rendah. "Menurut kelompok masyarakat tertentu, pemimpin yang dari 'kita' itu sudah terpenuhi. Tapi kemampuan bersosialisasinya dengan kalangan elit politik sangat rendah. Itu yang terjadi sekarang," ungkap Mahfuz.
Lebih lanjut Mahfuz mengatakan, pemimpin populis secara politik hanya cocok di negara yang sedang melakukan revolusi. Sebab, pemimpin polulis dibutuhkan untuk solidaritas.
Namun, ketika pemimpin populis terpilih di negara demokrasi, maka yang terjadi bisa jauh dari harapam. “Beginilah jadinya bangsa ini," tegas Mahfud.
Padahal, ujar Mahfuz, kesetiaan pendukung terhadap pemimpinnya sangat tipis. "Batasnya hanya soal isi perut rakyat dan pada akhirnya pencitraan tidak akan mungkin meredam itu," pungkasnya.(*)
"Karena sudah terlalu lama hidup dalam kesulitan, muncul hipotesa bahwa kesulitan bersumber dari pemimpin. Lalu ada keyakinan untuk merubah keadaan yakni pemimpin harus dari kalangan ‘kita' sendiri," katanya di Jakarta, Jumat (3/4) seperti dilansir jpnn.com.
Padahal, kata politikus PKS itu, pandangan tersebut tidak seluruhnya benar. Pasalnya, di balik pemikiran ada jebakan yang lebih membahayakan.
"Ketika pemimpin yang dari kalangan 'kita' itu terpenuhi, maka muncul suatu kepuasan bahwa pemimpin sudah dari kalangan 'kita'. Pertanyaannya, apa sosok dari 'kita' yang populis itu bisa memperbaiki keadaan?" ulasnya.
Wakil sekjen PKS itu lantas mencontohkan naiknya Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama sebagai pemimpin. Bagi kelompok masyarakat tertentu, kata Mahfuz, kedua figur itu memang sudah memenuhi keinginan.
Namun, kata Mahfuz, kemampuan berkomunikasi dua figur politikus ternama itu dengan para elite politik justru rendah. "Menurut kelompok masyarakat tertentu, pemimpin yang dari 'kita' itu sudah terpenuhi. Tapi kemampuan bersosialisasinya dengan kalangan elit politik sangat rendah. Itu yang terjadi sekarang," ungkap Mahfuz.
Lebih lanjut Mahfuz mengatakan, pemimpin populis secara politik hanya cocok di negara yang sedang melakukan revolusi. Sebab, pemimpin polulis dibutuhkan untuk solidaritas.
Namun, ketika pemimpin populis terpilih di negara demokrasi, maka yang terjadi bisa jauh dari harapam. “Beginilah jadinya bangsa ini," tegas Mahfud.
Padahal, ujar Mahfuz, kesetiaan pendukung terhadap pemimpinnya sangat tipis. "Batasnya hanya soal isi perut rakyat dan pada akhirnya pencitraan tidak akan mungkin meredam itu," pungkasnya.(*)
Post a Comment