Kenapa Mahasiswa Aksi Jatuhkan Jokowi, Dianggap Kentut Lewat?
Sumber Foto: Kammi.or.id
Umumnya penggiat media memperhatikan lebih seksama "ultimatum" mahasiswa pada pemerintahan Joko "Jokowi" Widodo yang konon dipersiapkan dengan mood yang setara saat peristiwa Mei 1998, atau pada saat mahasiswa bisa mengepung Istana negara di rezim Abdurahman Wahid. Ultimatum tersebut jatuh tempo pada 20 Mei, dengan ancaman aksi besar-besaran di setiap kampus.
Aksi itu terjadi, bahkan beberapa hari sebelum 20 Mei 2015, di beberapa daerah tercatat aksi yang melibatkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Di Serang, Bandung, Lampung, Semarang, Solo, Banda Aceh, Medan dan beberapa kota lainnya, Mahasiswa yang terafiliasi pada KAMMI turun ke jalan dengan pelbagai muatan, yang kesimpulannya meminta Presiden Jokowi mundur.
Di Solo (20/03) Mahasiswa memberikan alasan klasik bahwa harga bahan pokok naik, dan BBM naik. Begitupun di Sumatera Utara (20/03), di mana gambar Jokowi dibakar mahasiswa, alasannya adalah kenaikan harga bahan pokok dan BBM.
Di Riau bahkan secara demonstratif digambarkan Jenazah Jokowi (17/03) dengan tuntutan stop investasi asing dan ambil alih beberapa blog migas, seolah ada dosen ekonomi yang lupa mengajari mereka bahwa harga minyak mentah tengah murah hingga beberapa tahun mendatang, sehingga mengambil alih blok migas dari swasta akan merugikan Indonesia secara fiskal.
Begitupun halnya dengan di Banten (20/03) di mana mahasiswa mengerek keranda jenazah Jokowi dengan isu yang sama penurunan harga bahan pokok. Pula di DKI Jakarta. Kali ini dipusatkan di UI (20/03) demo mahasiswa tampil lebih kalem, kali ini dengan surat terbuka agar Jokowi memihak pada pemberantasan korupsi tanpa ada desakan untuk mundur.
Akan halnya, reaksi aksi yang serentak itu memang tidak menimbulkan magnitudo setara dengan aksi Mei 1998, atau aksi kejatuhan Abdurahman Wahid pada tahun 2000. Beberapa media mainstream mengabarkan aksi tersebut, tapi dengan tone yang datar dan barangkali menulis sambil mengantuk.
Yang pada akhirnya di beberapa media "tidak mainstream" dan terafiliasi dengan gerakan Islam, menuding media mainstream melakukan pembungkaman. Dari Twitstory, sampai pada blog blog Media beredar isu miliyaran rupiah dicairkan Jokowi agar isu mahasiswa bisa tenggelam. Isu yang bisa digugat kredibilitasnya.
Namun, sebagai awak media, dan redaktur Fiskal.co.id, saya bisa memahami mengapa tone media mainstream pada aksi mahasiswa ini tergolong biasa biasa saja, bahkan secara sinis bagai maaf.. kentut lewat. Menyengat, menarik perhatian, tapi tidak bisa mengalahkan situasi.
1. Media mainstream melihat subtansi isu yang disajikan, karena ada tanggungjawab bukan hanya pada profesi kejurnalistikan, melainkan juga pada khalayak ramai. Isu BBM, isu kenaikan harga (inflasi), dan isu korupsi akan disajikan secara proposional. Inflasi, defisit perdagangan, nilai tukar rupiah adalah rutinitas desk dalam media mainstream yang jawabannya sudah terprediksi. Dan pers sama sama berpacu dengan pemerintah mencoba mengukur dengan eksak melalui para ahli, ekonom, yang kompeten dibidangnya, mengabarkan situasi sebenarnya.
2. Anda tidak bisa menjatuhkan presiden yang belum melalui tahun pertama pidato kenegaraan berkaitan dengan pelaksanaan APBN, dan program terukur pada konstitusi. Karena itu sangat bodoh, meany (kata orang sunda tengteuingeun).
Walau taruhlah saat ini tengah terjadi krisis, tapi di mana letak prinsip keadilan dan fatsun politik, pada pejabat baru yang baru saja merenggangkan otot otot kekuasaannya eh.. sudah harus turun ring? APBN pemerintahan Jokowi baru saja ketuk palu Februari lalu, mestinya yang disoroti ke mana anggaran itu pergi? Bagaimana pemanfaatannya? Ini memerlukan pengukuran berbasis hasil dan kinerja fiskal, pada tahun fiskal, yang dalam hal ini Indonesia mengikuti tahun kalender.
Jadi, Jokowi belum gagal, mencoba pun belum bagaimana diketahui gagal?
3. Media mainstream gunakan resep 5 W dan 1 H : What (apa), Who (siapa), when (kapan), Where (di mana), why (kenapa), dan How (bagaimana). Pertama tama media akan melihat Who (Siapa)? Karena dalam kredibilitas peliputan, nama adalah berita (name make news). Jadi Who? Mahasiswa? Who? KAMMI, Who? Faksi aktivis muslim kampus, memiliki kekariban sejarah dengan Partai Keadilan Sejahtera pesaing Jokowi dalam pilpres 2014, jika sudah diketahui hingga ke fakta tentatif, masuk ke posisi Why (kenapa)? Tentu saja jawabannya bisa banyak, bisa agenda politik, murni aktivitas mahasiswa, iseng, dapat wangsit, bayaran, dst. Namun, semua ini terjawab pada saat How (bagaimana diajukan)? KAMMI ultimatum Jokowi, lalu aksi, dan beberapa jam kemudian media media terafiliasi dengannya, melaporkan ada ketidaksenjangan peliputan.
Dari titik itu sudah jelas media mainstream pada akhirnya tidak menari nari pada agenda politik, suatu gerakan politik yang menunggangi mahasiswa, yang lalu ngambek saat mereka tidak begitu dihiraukan.
Karena penunggangan itu jahat, tidak elok, tidak adil pada mahasiswa sendiri, biarkan mahasiswa pada akhirnya bisa merumuskan poin keempat yang paling penting dari semuanya.
4. Fidelity, fidelitas, klaritas, sesuatu yang jelas, dalam bentuk gagasan gagasan morph, perubah yang bisa mengubah zaman ketidakpastian menjadi zaman penuh solusi. Mahasiswa mengajukan tuntutan "zombie", ya BBM lah, ya Bahan Pokok lah, padahal mereka adalah akademisi, mereka mesti lebih tahu fiskal dibanding pemerintahannya, karena itulah fungsi akademisi. Bila mahasiswa di tunggangi dosen dosen itu sangat bagus, apa gagasannya? Ajukan gagasannya, media mainstream akan melek, dan lupa diri lalu bersedia menari di atas agenda politik pihak manapun, asal gagasannya jelas.
Jika gagasannya adalah mengganti satu rezim dengan rezim lainnya, tanpa ada kejeniusan tentang bagaimana fiskal diperbaiki, bagaimana rupiah bisa menghadapi tekanan CAD.. ya maaf, Anda tak ubahnya bagai orang buang angin sembarangan. Media tidak sebodoh itu.***Red
Aksi itu terjadi, bahkan beberapa hari sebelum 20 Mei 2015, di beberapa daerah tercatat aksi yang melibatkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Di Serang, Bandung, Lampung, Semarang, Solo, Banda Aceh, Medan dan beberapa kota lainnya, Mahasiswa yang terafiliasi pada KAMMI turun ke jalan dengan pelbagai muatan, yang kesimpulannya meminta Presiden Jokowi mundur.
Di Solo (20/03) Mahasiswa memberikan alasan klasik bahwa harga bahan pokok naik, dan BBM naik. Begitupun di Sumatera Utara (20/03), di mana gambar Jokowi dibakar mahasiswa, alasannya adalah kenaikan harga bahan pokok dan BBM.
Di Riau bahkan secara demonstratif digambarkan Jenazah Jokowi (17/03) dengan tuntutan stop investasi asing dan ambil alih beberapa blog migas, seolah ada dosen ekonomi yang lupa mengajari mereka bahwa harga minyak mentah tengah murah hingga beberapa tahun mendatang, sehingga mengambil alih blok migas dari swasta akan merugikan Indonesia secara fiskal.
Begitupun halnya dengan di Banten (20/03) di mana mahasiswa mengerek keranda jenazah Jokowi dengan isu yang sama penurunan harga bahan pokok. Pula di DKI Jakarta. Kali ini dipusatkan di UI (20/03) demo mahasiswa tampil lebih kalem, kali ini dengan surat terbuka agar Jokowi memihak pada pemberantasan korupsi tanpa ada desakan untuk mundur.
Akan halnya, reaksi aksi yang serentak itu memang tidak menimbulkan magnitudo setara dengan aksi Mei 1998, atau aksi kejatuhan Abdurahman Wahid pada tahun 2000. Beberapa media mainstream mengabarkan aksi tersebut, tapi dengan tone yang datar dan barangkali menulis sambil mengantuk.
Yang pada akhirnya di beberapa media "tidak mainstream" dan terafiliasi dengan gerakan Islam, menuding media mainstream melakukan pembungkaman. Dari Twitstory, sampai pada blog blog Media beredar isu miliyaran rupiah dicairkan Jokowi agar isu mahasiswa bisa tenggelam. Isu yang bisa digugat kredibilitasnya.
Namun, sebagai awak media, dan redaktur Fiskal.co.id, saya bisa memahami mengapa tone media mainstream pada aksi mahasiswa ini tergolong biasa biasa saja, bahkan secara sinis bagai maaf.. kentut lewat. Menyengat, menarik perhatian, tapi tidak bisa mengalahkan situasi.
1. Media mainstream melihat subtansi isu yang disajikan, karena ada tanggungjawab bukan hanya pada profesi kejurnalistikan, melainkan juga pada khalayak ramai. Isu BBM, isu kenaikan harga (inflasi), dan isu korupsi akan disajikan secara proposional. Inflasi, defisit perdagangan, nilai tukar rupiah adalah rutinitas desk dalam media mainstream yang jawabannya sudah terprediksi. Dan pers sama sama berpacu dengan pemerintah mencoba mengukur dengan eksak melalui para ahli, ekonom, yang kompeten dibidangnya, mengabarkan situasi sebenarnya.
2. Anda tidak bisa menjatuhkan presiden yang belum melalui tahun pertama pidato kenegaraan berkaitan dengan pelaksanaan APBN, dan program terukur pada konstitusi. Karena itu sangat bodoh, meany (kata orang sunda tengteuingeun).
Walau taruhlah saat ini tengah terjadi krisis, tapi di mana letak prinsip keadilan dan fatsun politik, pada pejabat baru yang baru saja merenggangkan otot otot kekuasaannya eh.. sudah harus turun ring? APBN pemerintahan Jokowi baru saja ketuk palu Februari lalu, mestinya yang disoroti ke mana anggaran itu pergi? Bagaimana pemanfaatannya? Ini memerlukan pengukuran berbasis hasil dan kinerja fiskal, pada tahun fiskal, yang dalam hal ini Indonesia mengikuti tahun kalender.
Jadi, Jokowi belum gagal, mencoba pun belum bagaimana diketahui gagal?
3. Media mainstream gunakan resep 5 W dan 1 H : What (apa), Who (siapa), when (kapan), Where (di mana), why (kenapa), dan How (bagaimana). Pertama tama media akan melihat Who (Siapa)? Karena dalam kredibilitas peliputan, nama adalah berita (name make news). Jadi Who? Mahasiswa? Who? KAMMI, Who? Faksi aktivis muslim kampus, memiliki kekariban sejarah dengan Partai Keadilan Sejahtera pesaing Jokowi dalam pilpres 2014, jika sudah diketahui hingga ke fakta tentatif, masuk ke posisi Why (kenapa)? Tentu saja jawabannya bisa banyak, bisa agenda politik, murni aktivitas mahasiswa, iseng, dapat wangsit, bayaran, dst. Namun, semua ini terjawab pada saat How (bagaimana diajukan)? KAMMI ultimatum Jokowi, lalu aksi, dan beberapa jam kemudian media media terafiliasi dengannya, melaporkan ada ketidaksenjangan peliputan.
Dari titik itu sudah jelas media mainstream pada akhirnya tidak menari nari pada agenda politik, suatu gerakan politik yang menunggangi mahasiswa, yang lalu ngambek saat mereka tidak begitu dihiraukan.
Karena penunggangan itu jahat, tidak elok, tidak adil pada mahasiswa sendiri, biarkan mahasiswa pada akhirnya bisa merumuskan poin keempat yang paling penting dari semuanya.
4. Fidelity, fidelitas, klaritas, sesuatu yang jelas, dalam bentuk gagasan gagasan morph, perubah yang bisa mengubah zaman ketidakpastian menjadi zaman penuh solusi. Mahasiswa mengajukan tuntutan "zombie", ya BBM lah, ya Bahan Pokok lah, padahal mereka adalah akademisi, mereka mesti lebih tahu fiskal dibanding pemerintahannya, karena itulah fungsi akademisi. Bila mahasiswa di tunggangi dosen dosen itu sangat bagus, apa gagasannya? Ajukan gagasannya, media mainstream akan melek, dan lupa diri lalu bersedia menari di atas agenda politik pihak manapun, asal gagasannya jelas.
Jika gagasannya adalah mengganti satu rezim dengan rezim lainnya, tanpa ada kejeniusan tentang bagaimana fiskal diperbaiki, bagaimana rupiah bisa menghadapi tekanan CAD.. ya maaf, Anda tak ubahnya bagai orang buang angin sembarangan. Media tidak sebodoh itu.***Red
Post a Comment