Fakta Mengerikan Metro TV Yang Diungkap Oleh Wartawannya
Kemarin (30/3), Metro TV melakukan pemaparan panjang tentang ISIS (Islamic State of Irak and Syria). Metro –sebagaimana media Barat yang pro Amerika- menghantam habis ISIS. Metro hanya memaparkan sedikit tentang invasi Amerika ke Irak (2003).
Tidak dijelaskan dalam Metro bagaimana ISIS melawan keserakahan Amerika terhadap minyak di Irak dan bagaimana Amerika meletakkan kaki tangannya disana sampai saat ini (baca: War for Oil). Metro tidak menggambarkan bahwa pemerintah Amerika jauh lebih jahat daripada ISIS. Amerika telah membunuh ratusan ribu Muslim di Irak dan ISIS hanya membunuh puluhan (mungkin ratusan) orang pro koalisi Amerika di sana.
Dalam laporan disertai gambar-gambar bendera ‘Tauhid’ ISIS ini Metro mengaduk-aduk perasaan penontonnya agar membenci ISIS dan membenarkan ISIS bila dibombardir oleh pasukan koalisi Amerika.
Metro pun memaparkan tentang bahaya ideologi ISIS. Dan mewawancarai Din Syamsuddin, Ketua Umum Muhammadiyah, yang di kalangan Muhammadiyah pun dikenal sebagai orang yang tidak punya pendirian politik Islam.
Dalam pemberitaan sebelumnya, Metro pun menjadi corong media bagi BNPT dalam mengejar para pendukung ISIS yang ditangkap. Redaksi Metro seperti bergembira kalau banyak orang-orang Islam yang dtangkap Densus 88. Herannya sebagai media, Metro –sebagaimana Tempo dan Kompas- tidak kritis bahwa para pendukung ISIS ini tidak pernah melakukan aksi kriminal satupun di Indonesia.
Metro TV, mempuyai sejarah buruk berkaitan dengan Islam atau politik Islam. September 2012 Metro pernah membuat laporan tentang generasi baru teroris. Dalam siaran itu, redaksi Metro menyatakan bahwa rekrutmen generasi baru teroris adalah melalui kegiatan ekstrakurikuler di masjid-masjid sekolah. Kontan siaran Metro TV itu mendapat kecaman yang luas dari para tokoh dan aktivis-aktivis Islam di media sosial.
Tahun 2006, Metro TV tidak memperbolehkan Sandrina Malakiano, wartawan senior untuk menjadi presenter hanya karena ia berjilbab.
Ketika kasus Sandrina ini bocor ke media, Henny Puspitasari, PR & Publicity Manager MetroTV menyatakan antara lain, “Jadi Sandrina masih berstatus sebagai karyawan Metro TV yang juga harus mematuhi peraturan perusahaan yang ada. Hingga saat ini, Metro TV belum memiliki larangan secara tertulis mengenai hal tersebut. Mohon dipahami bahwa kami tidak ingin hal ini dipolitisir oleh pihak-pihak lain. Seseorang berhijab tidak berarti tidak pantas menjadi presenter, namun khusus di Metro TV, seseorang tersebut hanya dapat muncul pada saat-saat bulan Ramadhan atau hari-hari besar Agama Islam lainnya.”
Menyikapi kebijakan MetroTV, sebagaimana beredar di media sosial, Sandrina menyatakan:
“Saya sendiri membuktikan itu dalam kaitan dengan keputusan memakai hijab sejak pulang berhaji di awal 2006. Segera setelah keputusan itu saya buat, sesuai dugaan, ujian pertama datang dari tempat saya bekerja, Metro TV.
Sekalipun tanpa dilandasi aturan tertulis, saya tidak diperkenankan untuk siaran karena berjilbab.
Pimpinan Metro TV sebetulnya sudah mengijinkan saya siaran dengan jilbab asalkan di luar studio, setelah berbulan-bulan saya memperjuangkan izinnya. Tapi, mereka yang mengelola langsung beragam tayangan di Metro TV menghambat saya di tingkat yang lebih operasional.
Akhirnya, setelah enam bulan saya berjuang, bernegosiasi, dan mengajak diskusi panjang sejumlah orangdalam jajaran pimpinan level atas dan tengah di Metro TV, saya merasa pintu memang sudah ditutup.
Sementara itu, sebagai penyiar utama saya mendapatkan gaji yang tinggi. Untuk menghindari fitnah sebagai orang yang makan gaji buta, akhirnya saya memutuskan untuk cuti di luar tanggungan selama proses negosiasi berlangsung. Maka, selama enam bulan saya tak memperoleh penghasilan, tapi dengan status yang tetap terikat pada institusi Metro TV.
Setelah berlama-lama dalam posisi yang tak jelas dan tak melihat ada sinar di ujung lorong yang gelap, akhirnya saya mengundurkan diri. Pengunduran diri ini adalah sebuah keputusan besar yang mesti saya buat.
Saya amat mencintai pekerjaan saya sebagai reporter dan presenter berita serta kemudian sebagai anchor di televisi. Saya sudah menggeluti pekerjaan yang amat saya cintai ini sejak di TVRI Denpasar, ANTV, sebagai freelance untuk sejumlah jaringan TV internasional, TVRIPusat, dan kemudian Metro TV selama 15 tahun, ketika saya kehilangan pekerjaan itu. Maka, ini adalah sebuah musibah besar bagi saya.
Tetapi, dengan penuh keyakinan bahwa Allah akan memberi saya yang terbaik dan bahwa “dunia tak selebar daun Metro TV, saya bergeming dengan keputusan itu. Saya yakin di balik musibah itu, saya akan mendapat berkah dari-Nya.”
Kasus lain dihadapi sahabat wartawan Sharia. Sahabat yang berinisial H ini sebelum masuk Metro TV ia adalah wartawan harian Republika. Karena prestasinya cukup bagus di Metro, ia terakhir mendapat posisi yang cukup tinggi yaitu produser (redaktur). Ia dipecat dari Metro tanpa alasan yang jelas.
“Saya hanya menghadirkan narasumber yang berimbang ketika diskusi tentang Piagam Jakarta,” terangnya.
Setelah acara itu, ia cukup kaget. Besoknya ia dipanggil petinggi Metro TV dan kemudian ia langsung dipecat. Sebelum dipecat, ia sudah merasa tidak nyaman di Metro. Karena saat ia merekomendasikan beberapa wanita berjilbab untuk masuk Metro TV, pemimpin redaksinya saat itu protes.
Edy A Effendy mantan wartawan dan penulis editorial Media Indonesia, menyorot tajam kinerja Metro TV, Grup Media Indonesia. Menurutnya pada era-2000-an, ketika ia bekerja di Media Indonesia ada empat sekawan yang berperan dalam soal isu agama.
“Andy F Noya, Saur Hutabarat, Elman Saragih dan Laurens Tato, kebetulan mereka non Muslim dan pengendali media grup. Empat petinggi inlah yang punya peran penting mengakses berita. Surya Paloh tak tahu menahu,” kata Edy dalam tweeternya yang beredar luas di internet tahun 2012.
Edy melanjutkan, ”Sebagai mantan penulis editorial, saya tahu persis, bagaimana berita dimainkan.Saya protes soal rekruitmen yg berbau SARA. Rekruitmen reporter sangat berbau SARA. Di rapat besar, saya protes ke Elman. Rekruitmen reporter yang diterima banyk non Muslim? Elman kaget. Dia bilang sepanjang saya kerja di media baru kali ini dikritisi soal ini. Jika ada 6 reporter yang diterima, Komposisinya 2 Protestan, 2 Katolik dan 2 Islam. Ini fakta bukan fiksi. Saksi banyak. Desk redaksi yang strategis pun ditempati non Muslim : Polkam, Metropolitan dan Mingguan.di SDM dan level asred eksekutif sama,” terang Edy.
Wartawan ini juga menyatakan bahwa Media Grup tidak suka PKS. “Jadi kalau ada demo PKS, meski sangat massif tak boleh dipajang di hal 1. Pernah PKS demo besar-besaran memrotes Bill Clinton ke Indoesia. Pas rapat redaksi, Yohanes Widad, Asredpel, meminta foto jangan dipasang hal 1,” terangnya.
“Posisi-posisi penting di Metro TV dikuasai Kristen,” kata seorang wartawan senior mengingatkan kepada penulis. Saatnya umat Islam kritis dan melek media. Wallahu alimun hakim.(*NH/sharia)
Tidak dijelaskan dalam Metro bagaimana ISIS melawan keserakahan Amerika terhadap minyak di Irak dan bagaimana Amerika meletakkan kaki tangannya disana sampai saat ini (baca: War for Oil). Metro tidak menggambarkan bahwa pemerintah Amerika jauh lebih jahat daripada ISIS. Amerika telah membunuh ratusan ribu Muslim di Irak dan ISIS hanya membunuh puluhan (mungkin ratusan) orang pro koalisi Amerika di sana.
Dalam laporan disertai gambar-gambar bendera ‘Tauhid’ ISIS ini Metro mengaduk-aduk perasaan penontonnya agar membenci ISIS dan membenarkan ISIS bila dibombardir oleh pasukan koalisi Amerika.
Metro pun memaparkan tentang bahaya ideologi ISIS. Dan mewawancarai Din Syamsuddin, Ketua Umum Muhammadiyah, yang di kalangan Muhammadiyah pun dikenal sebagai orang yang tidak punya pendirian politik Islam.
Dalam pemberitaan sebelumnya, Metro pun menjadi corong media bagi BNPT dalam mengejar para pendukung ISIS yang ditangkap. Redaksi Metro seperti bergembira kalau banyak orang-orang Islam yang dtangkap Densus 88. Herannya sebagai media, Metro –sebagaimana Tempo dan Kompas- tidak kritis bahwa para pendukung ISIS ini tidak pernah melakukan aksi kriminal satupun di Indonesia.
Metro TV, mempuyai sejarah buruk berkaitan dengan Islam atau politik Islam. September 2012 Metro pernah membuat laporan tentang generasi baru teroris. Dalam siaran itu, redaksi Metro menyatakan bahwa rekrutmen generasi baru teroris adalah melalui kegiatan ekstrakurikuler di masjid-masjid sekolah. Kontan siaran Metro TV itu mendapat kecaman yang luas dari para tokoh dan aktivis-aktivis Islam di media sosial.
Tahun 2006, Metro TV tidak memperbolehkan Sandrina Malakiano, wartawan senior untuk menjadi presenter hanya karena ia berjilbab.
Ketika kasus Sandrina ini bocor ke media, Henny Puspitasari, PR & Publicity Manager MetroTV menyatakan antara lain, “Jadi Sandrina masih berstatus sebagai karyawan Metro TV yang juga harus mematuhi peraturan perusahaan yang ada. Hingga saat ini, Metro TV belum memiliki larangan secara tertulis mengenai hal tersebut. Mohon dipahami bahwa kami tidak ingin hal ini dipolitisir oleh pihak-pihak lain. Seseorang berhijab tidak berarti tidak pantas menjadi presenter, namun khusus di Metro TV, seseorang tersebut hanya dapat muncul pada saat-saat bulan Ramadhan atau hari-hari besar Agama Islam lainnya.”
Menyikapi kebijakan MetroTV, sebagaimana beredar di media sosial, Sandrina menyatakan:
“Saya sendiri membuktikan itu dalam kaitan dengan keputusan memakai hijab sejak pulang berhaji di awal 2006. Segera setelah keputusan itu saya buat, sesuai dugaan, ujian pertama datang dari tempat saya bekerja, Metro TV.
Sekalipun tanpa dilandasi aturan tertulis, saya tidak diperkenankan untuk siaran karena berjilbab.
Pimpinan Metro TV sebetulnya sudah mengijinkan saya siaran dengan jilbab asalkan di luar studio, setelah berbulan-bulan saya memperjuangkan izinnya. Tapi, mereka yang mengelola langsung beragam tayangan di Metro TV menghambat saya di tingkat yang lebih operasional.
Akhirnya, setelah enam bulan saya berjuang, bernegosiasi, dan mengajak diskusi panjang sejumlah orangdalam jajaran pimpinan level atas dan tengah di Metro TV, saya merasa pintu memang sudah ditutup.
Sementara itu, sebagai penyiar utama saya mendapatkan gaji yang tinggi. Untuk menghindari fitnah sebagai orang yang makan gaji buta, akhirnya saya memutuskan untuk cuti di luar tanggungan selama proses negosiasi berlangsung. Maka, selama enam bulan saya tak memperoleh penghasilan, tapi dengan status yang tetap terikat pada institusi Metro TV.
Setelah berlama-lama dalam posisi yang tak jelas dan tak melihat ada sinar di ujung lorong yang gelap, akhirnya saya mengundurkan diri. Pengunduran diri ini adalah sebuah keputusan besar yang mesti saya buat.
Saya amat mencintai pekerjaan saya sebagai reporter dan presenter berita serta kemudian sebagai anchor di televisi. Saya sudah menggeluti pekerjaan yang amat saya cintai ini sejak di TVRI Denpasar, ANTV, sebagai freelance untuk sejumlah jaringan TV internasional, TVRIPusat, dan kemudian Metro TV selama 15 tahun, ketika saya kehilangan pekerjaan itu. Maka, ini adalah sebuah musibah besar bagi saya.
Tetapi, dengan penuh keyakinan bahwa Allah akan memberi saya yang terbaik dan bahwa “dunia tak selebar daun Metro TV, saya bergeming dengan keputusan itu. Saya yakin di balik musibah itu, saya akan mendapat berkah dari-Nya.”
Kasus lain dihadapi sahabat wartawan Sharia. Sahabat yang berinisial H ini sebelum masuk Metro TV ia adalah wartawan harian Republika. Karena prestasinya cukup bagus di Metro, ia terakhir mendapat posisi yang cukup tinggi yaitu produser (redaktur). Ia dipecat dari Metro tanpa alasan yang jelas.
“Saya hanya menghadirkan narasumber yang berimbang ketika diskusi tentang Piagam Jakarta,” terangnya.
Setelah acara itu, ia cukup kaget. Besoknya ia dipanggil petinggi Metro TV dan kemudian ia langsung dipecat. Sebelum dipecat, ia sudah merasa tidak nyaman di Metro. Karena saat ia merekomendasikan beberapa wanita berjilbab untuk masuk Metro TV, pemimpin redaksinya saat itu protes.
Edy A Effendy mantan wartawan dan penulis editorial Media Indonesia, menyorot tajam kinerja Metro TV, Grup Media Indonesia. Menurutnya pada era-2000-an, ketika ia bekerja di Media Indonesia ada empat sekawan yang berperan dalam soal isu agama.
“Andy F Noya, Saur Hutabarat, Elman Saragih dan Laurens Tato, kebetulan mereka non Muslim dan pengendali media grup. Empat petinggi inlah yang punya peran penting mengakses berita. Surya Paloh tak tahu menahu,” kata Edy dalam tweeternya yang beredar luas di internet tahun 2012.
Edy melanjutkan, ”Sebagai mantan penulis editorial, saya tahu persis, bagaimana berita dimainkan.Saya protes soal rekruitmen yg berbau SARA. Rekruitmen reporter sangat berbau SARA. Di rapat besar, saya protes ke Elman. Rekruitmen reporter yang diterima banyk non Muslim? Elman kaget. Dia bilang sepanjang saya kerja di media baru kali ini dikritisi soal ini. Jika ada 6 reporter yang diterima, Komposisinya 2 Protestan, 2 Katolik dan 2 Islam. Ini fakta bukan fiksi. Saksi banyak. Desk redaksi yang strategis pun ditempati non Muslim : Polkam, Metropolitan dan Mingguan.di SDM dan level asred eksekutif sama,” terang Edy.
Wartawan ini juga menyatakan bahwa Media Grup tidak suka PKS. “Jadi kalau ada demo PKS, meski sangat massif tak boleh dipajang di hal 1. Pernah PKS demo besar-besaran memrotes Bill Clinton ke Indoesia. Pas rapat redaksi, Yohanes Widad, Asredpel, meminta foto jangan dipasang hal 1,” terangnya.
“Posisi-posisi penting di Metro TV dikuasai Kristen,” kata seorang wartawan senior mengingatkan kepada penulis. Saatnya umat Islam kritis dan melek media. Wallahu alimun hakim.(*NH/sharia)
Post a Comment